Hukum Nikah Jarak Jauh

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pak Ustad yang dirahmati Allah, saya punya saudara. Pada saat pacaran dia tidak direstui oleh orang tua laki-laki. Dan karena dua-duanya sudah tidak bisa dipisahkan lagi, maka kami sebagai saudaranya merasa kasihan.

Lantas saya bertanya kepada ulama setempat. Dia mengatakan boleh nikah asal dengan jarak lebih dari 90 km. Lantas kami mencari teman jauh dan mendapat respon. Saudara saya boleh nikah di tempatnya.

Yang jadi pertanyaan sahkah perkawinan itu? Kalau seandainya tidak sah siapakah yang berdosa dalam hal ini? Perlukah diadakan perkawinan ulang? Mohon jawaban dan dalil-dalinya. Terimakasih

Wassalamualaikum

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Nikah jarak jauh adalah sebuah ungkapan yang mutli tafsir. Sayangnya, keterangan dari anda bahwa pihak orang tua tidak setuju pun kurang lengkap. Ketidak-setujuan dari orang tua yang anda sebutkan harus diperjelas, orang tua siapa yang tidak setuju?

Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.

Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.

Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus ‘membeli’ langsung dari ‘pemiliknya’, yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau ‘menikahinya’, kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.

Adapun orang lain yang bukan ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai ‘wali gadungan’. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan wanita itu masih punya wali yang sah.

‘Wali gadungan’adalah pencuri yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.

Syarat mutlak dari sebuah pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja.

Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya.

Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya haram.

Adapun fatwa boleh nikah tidak pakai wali asal seorang wanita sudah pergi sejauh 90 km adalah sebuah pendapat yang tidak ada dasarnya, baik dari Al-Quran maupun sunnah nabawiyah. Bila fatwa ini digunakan, maka zina akan sangat marak, sebab cukup pergi ke puncak, lalu tiap pasangan kekasih jadi boleh berzina, kapan saja seenaknya. Nauzu billahi min zalik.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc