Membayar Dokter Atau Ahli Ruqyah?

Masalah:
Mengapa ketika kelinik ruqyah menetapkan tarif pembayaran ada yang mempertanyakan, sementara tarif pengobatan medis tidak? Apa yang membedakan antara membayar ahli ruqyah dengan dokter? Bukankah keduanya sama-sama melakukan pengobatan dengan ilmu masing-masing?

Pembahasan:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS.39:9)

Islam sangat menghargai ilmu dan ilmuwan. Islam mengangkat orang yang berilmu beberapa derajat di atas orang lainnya jika ilmu tersebut digunakan atas dasar keimanan. Baik ilmu yang diambil dari AlQuran ataupun ilmu yang diambil dari alam adalah bekal untuk ibadah kepada Allah. Islam tidak mengakui adanya dikotomi ilmu. Memang banyak orang mengatakan bahwa ilmu ada dua yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum.

Mereka juga berkata, ilmu pengetahuan umum tanpa agama adalah sesat dan ilmu agama tanpa ilmu pengetahuan umum adalah buta. Tentu pernyataan ini dapat diterma di luar agama Islam. Adapun menurut Islam semua ilmu adalah amanah Allah yang mesti digunakan untuk kepentingan ibadah.

Ilmu yang diambil dari Al Quran dikaji berlandaskan keyakinan dan diyakini semuanya pasti benar kendatipun belum dikaji dan belum dipahami kecuali hanya sebagian. Sedangkan ilmu yang diambil dari alam diyakini berlandaskan kajian dan diyakini kebenarannya berlandaskan bukti. Artinya, ilmu itu ada yang dicapai dengan berlandaskan keyakinan dan ada pula yang dicapai dengan berlandaskan kajian. Ilmu
yang berlandaskan kajian dan penelitian dapat diukur kebenarannya, sedangkan ilmu yang berlandaskan keyakinan tidak dapat diukur.

Capaian usaha yang berlandaskan hasil penelitian dapat dijadikan sebagai tolok
ukur yang membuktikan kebenaran. Oleh karena itu, kebenaran ilmu seorang dokter dapat diukur dengan kinerjanya, berbeda dengan keilmuan seorang yang meruqyah atau yang berdoa. Ketika seorang muwahhid yang berilmu berdoa, terkadang mendapat hasil yang sesuai dengan keinginan, terkadang tidak. Demikian pula halnya dengan seorang musyrik yang jahil berdoa, terkadang mencapai hasil yang diinginkan terkadang
tidak.

Keduanya sama-sama berdoa namun berdasarkan keyakinan yang berlawanan. Capaian yang didapat tidaklah dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai kebenaran ilmu mereka. Terutama jika hasil berdoa itu dinilai dengan materi, maka tidak mustahil akan muncul anggapan yang berlawanan dengan ajaran Islam.

Ketika ada orang yang berdoa dengan berlandaskan keyakinan yang sesat (tidak ikhlas karena Allah) dan mencapai apa yang diinginkan karena bantuan setan, dia mendapat imbalan yang luar biasa besarnya dari pihak yang didoakan, sementara orang yang berdoa dengan penuh keikhlasan dan tidak mengharap imbalan sama sekali, lalu dia mendapat imbalan alakadarnya, dan dia pun dengan senang hati menerimanya karena
dia berdoa bukan untuk imbalan kecuali dari Allah.

Apakah yang pertama dapat dinyatakan lebih baik daripada yang kedua ataukah yang pertama benar sementara yang kedua tidak benar? Sungguh ini adalah kenyataan
yang sering kita saksikan dalam kehidupan masyarakat. Jika Anda bertanya: bukankah pada zaman Rasulullah saw. ada sahabat yang meruqyah dan menerima imbalan?

Betul, ketika masalah tarif ruqyah atau meruqyah dijadikan sebagai satu profesi maka hal tersebut sering dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman sahabat, yaitu
seorang sahabat yang mendapat imbalan setelah meruqyah. Apakah sama antara praktik meruqyah sekarang dengan praktik meruqyah pada zaman Rasul saw? Untuk mengetahui jawabannya mari kita kaji langsung hadisnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ
فَسَأَلْنَاهُمْ الْقِرَى فَلَمْ يَقْرُونَا فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ
فَأَتَوْنَا فَقَالُوا هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنْ الْعَقْرَبِ
قُلْتُ نَعَمْ أَنَا وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا
قَالَ فَأَنَا أُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً فَقَبِلْنَا فَقَرَأْتُ
عَلَيْهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَبَرَأَ وَقَبَضْنَا
الْغَنَمَ قَالَ فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا
تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي
صَنَعْتُ قَالَ وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ اقْبِضُوا الْغَنَمَ
وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

Dari Abi Said al Khudri berkata, “Kami diutus Rasulullah saw. dalam satu perjalanan jihad, maka kami berhenti pada satu kaum dan kami meminta kepada mereka jamuan namun mereka tidak memberi. Pimpinan mereka terkena gigitan (kalajengking). Mereka pun mendatangi kami dan berkata: apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah dari gigitan kalajengking? Aku berkata, ‘Ya, saya. Namun saya tidak akan melakukannya hingga kamu memberi kambing kepada kami’.

Dia berkata: "Aku berikan padamu tiga puluh ekor kambing. Maka kami terima(kesepakatan tersebut), maka kami membacakan atas orang sakit itu alhamdulillah (surat al Fatihah) tujuh kali maka dia pun sembuh. Lalu muncul pada diri kami (keraguan), maka aku berkata, ‘Janganlah kalian terburu-buru (memanfaatkan imbalan ini) hingga sampai kepada Rasulullah saw’. Setibanya kami di hadapan beliau, aku jelaskan
kepadanya apa yang kulakukan. Beliau bersabda, ‘Bagaimana kamu mengetahui bahwa itu ruqyah? Ambil saja kambing itu dan beri juga aku bagian”.

Banyak pelajaran penting yang patut diambil dari hadis di atas, antara lain:- Abu Said al Khudri bersama para sahabat lainnya sedang berada dalam perjalanan jihad. Mereka bersedia meninggalkan kenikmatan dunia karena untuk mencari nikmat akhirat. Kedekatan mereka dengan Allah tidak dapat diragukan karena mereka sedang merindukan mati syahid. Karena kedekatan dengan Allah maka pintu ijabah untuk doa mereka sangat terbuka.

  • Perjalanan jihad tidak hanya memerlukan kekuatan batin yang terwujudn dalam keimanan tetapi juga memerlukan kekuatan lahir berupa kekuatan fisik. Karena itu, ketika fisik mengalami keletihan akibat perjalanan jauh maka dapat dipahami bila para mujahid merasa perlu bantuan makanan dan meminta kepada satu kelompok masyarakat demi terwujudnya tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan yang antara lain kepentingan jihad.
  • Ketika kelompok tersebut tidak mau ikut andil dalam berjihad walau hanya dengan sedikit makanan padahal mereka memerlukan pertolongan untuk pimpinannya yang terkena gigitan kalajengking, maka sangatlah tepat jika mereka diingatkan bahwa harta yang mereka pegang tidak memberi jaminan apa pun bagi keselamatan mereka. Karena itu al Khudri pun berupaya menggunakan kesempatan untuk mengingatkan agar mereka memanfaatkan sebagian harta mereka dengan tanpa paksaan, yaitu dengan meminta kesepakatan dalam tolong-menolong hingga mereka berjanji akan mengeluarkan sebagian hartanya. Karena suasana jihad tidak diragukan sedang taqarrub kepada Allah dan jauh dari cinta dunia, maka doa shahabiy terkabul seketika. Hal ini dapat dirasakan langsung oleh penderita akibat gigitan kalajengking yang dia ruqyah higga mendapat kesembuhan.
  • Ruqyah yang dilakukan al Khudri dilakukan untuk kesembuhan orang yang luka karena gigitan binatang bukan untuk mengatasi penyakit yang tidak jelas, lain halnya dengan yang sering ditayangkan pada layar televisi, seperti orang yang kesurupan baik yang terjadi ketika dibacakan kepadanya ruqyah, atau yang diduga kesurupan sejak sebelumnya. Tidak jelas, betulkah mereka kesurupan atau terjadi gangguan pada saraf? Jika betul kesurupan, mengapa terjadi, apakah karena ada sebab sebelumnya atau karena bacaan yang didengar mereka dari pembaca ruqyah?
  • Ketika pasien yang diruqyah al Khudri telah menikmati kesembuhan maka dia menyerahkan harta kepada al Khudri sebanyak yang telah dijanjikan, namun demikian al Khudri tidak langsung mengambilnya untuk dia miliki karena penerimaan tersebut berkaitan dengan amal ibadah yang hanya berlandaskan kepada keyakinan dan tidak dapat diukur dengan harta. Karena itu, kendatipun hasil dari pekerjaannya sudah mencapai sasaran yaitu, kesembuhan, namun dia tidak berani mengambilnya tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada Rasulullah saw. Hal itu menunjukkan bahwa dalam amal islami di samping diperhatikan sasaran yang dekat ada yang lebih penting, yaitu tujuan akhir dari amal itu. Itulah nilai dari yang Mahaadil dan Maha Mengetahui terhadap semua amal hamba-Nya.
  • Imbalan yang diterima al Khudry tidak diragukan merupakan hasil pengobatan yang biasa dilakukan oleh ahli medis, yaitu pengobatan terhadap luka akibat gigitan kalajengking. Maka sangat dipahami jika pengobatan tersebut mendapat imbalan sebagaimana berobat kepada ahli medis. Berbeda dengan ruqyah yang sering disaksikan saat ini yang pada umumnya digunakan untuk mengobati penderita dari gangguan makhluk gaib. Terkadang, setelah ruqyah berlangsung, gangguan tersebut bunkannya hilang bahkan berpindah dari satu penderita menuju penderita lainnya hingga menambah kesibukan peruqyah atau menambah pekerjaan peruqyah yang tidak lepas juga dari penambahan imbalan duniawi. Ini dari satu segi, dari segi lain dengan bertambahnya kesibukan dengan meruqyah, maka peruqyah harus mengurangi kegiatan lainnya termasuk membina umat yang memerlukan banyak waktu, yaitu pembinaan yang terprogram dan berkesinambungan.
  • Konsultasi yang dilakukan al Khudri juga memberi arti bahwa shahabiy ini tidak berprofesi sebagai ahli ruqyah dan pada zaman Rasulullah saw. tidak ada orang yang berprofessi sebagai ahli ruqyah meskipun ketakwaan mereka tidak diragukan.
  • Karena ruqyah yang dikenal sekarang selalu digunakan untuk menangani penyakit nonfisik maka para penderita penyakit fisik tidak biasa dibawa kepada para peruqyah walaupun mereka telah mendengar ada klinik ruqyah.

Sebuah analisis:

Persamaan dan perbedaan ruqyah pada zaman Rasul dengan ruqyah yang
dikenal dan beredar pada zaman sekarang.

Persamaan:

  • Baik pada zaman Rasul saw. maupun sekarang bacaan ruqyah diambil dari ayat-ayat Al Quran dan doa-doa yang ma’tsur dari Rasulullah saw.
  • Baik pada zaman Rasul saw. maupun sekarang, ruqyah berguna untuk mengobati orang yang terkena gangguan jin.

Perbedaan:

  1. Ruqyah pada zaman Rasul saw. sering atau pada umumnya digunakan untuk mengatasi penyakit fisik, sedangkan ruqyah pada zaman sekarang umumnya hanya digunakan untuk penyakit yang berkaitan dengan gangguan jin. Tidak terdengar sebutan roqi (peruqyah) yang ditujukan kepada orang yang suka mengobati penyakit fisik. Jika ada, maka doa yang dibacakan orang tersebut untuk mengobati seorang penderita tidak biasa disebut ruqyah dan pelakunya pun tidak dikenal sebagai ahli ruqyah, apalagi sampai membuka praktik atau klinik ruqyah. Padahal, langkah itulah yang lebih tepat dan sesuai dengan praktik sahabat Rasulullah saw.
  2. Praktik ruqyah pada zaman Rasul saw. tidak mengalami proses kesurupan, sedangkan ruqyah pada zaman sekarang sering dilakukan melalui proses kesurupan, yaitu praktik ruqyah yang ditujukan kepada orang sadar. Karena mendengar bacaan ruqyah maka orang sadar tersebut terkena kesurupan lalu dia sembuh setelah menjalani ruqyah berikutnya. Sungguh cara ini sulit diterima baik menurut tinjauan aqidah dan syariah maupun akal sehat.
  3. Banyak orang sadar dan sehat yang diruqyah pada zaman sekarang mengalami ketegangan dan berteriak dengan mengeluarkan kata-kata yang di luar kebiasaan sedangkan pada zaman Rasulullah saw. hal tersebut tidak pernah terjadi.
  4. Sering terjadi kesurupan pada zaman sekarang karena menyaksikan ruqyah yang dilakukan terhadap orang lain, sedangkan pada zaman Rasulullah saw. tidak pernah ada ruqyah berkesinambungan akibat bermunculannya kesurupan atau kesurupan menular.
  5. Pada zaman sekarang sering terjadi ruqyah untuk kesurupan massal sedangkan pada zaman Rasul saw. tidak pernah terjadi.
  6. Sekarang ada ruqyah secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan alat elektronik (kaset) sedangkan pada zaman Rasul saw. ruqyah hanyalah komunikasi seorang hamba dengan Allah.
  7. Sekarang ruqyah dijadikan sebagai mata pencaharian atau profesi sedang pada zaman Rasul saw. tidak seorang pun dari kalangan para shabat yang berprofesi sebagai ahli ruqyah.
  8. Pada zaman sekarang banyak klinik ruqyah dengan menentukan tarif pembayaran, sedangkan pada zaman Rasul saw. tidak ada orang yang mengambil profesi sebagai peruqyah apalagi menentukan tarif bayaran.
  9. Imbalan yang diterima sahabat dahulu berbeda dengan pembayaran yang ditetapkan peruqyah zaman sekarang. Sahabat meruqyah penyakit fisik yang biasa diobati dokter sehingga pembayarannya pun dapat dipahami karena jika dia berobat ke dokter akan membayar. Berbeda dengan pembayaran yang diterima peruqyah sekarang karena pengobatan dari kesurupan yang sulit dibuktikan penyakit apakah yang diobati itu.

Terkadang, dengan sembuhnya seseorang dari kesurupan maka yang lain terkena kesurupan yang sama. Sungguh hal ini memberi arti bahwa kesembuhan tersebut tidak dapat diketahui secara terukur. Benarkah kesembuhan itu tercapai atau memindahkan penyakit dari seorang penderita kepada penderita lainnya yang menambah pekerjaan bagi peruqyah.

Kesimpulan:

  1. Proses penanganan pasien secara medis tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi proses penanganan pasien dengan ruqyah dan doa.
  2. Kinerja seorang dokter berhubungan langsung dengan pasien yang bila dia salah dalam bekerja, baik salah dalam praktik pemeriksaan atau dalam menentuan obat maka kesalahan tersebut akan segera dapat diketahui akibatnya. Sementara kinerja seorang yang berdoa yang berhubungan langsung dengan Yang Gaib tidak dapat diketahui apakah dia berdoa dengan benar, ikhlas, hatinya tidak terganggu ataukah sedang mengalami gangguan keikhlasan atau penurunan ketakwaan.
  3. Ada orang yang kurang mengerti agama dan termasuk kurang dalam ibadah namun dia terjun ke dalam bidang pengobatan spiritual ternyata dapat dirasakan hasilnya, terlepas dari benar dan tidaknya penilaian masyarakat luas. Sementara itu, orang yang dikenal sebagai ahli ibadah, banyak berkorban demi umat, luas wawasan keislamannya, tidak terlihat tanda-tanda riya dalam beramal, ketika dia berdoa untuk kepentingan orang lain, ternyata orang lain tidak mengakui hasilnya.
  4. Penentuan tarif dokter dapat diukur dengan kinerjanya karena dia bekerja berdasarkan hasil penelitian dan eksperimen serta berhubungan langsung dengan pasien. Jika dokter menemukan kesulitan dia pun dapat bertanya kepada dokter lainnya. Karena itu penyakit yang berat menuntut kerja yang keras dari dokter bahkan melibatkan beberapa orang dokter lainnya. Sementara dalam masalah doa, seseorang tidak pernah merasa perlu bertanya untuk mengetahui doa yang mana untuk mengatasi masalah ini dan doa yang mana untuk mengatasi kesurupan itu.

Dengan demikian, maka penentuan tarif untuk pengobatan secara medis tidak dapat dijadikan landasan untuk tarif seorang yang berdoa, bahkan penentuan tersebut sangat dikhawatirkan akan merusak kinerjanya karena berdoa yang benar adalah hubungan langsung dengan Khaliq berlandaskan pada keyakinan dan tidak mengharap imbalan kecuali dari Zat Yang Mahakuasa yang mengabulkan permohonan hamba-Nya, Allah Yang Maha Mendengar.

Karena itu tiada bedanya bagi yang berdoa, antara berdoan untuk menangani orang yang sakit berat dengan berdoa untuk menangani orang yang sakit ringan dan tidak menjadi ukuran antara berdoa sendirian dengan berdoa bersama orang lain. Bahkan, para peruqyah rata-rata tidak memerlukan orang lain.

Akhir-akhir ini ada yang meruqyah untuk sekelompok masyarakat cukup dengan kaset. Kalau meruqyah dengan kaset, siapakah yang sedang taqarrub kepada Allah? Semua kita mengetahui bahwa kaset tidak memiliki hati ataupun akal, atas dasar apa kaset mengumandangkan ayat-ayat suci atau membaca doa? Bagaimana mungkin kaset dapat
mengusir setan dari diri manusia, sedang manusia sendiri mendapat kesulitan untuk mengusirnya, karena manusia tidak dapat melihat setan sedang setan dapat melihat manusia?

Untuk mengakhiri bahasan masalah ini mari kita hayati ayat ini:

يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ
أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا
لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ(7

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 7:27)

Pelajaran yang sangat penting dari ayat:

  • Allah mengingatkan bahwa setan selalu aktif melakukan tipu daya yang ditujukan kepada manusia pada setiap zaman. – Adam seorang hamba yang telah Allah angkat sebagai ayah dari semua manusia telah terkena godaan setan demikian pula isterinya walaupun mereka tidak sampai berbuat sesat.
  • Karena tergoda setan mereka dipermalukan dengan terbuka auratnya. Hal ini memberi arti bahwa manusia sekarang pun bila telah tergoda setan akan tersingkap auratnya baik disadari ataupun tidak, baik cepat ataupun lambat, baik aurat lahir ataupun aurat batin.
  • Setan dapat mengetahui prilaku manusia karena dia melihat mereka, sementara manusia tidak dapat mengetahui prilaku setan karena mereka tidak dapat melihatnya. Sungguh aneh, jika ada sekelompok manusia yang mengaku dapat mengetahui tempat setan dan perilakunya. Lebih aneh jika mereka orang yang rajin mengkaji Al Quran dan Sunnah. Wallahu’alam.