Haramkah Berpartai?

Assalamu’alaikum,

Yth. Pak Ustad, saya mendapatemail dari teman tentang Fatwa Ulama yang mengharamkan berada dalam partai (hizbiyah).

Berikut kutipan Fatwanya:

Lajnah Da`imah lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan:
Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut:

"Tidak boleh memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [Ali Imran: 103]

Benarkah Fatwa tersebut? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Setiap fatwa selalu dilandasi dari realita yang sangat terikat dengan waktu, lokasi, situasi dan latar belakang masalah. Sangat boleh jadi sebuah fatwa tertentu yang tadinya belum dikeluarkan, atas pertimbangan tertentu kemudian dikeluarkan. Dan sebaliknya pun sangat mungkin terjadi.

Ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank akhir-akhir ini, sebenarnya jangan diartikan bahwa sebelum keluarnya fatwa tersebut bunga bank hukumnya halal. Bunga bank sudah dianggap haram oleh MUI, jauh sebelum keluar fatwanya.

Maka yang perlu kita pahami tentang fatwa-fatwa dan sifatnya, adakalanya fatwa dikeluarkan untuk merespon terhadap gejala tertentu. Dan sangat dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa karena terjadi perubahan gejala.

Maka fatwa haramnya kita berpartai adalah fatwa yang terkait dengan larangan untuk berpecah belah. Dan tidak ada yang salah dalamfatwa itu, karenasebagai muslim, kita memang diharamkan berpecah pelah dan saling memusuhi antara umat Rasulullah SAW.

Tinggal bagaimana kita memahami fatwa itu secara lebih dalam. Misalnya, apakah setiap adanya partai berarti otomatis umat Islam berpecah belah? Sehingga keharaman berpecah belah secara otomatis langsung mengharamkan partai?

Dan kalau di balik misalnya, dengan adanya partai, maka syariat Allah SWT kemudian bisa lebih ditegakkan, apakah tetap masih harus dianggap haram?

Saudara-saudara kita yang berjuang di level parlemen itu berupaya agar resistensi negara terhadap Islam bisa dikikis, lalu penetrasi syariah dalam penyelenggaraan negara bisa semakin dirasakan.

Dengan adanya partai yang menjadi jembatan untuk memasuki wilayah otoritas penetapan hukum, orang berjilbab bisa bebas dan tidak lagi dilarang. Sekolah Islam bisa mendapatkan dana dari anggaran negara dan tidak lagi kekurangan dana.Posisi tawar umat Islam di depan kekuatan musuh-musuhnya menjadi lebih kuat. Hukum negara bisa lebih digeser menuju ke arah aplikasi syariah Islam, terutama pada masalah law enforcemen. Laju pertumbuhan gerakan pemurtadan bisa ditekan. Dan masih banyak lagi.

Apabila keberadaan partai dakwah yang sedemikian menguntungkan umat itu benar-benar bisa diterapkan, sambil meminimalisir perpecahan dan perbedaan di dalam elemen umat Islam, maka keberadaan partai dengan sosok seperti itu malah harus terjadi dan merupakan fardhu kifayah. Bukannya malah dilarang.

Penggunaan fatwa asal comot meski bersumber dari ulama besar malah kurang produktif, sebab setiap fatwa sangat dibatasi pada kondisi sosial politik tertentu di suatu negeri tertentu dan pada era tertentu.

Bahkan fatwa Rasulullah SAW tidak selalu sama atas pertanyaan yang sama. Pernah beliau mengharamkan percumbuan suami isteri di siang hari bulan Ramadhan, ketika yang bertanya seorangpemuda. Namun pernah pula beliau membolehkannya kepada orang berumur selama tidak terjadi jima’, ketika yang bertanya seorang renta berusia.

Maka tiap fatwa punya alamat masing-masing, kita tidak dibenarkan mengadu domba antara tiap fatwa yang dikeluarkan para ulama. Dan sebelum minta fatwa kepada seorang yang kita anggap sebagai ulama, kita perlu mengajak beliau untuk melihat langsung kondisi dan keadaan yang sesungguhnya, agar kita tidak menyesatkan dan menjebak beliau dengan informasi yang salah dan tidak nyambung, sehingga kita malah memanfaatkan wibawa beliau justru untuk mengadu domba umat Islam. Nauzhu billahi min zalik.

Berpartai di Indonesia hukumnya haram untuk kurun waktu, keadaan, era dan fenomena tertentu, namun hukumna bisa berubah menjadi halal, sunnah dan bahkan bisa jadi wajib, tergantung dari dinamika perubahan yang terjadi. Untuk tiap perubahan hukum itu, perlu ada kajian strategis serta syuro yang melibatkan para ahli halli wal ‘aqd dari setiap elemen umat Islam. Majelis Syuro itulah nanti yang akan memutuskan, kapan partai itu bisa dimanfaatkan untuk dakwah dan kapan partai itu harus diharamkan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc