Mana yang Berlaku, Masa &#039Iddah Berdasarkan Agama atau Negara?

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Ustaz, saya ingin menanyakan berdasarkan hukum agama apabila suami telah memberi talak satu kepada isteri kemudian isteri menjalani masa iddah selama 3 bulan, dan setelah menjalani masa iddah tersebut apakah si isteri tersebut boleh menikah lagi dengan pria lain? Tetapi di sini isteri tersebut baru menyelesaikan proses perceraiannya lewat Pengadilan Agama di mana yang kita tahu sendiri proses pengadilan agama itu membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Dan manakah yang berlaku masa iddah berdasarkan agama (dihitung sejak jatuhnya talak satu) ataukah masa iddah berdasarkan negara (dihitung sejak jatuhnya ketukan hakim)? Terima kasih atas jawabannya.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah nikah dan cerai itu memang diatur dalam hukum agama. Sehingga ketentuannya mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam dalil-dalil nash syariah.

Ada beberapa koreksi sedikit dalam menjawab pertanyaan anda.

Pertama, masalah lamanya masa iddah.

Yang benar bukan 3 bulan tetapi tiga kali masa suci dari haidh. Masa ini khusus buat masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya. Sebagaimana petunjuk langsung dari Allah dan rasul-Nya

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ

Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)

Lama masa quru` ada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW

“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.“ (HR Ibnu Majah)

Demikian pula sabda beliau yang lain:

Dia menunggu selama hari-hari quru’nya.“ (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Jadi kira-kira memang sebanding dengan masa 3 bulan, akan tetapi belum tentu tepat betul. Yang menjadi patokan adalah lama 3 kali masa suci dari haidh. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa tiap wanita punya keadaan yang berbeda-beda, yang berpengaruh juga pada lama masa haidhnya. Maka bisa saja seorang wanita menjalani masa iddah atas talaknya tidak sampai masa sebulan, atau sebaliknya malah lebih lama dari 3 bulan.

Sebagai ilustrasi, mari kita gunakan pendekatan dalam mazhab As-Syafi’i. Dalam mazhab itu disebutkan bahwa haidh seorang wanita paling cepat sehari semalam. Dan masa suci dari haidh paling cepat 15 hari. Maka kalau seorang wanita kebetulan punya masa haidh yang cepat dan masa suci dari haidh yang cepat juga, bisa saja masa iddahnya hanya sekitar 19 hari saja.

Logikanya, ketika diceraikan dia sedang berada pada hari terakhir dari masa sucinya. Ini sudah dihitung sekali masa suci. Lalu dia haidh sehari dan suci selama 15 hari. Ini sudah suci yang kedua, padahal jumlah harinya baru 1 + 1 + 15 = 17 hari. Bila dia haidh lagi selama 1 hari dan suci lagi, maka pada hari pertama dari sucinya, telah habis masa ‘iddahnya. 17 + 1 + 1 hari = 19 hari.

Kedua, masalah beda masa iddah versi agama atau pengadilan agama

Kita bersyukur bila di negeri kita yang tidak menggunakan hukum syariah ini, masih ada pengadilan agama. Meski tidak semua syariah Islam ditegakkan dalam pengadilan agama, tetapi beberapa bagian sudah dijalankan. Dan itu kita syukuri tentu saja.

Seperti masalah nikah, talak, rujuk, bagi waris dan harta wakaf. Tentu sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan semua item hukum Islam yang ada. Tetapi yang sedikit sudah lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.

Namun yang masih disayangkan justru pada wilayah yang sedikit itu masih ada saja kelemahan di sana-sini. Misalnya pada kompilasi hukum Islam tentang kapankah jatuhnya talak. Di dalam kitab kompilasi hukum Islam versi pengadilan agama, seorang wanita baru resmi dianggap ditalak manakala putusan hakim pengadilan agama menyatakan sah.

Meski pun suaminya sudah lebih setahun yang lalu mengucapkan lafadz talak secara sharih, tapi hakim belum menganggapnya talak, ya bukan talak.

Nah, ini tentu sangat dilemmatis, sebab di semua kitab fiqih versi semua mazhab, tidak pernah disebutkan bahwa jatuhnya talak itu manakala hakim mengetuk palu. Tetapi jatuhnya talak itu ketika suami mengucapkannya. Bahkan tidak perlu pakai saksi segala. Suka atau tidak suka, memang itulah kenyataannya. Begitulah literatur fiqih yang diajarkan kepada kita sejak zaman dahulu. Siapapun yang pernah belajar fiqih, pasti tahu hal itu.

Sekarang ini dengan adanya kompilasi hukum Islam versi Depag, seorang suami yang setiap hari bilang cerai pada isterinya, tetap saja dianggap belum sah cerainya. Selama belum ada putusan hakim.

Dan anehnya, masa iddah perceraian itu dihitung justru dari sejak tanggal putusan dari hakim yang menceraikan. Ini ajaib sekali.

Sejak kapan seorang hakim punya hak menentukan cerai tidaknya suatu pasangan? Di mana bisa dirujuk masalah ini? Kitab fiqih manakah yang menyebutkan keterangan ‘aneh’ ini?

Sementara kita tahu bahwa cerai itu datangnya dari suami, kapan pun seorang suami mengucapkan lafadz sharih tentang perceraian, maka saat itulah jatuh talak 1 kepada isterinya.

Tidak perlu menunggu sidang, apalagi putusan dari hakim. Bila masa ‘iddah secara agama sudah selesai, pada dasarnya seorang wanita boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.

Hanya saja karena pertimbangan mashlahat, sebaiknya masalah ini diimbangi juga dengan resiko kerepotan di kemudian hari. Meski secara agama sudah sah untuk menikah lagi, tetapi bila belum punya dokumen resmi untuk menikah, karena statusnya di surat resmi masih isteri orang, maka akan sulit dilaksanakan pencatatan akad nikah secara formal.

Kalau pun tetap nikah juga, hukumnya halal, karena cerai sudah terjadi dan masa iddah sudah lewat. Tapi secara prosedur formal, bisa saja di masa mendatang akan muncul berbagai problem dokumen yang agak merepotkan. Jadi memang dilemmatis juga pengadilan agama kita ini. Sudah tidak lengkap, masih saja ada kelemahan di sana-sini.

Jadi mohon maklum saja.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.