Untold History of Pangeran Diponegoro (20)

Untold History of Pangeran Diponegoro (20)

“Ki Sentono, entah apa yang harus saya ucapkan kepadamu. Apa yang sudah Kisanak kerjakan akan sangat berarti bagi kita semua, bagi pemerintahan yang kita sama-sama berada di belakangnya. Aku berjanji, Kisanak akan mendapatkan hadiah dari pemerintah. Dan kapan mereka semua akan bergerak?”

“Semuanya tinggal menunggu perintah Tuan Patih saja.”

Danuredjo mengangguk-anggukan kepalanya. Residen Smissaert harus segera diberitahu hal ini. Tetapi dia agak jengkel juga terhadap Residen pengganti Baron de Salis ini yang menurutnya tidak bisa bekerja dengan cepat. Danuredjo menggerutu. Namun bagaimana pun, Smissaert sekarang adalah orang yang harus dilayaninya dan dia harus bekerja dengan sebaik-baiknya agar posisinya sungguh-sungguh aman.

“Ki Sentono,” ujar Danuredjo. “…Kisanak sekarang saya perintahkan untuk ke Tegalredjo. Membaurlah di sana dan laporkan dengan cepat perkembangan yang terjadi di sana. Beberapa teman kita yang juga sudah berada di Tegalredjo akan membantu Kisanak.”

“Apakah kodenya berubah, Tuan Patih?”

Danuredjo kembali tersenyum. Dia kemudian melihat ke kanan dan kiri ruangan. Sepi. Dengan pelan Danuredjo menangkupkan kedua tangannya ke telinga Ki Sentono dan berbisik, “Parangkusumo dan Progo.”

“Tanda?”

“Tali putih dan hijau pada ujung gagang senjata…”

Ki Sentono mengangguk. Ini berarti setiap pasukan telik sandi dari Danuredjo akan mengikat ujung gagang senjatanya, apakah itu keris, pedang, kelewang, atau pun yang lain, dengan tali putih dan hijau. Dan untuk konfirmasi, dia harus mengucapkan “Parangkusumo” dan orang yang dimaksud harus menjawab, “Progo”.

“Sekarang pergilah Ki Sentono. Selamat bertugas.”

Ki Sentono membungkukkan badannya dan mengucap salam kembali. Setelah itu dia keluar dari ruangan. Danuredjo kembali sendirian di dalam ruangannya. []

Bab 16

AKHIRNYA RESIDEN SMISSAERT KELUAR JUGA dari kamar tidurnya. Dengan kedua mata yang masih sembab dan seluruh wajahnya kemerah-merahan bagai udang rebus, pejabat Belanda itu membanting pantatnya di atas kursi kerja Danuredjo. Dan seperti biasan, kedua kakinya diangkat ke atas meja.

“Bagaimana kabar Mangkubumi? Apakah dia sudah balik dari Tegalredjo?”

Danuredjo menggelengkan kepalanya, “Belum Tuan Residen… Tapi saya mendapat kabar bahwa dia sedang menuju ke sini dengan membawa jawaban dari Diponegoro.”

“Well, kita tunggu saja di sini.”

Belum kering bibir Smissaert berbicara, pintu ruangan terbuka. Sosok Mangkubumi sudah berada diambang pintu. Dengan langkah tegap dia masuk ke dalam ruangan. Tanpa memberi salam dia langsung memberikan jawaban Diponegoro yang disampaikan secara lisan.

“Pertama-tama Pangeran Diponegoro mengucapkan terima kasih atas undangan Tuan Residen. Tapi dia menolak memenuhinya. Pangeran Diponegoro juga menolak semua tawaran yang Tuan ajukan. Dia hanya ingin supaya Patih Danuredjo dipecat dan Belanda angkat kaki dari Tanah Jawa. Baginya, tiada tawaran atau jabatan yang paling utama kecuali mengharapkan kecintaan dan keridhaan Allah Yang Maha Kuasa. Dia ingin supaya Tuan Residen menginsyafi kesalahannya dengan membuat jalan di atas tanah makam leluhur tanpa izin. Itu saja.”

Wajah Smissaert merah padam. Dengan penuh amarah dia berteriak, “Diponegoro tidak usah menceramahiku soal tuhannya! Dia benar-benar tidak tahu diuntung! Dia ingin perang, maka kita akan beri dia perang yang besar!”

Danuredjo hanya berdiam diri. Dia menatap lantai ruangan kerjanya sendiri yang sepertinya semakin lama entah mengapa semakin membuatnya gerah. Namun beda dengan Mangkubumi. Lelaki ini tidak terpengaruh dengan kemarahan Smissaert yang bagaikan letusan Gunung Merapi. Dia tetap berdiri dengan tenang dan menatap langsung ke arah residen itu.

“Apalagi yang dikatakan pemberontak itu padamu?”

“Tidak ada lagi,” ujar Mangkubumi. “…Hanya saja, menurut hematku, pembangunan jalan raya dengan menerabas tanah makam leluhur dan sebagian kebun milik Diponegoro tanpa izin memang tidak bisa dibenarkan. Aku pun secara pribadi keberatan karena itu adalah tanah makam leluhurku juga…”

“Aku tidak minta pendapatmu. Kowe hanya perlu menjawab pertanyaanku. Itu saja,” ujar Smissaert ketus. Mukanya yang bulat masih merah padam.

“Bagaimana Patih? Apakah kowe punya rencana lagi?” tanya residen itu pada Danuredjo.

“Kita beri peringatan terakhir saja kepada Diponegoro. Jika peringatan terakhir ini, berikut batas waktunya, dia masih juga membangkang, maka itu berarti dia memang menginginkan perang.”

Smissaert agaknya kurang berkenan dengan usulan Danuredjo kali ini. Dia sempat berdiam agak lama. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Smissaert akhirnya tidak punya pilihan. Pihaknya bagaimana pun juga harus mengulur waktu karena pasukan yang tersedia belum kuat, sedangkan pasukan bantuan belum datang. Sambil menunggu datangnya pasukan bantuan, maka ada baiknya dia mengirim peringatan terakhir kepada Diponegoro. Dan Mangkubumi sekarang juga harus kembali ke Tegalredjo.

“Mangkubumi! Kowe sekarang juga kembali lagi ke Tegalredjo. Temui Diponegoro dan katakan padanya jika nanti tengah malam dia masih bersikap seperti ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kami akan menangkapnya, dengan segala cara! Kami sudah benar-benar habis kesabaran! Cepat jalan! Dan jika dia tidak mau juga kesini, kowe yang harus jadi gantinya. Kowe akan kita tahan disini!”

Kedua geraham Mangkubumi bergemeretak menahan marah. Tapi dia tahu, tidak ada gunanya menghadapi orang-orang seperti Smissaert dan Danuredjo. Keduanya adalah sampah, dan dia benar-benar jijik untuk berlama-lama dengan keduanya di dalam satu ruangan. Sebab itu dia segera berangkat kembali ke Tegalredjo bersama kudanya. Tekadnya sudah bulat, dia akan bergabung secara terang-terangan dengan pasukannya Diponegoro. Sebelum memacu kudanya, diam-diam dia segera memanggil Suryo Widhuro, seorang prajurit jaga kraton yang bersimpati kepada perjuangan Pangeran Diponegoro. Di bawah pohon beringin yang lebat, sambil berbisik Pangeran Mangkubumi memberikan pesan kepada Suryo.

“Kisanak, inilah terakhir kali aku menginjak kraton sebagai seorang sahabat. Sore ini aku akan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Tegalredjo dan tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini sebagai kawan. Kisanak dan prajurit yang lain, para sahabat kita, tetaplah disini. Bertugaslah seperti biasa. Sewaktu-waktu kami akan memerlukan keberadaan Kisanak dan lainnya yang ada di sini…”

Wajah Suryo Widhuro terlihat tegang. Dia berkali-kali membungkukkan badannya kepada Pangeran Mangkubumi. Namun Mangkubumi bukanlah seorang bangsawan yang gila hormat. Dengan tangan kanannya dia memegang pundah prajurit itu dan menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Suryo, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pamit…”

“Wa’alaikumusalam, Kanjeng Pangeran… Saya akan setia dan siap selalu!”

Mangkubumi segera menggebrak kudanya. Dalam sekejap, kuda hitam coklat itu meringkik dan kemudian berlari kencang meninggalkan kraton. Sikap Mangkubumi sudah bulat. Sore ini dia akan bergabung dengan barisan Diponegoro. Namun walau bagaimana pun, kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya haru harus meninggalkan kraton untuk selama-lamanya dengan cara seperti ini.

Perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu mensyaratkan pengorbanan. Sebab itu, jalan ini adalah jalan sepi. Jalan yang hanya kuat dilalui oleh orang-orang yang memiliki kemauan baja dan prinsip hidup yang tak tergoyahkan. [] (Bersambung)