Ketaatan Kepada Penguasa, Adakah Batasnya?

Assalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Pak Ustadz Taqabbalullahu minna waminkum, Selamat ‘Idul Fitri 1427 H. Saya ingin bertanya tentang Hadist di bawah ini? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia)." (HR Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman)

1. Sejauh mana kita harus mentaati pemimpin itu, apakah kita harus tetap taat walaupun kita dizholimi seperti Hadist tersebut?

2. Apakah kita mentaatinya hanya dalam urusan yang ma’ruf saja dan tidak dalam urusan munkar?

3. Apakah dalam urusan ibadah kita juga harus tetap mengikuti penguasa? Contoh: Ketetapan-ketetapan Shaum, Idul Fitri/Adha, Hajji, dan lain-lain?

Terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.

Wassalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam masalah ini kita seringkali terjebak pada dua kubu perbedaan sudut pandang. Sebagian dari kalangan elit umat ini ada yang sangat menekankan kepatuhan kepada penguasa, bahkan nyaris dalam segala halnya. Sebaliknya, ada juga dari mereka yang justru cenderung bersikap sebaliknya. Dan masing-masing datang dengan dalil dan hujjah mereka.

Maka ada baiknya bila kita dudukkan masalah ini dengan seadil-adilnya,sesuai dengan isi pesan masing-masing dalil yang kita punya. Tanpa harus terburu nafsu ingin benar sendiri dan terhindar dari semangat untuk saling menyalahkan sesama saudara muslim.

Hadits di atas tidak ada masalah dari sisi tusubtnya, namun dari segi dilalah-nya, seringkali dipahami secara beragam.

Benar bahwa setiap muslim harus taat kepada pimpinannya, bahkan ketaatan kepada pimpinan itu bagian dari agama. Ada begitu banyak dalil baik kitab maupun sunnah yang mendasarinya. Termasuk ayat berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)

Kewajiban taat kepada pemimpin sudah menjadi kesepakatan semua ulama Islam. Seandainya yang dimaksud dengan pemimpin itu adalah Rasulullah SAW dan para al-khulafa ar-rasyidin. Sebab kepemimpinan mereka sudah dijamin lurus dan sesuai dengan syariah Allah SWT.

Namun umat ini mulai sedikit bergeser pandangannya ketika yang jadi pemimpin sudah bukan lagi orang terbaik. Bahkan ketika yang jadi pemimpin justru orang kafir yang menindas umat Islam.

Untuk realitas kepemimpinan negara secara formal di dunia Islam saat ini, berkembang banyak pendapat. Misalnya, siapakah yang dimaksud dengan pemimpin di masa sekarang ini? Apa kriterianya? Benarkah semua pemimpin dalam bentuk apapun dan posisi apapun tetap wajib ditaati? Dan semakin banyakpara ulama yang berbeda pendapat.

Misalnya, apakah bangsa kafir yang datang menjajah dan menjadi penguasa secara de jure dan de facto di banyak negeri Islam, juga termasuk dalam kriteria pemimpin yang harus ditaati?

Apakah pemerintah Hindia Belanda yang menjajah Indonesia 350 tahun itu bisa dikatakan sebagai pemimpin yang wajib ditaati? Apakah pemerintahan agresor Israel yang membantai muslimin di Palestina itu juga boleh dibilang sebagai pemimpin yang wajib diikuti perintahnya? Apakah pemerintah kristen di Philipina yang membantai muslimin di Selatan negeri itu layak dipatuhi sebagai pemimpin?

Lalu ketika para agresor itu hengkang secara fisik, tapi kaki tangan dan pengaruhnya tetap bercokol di negeri bekas jajahannya, baik dari pemikiran, sistem hidup, tekanan ekonomi, kurikulum pendidikan, kebijakan politik dalam dan luar negeri, masih bisakah pemerintahan ‘boneka’ penjajah itu dikatakan sebagai pemimpin?

Sampai batas ini, kesepakatan tentang patuh kepada pemimpin kemudian menjadi bias. Ada sebagian kalangan yang memutlakkan ketaatan kepada pemimpin, siapapun dan apapun pemimpin itu. Kafir atau muslim, penjajah atau otonomi, pokoknya semua wajib dipatuhi.

Tetapi sebagian lagi lebih kritis dan tidak bisa menerima bila pemerintahan agresor atau boneka penjajah itu dianggap sebagai pemimpin yang wajib dipatuhi. Sebaliknya, justru pemerintahan seperti itu wajib diperangi bahkan ditumbangkan. Dan menumbangkannya merupakan jihad fi sabilillah.

Dalam hal ini, yang cenderung tidak mengakui kepemimpinan non muslim di negeri Islam pun mengalami perbedaan. Ada yang langsung memisahkan diri dari negara tersebut dan membangun sendiri negara baru. Misalnya, pecahnya India menjadi Pakistan yang berdiri sendiri dengan pemerintahan yang Islami.

Ada juga yang masih tetap mengakui pemerintahan itu, meski dengan pendekatan yang lebih kritis. Seperti umumnya sikap kita umat Islam di Indonesia ini.

Tetapi ada juga yang lebih ekstrim lagi. Misalnya beberapa kelompok kecil yang tidak mengakui pemerintahan sah di negeri ini. Mereka beranggapan bahwa pemerintah di negeri ini adalah pemerintahan thoghut yang sekulerdan anti Islam. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai pemerintahan yang sah bagi umat Islam, karena itu pemerintahan ini tidak boleh ditaati. Haram hukumnya mentaati pemerintah formal negeri ini dalam segala halnya.

Bahkan ada juga yang sampai pada prinsip bahwa pemimpin itu harus dari kalangan dalam mereka sendiri. Selama pemimpin itu bukan datang dari kalangan mereka sendiri, maka harus ditumbangkan. Dan begitulah keberagaman umat Islam di negeri kita.

Titik Tengah Nan Dinamis

Kalau kita buat garis grafik yang mewakili keberagaman pemahaman umat Islam di negeri ini, maka kita mendapatkan mereka ada hampir di setiap lini. Mulai dari yang paling ekstrim mengakui apapun pemerintahannya, sampai yang tidak pernah mau mengakui pemerintahan apapun kecuali bila yang jadi pemimpin adalah diri mereka sendiri.

Lalu kira-kira kita ada di mana? Jawabnya mungkin bisa beragam, tergantung kita mau ikut yang mana.

Tetapi kalau boleh kita sedikit lebih dalam membandingkan, maka mungkin tidak ada salahnya bila kita tetap dinamis dan selalu menerima adanya perubahan dan dinamika. Bisa saja suatu saat kita menjaga jarak dengan pemerintahan yang ada, bila diperhitungkan bahwa pemerintahan itu tidak kondusif bahkan menyengsarakan umat. Tetapi tidak tertutup kemungkinan pemerintahan itu berubah kebijakan. Kalau tadinya represif dan main hantam, akan ada masanya terjadi pergantian rezim. Sangat dimungkinkan untuk suatu masa tertentu sebuah pemerintahan sangat dekat dan menguntungkan umat Islam dari segala seginya.

Karena itu kami cenderung kepada pendekatan yang tidak menetapkan ‘harga mati’ dalam masalah-masalah seperti ini. Tetapi selalu ada kajian strategis di dalam tubuh umat Islam tentang pensikapan dan pemposisian dengan pemerintahan yang ada.

Adakalanya sebuah pemerintahan itu bisa kita taati dalam hal-hal yang baik, tetapi adakalanya ketaatan itu dicabut manakala dinilai merugikan umat. Intinya, indkes ketaatan itu ada parameternya yang disepakati sebelumnya. Tidak taat secara mutlak dan ‘pasrah bongkoan’, sebagaimana orang jawa menyebutnya.

Karena itu adanya majelis syura di kalangan umat Islam adalah hal mutlak. Di dalamnya berkumpul para ahli di bidangnya, baik ahli politik, ekonomi, pendidikan, juru dakwah, budayawan, cendekia, negarawan, dan lainnya. Semua memberikan pertimbangan taktis dan strategis tentang sikap terbaik umat Islam terhadap pemerintahan yang ada.

Tetapi justru syuro inilah yang sekarang ini tidak kita miliki, di mana para pemimpin dan tokoh umat duduk satu meja secara bersama. Entahlah kapan impian itu bisa menjadi kenyataan.

Apalagi mengingat realita sekarang ini. Mungkin kita masih harus lebih banyak bersabar lagi. Jangankan menentukan kebijakan umat terhadap pemerintah, bahkan urusan yang paling sederhana seperti penetapan jatuhnya 1 Syawwal pun, masih selalu jadi bahan egoisme masing-masing elemen.

Semoga Allah SWT menghimpun hati kita dan hati para pemimpin elemen umat ini dalam satu kecintaan kepada-Nya. Agar hati-hati kita bisa bertemu dalam ketaatan kepada-Nya. Dan bersatu dalam mengajak manusia kepada jalan-Nya. Dan saling berjanji untuk membela syariah-Nya. Amien Ya Mujibassailin.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Ahmad Sarwat, Lc.