Mantan Pacar Berzina, Turut Berdosakah Saya?

Assalamu ‘alaikum, wr, wb.

Saya wanita berumur 23 tahun, 3 tahun yang lalu saya pernah berzina dengan pacar saya, sebenarnya kami berniat menikah tapi terhalang karena kami berbeda agama, sebelum kejadian tersebut kami telah berpacaran selama 2 tahun. pada saat kami berzina, itu bener-bener yang pertama kali kami lakukan. Kami telah mengakhiri hubungan sejak 2 tahun yang lalu.

Sekarang alhamdulillah saya sudah bertaubat dengan taubatan nasyuha. Saya pernah membaca artikel yang mengatakan bahwa ‘bila salah seorang yang pernah berzina masih tetap berzina, maka seorang yang lainnya akan ikut menanggung dosa perzinahan tersebut’. Sekarang mantan pacar saya tersebut kumpul kebo dengan seorang wanita yang juga berbeda agama.

Yang ingin saya tanyakan:

1). Apakah benar saya ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh mantan pacar saya walaupun saya bertaubat dan tidak melakukannya lagi, mengingat dia pertama kali melakukan zina dengan saya (saya merasakan beban yang berat, karena perbuatankami dulu dia jadi terbawa sampai sekarang & dia jadi seperti sekarang karena kecewa karena kami tidak berjodoh)?

2). Apa yang harus saya lakukan, haruskah saya memintanya untuk berhenti berbuat dosa?

Tolong jawab pertanyaan saya, terima kasih atas bantuan ustadz.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pada prinsipnya seseorang tidak dibebankan dosa yang dilakukan oleh orang lain, kecuali bila dia menjadi penyebab secara langsung atas dosa yang dilakukan orang lain itu.

Misalnya, otak pembunuhan harus ikut menanggung dosa dari pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain, meski dia tidak langsung melakukan pembunuhan. Itulah yang diberlakukan dalam agama Islam.

Selain itu yang ikut juga harus menanggung dosa adalah orang-orang yang terlibat membantu terjadinya proses pembunuhan. Misalnya, yang memodali, memberi jalan serta memudahkan pembunuh untuk melakukan dosa kejinya. Jelas sekali secara nalar bahwa pihak-pihak yang ikut membantu pembunuhan pasti harus ikut menanggung dosanya, meski tidak secara langsung ikut melakukannya.

Namun dalam kasus yang anda lakukan, yaitu berzina dengan seseorang, lalu anda telah menyatakan taubat, sedangkan mantan pasangan zina anda sampai hari ini masih belum juga bertaubat, tentu saja anda tidak perlu menanggung dosa yang dia lakukan. Dosa anda hanya sebatas dosa berzina dengan dirinya.

Adapun zina-zina lainnya yang dia lakukan, tentu saja bukan anda yang harus menanggungnya. Itulah nalar dan logika yang bisa kita terima.

Kecuali,

Kecuali bila orang itu tadinya bukan pezina, lalu anda mengajarinya berzina. Dia menjadi pezina semata-mata lantaran anda yang mengajaknya serta menjerumuskannya. Maka wajar jika anda harus ikut menanggung dosa zina yang dilakukannya. Karena anda memang menjadi sebab dari dosa-dosa yang dikerjakannya.

Sama saja kasusnya dengan seorang yang jadi peminum khamar lantaran pernah diajak sebelumnya oleh temannya. Boleh jadi kemudian si teman ini sudah bertobat, tapi dirinya malah masih saja menjadi pemabuk, maka si teman ini kita bilang menjadi penyebab dosa-dosa yang dilakukannya.

Wajar bila si teman ini punya kewajiban untuk menghentikan perbuatannya, setidaknya sudah berupaya sebisa mungkin untuk mencegahnya. Kalau ternyata tidak sadar-sadar juga, sementara usaha untuk menghentikannya sudah maksimal, kita serahkan kepada Allah SWT.

Demikian juga dengan kasus yang anda ceritakan. Seandainya pasangan zina anda sampai hari ini masih awet dengan zina yang dilakukannya, dan kelakuan bejat itu semata-mata karena anda penyebabnya, maka kewajiban moral anda saat ini adalah berupaya sekuat tenaga agar dia bisa berhenti dari berzina.

Tapi bila bukan anda penyebabnya, secara moral anda tidak terbebani untuk menyadarkannya. Meski tetap saja upaya untuk menyadarkan orang lain, siapa pun dia, dari melakukan dosa tetap wajib dilakukan.

Sebab agama ini adalah nasihat. Kita telah diperintahkan Allah SWT untuk mencegah perbuatan keji dan dosa. Rasulullah SAW telah mewajibkan kita bila melihat kemungkaran untuk mengubahnya dengan tangan, lisan dan hati. Semua itu bisa melalui kekuasaan, pengaruh, otoritas, kemahiran, dana, strategi dan pendekatan hati. Pendeknya, apa pun yang bisa kita lakukan, maka kita wajib melakukannya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc