Untold History of Pangeran Diponegoro (25)

Untold History of Pangeran Diponegoro (25)

Tiba-tiba seorang kurir dari Residen Smissaert datang ke pendopo alun-alun Lor. Dia langsung menemui Patih Danuredjo dan menyerahkan surat dari tuannya. Setelah membuka surat itu, Danuredjo langsung mengakhiri pertemuan dengan para senopati utama kraton dan yang lainnya.

“Sekarang kalian semua persiapkan pasukanmu masing-masing dengan baik. Dalam waktu dekat kita akan bergerak.”

Itu saja. Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kraton. Residen Smissaert telah menunggunya di ruangan kepatihan seperti biasanya. Tak sampai memakan waktu lima menit, Danuredjo telah membuka pintu ruangan kantornya. Dia tahu Smissaert sudah berada di dalam. Dan benar saja, Belanda bermuka bulat dengan mata biru dan rambut tipis seputih kapas di kedua bagian samping kepalanya sudah berada di atas kursi Danuredjo dengan kedua kaki diselonjorkan ke atas meja.

Kowe sudah siapkan semua senopati yang ada?”

Danuredjo menganggukan kepalanya sambil duduk di depan Residen Smissaert tanpa memperdulikan jika kedua telapak kaki Belanda yang masih memakai sepatu itu langsung menghadap ke arah mukanya.

“Sudah. Semuanya sudah siap.”

Smissaert tertawa. Danuredjo juga. Belanda itu kemudian menurunkan kakinya dan berdiri kemudian duduk di pinggir meja setelah menggeser papan nama Patih Dalem Danuredjo IV dari tempatnya semula.

“Patih… Gillavry dan Von Jett telah mengkonfirmasi semua permintaan kita. Pasukan mereka telah berangkat dari Surakarta, dan akan menyusul kemudian yang dari Magelang serta Semarang. Mereka akan bergabung dengan Legiun Mangkunegaran yang sebentar lagi akan tiba. Kita sudah kuat kembali. Sore ini kita akan tangkap pemberontak itu!”

“Apakah tidak sebaiknya kita menunggu surat jawaban darinya dulu, Tuan Residen. Bagaimana laporan dari kurir kita tadi malam yang menemui Mangkubumi?”

“Tidak perlu. Kita mengirim kurir dan meminta Diponegoro menulis surat lagi hanyalah untuk memperbanyak pekerjaannya saja. Kita tidak menunggu surat itu. Kita akan kepung mereka dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang kekuatan mereka.”

“Apakah kita sudah tahu berapa kekuatan mereka yang dipusatkan di Tegalredjo?”

“Ya. Dari beberapa pasukan telik sandi, kita sudah mendapat kepastiannya.”

“Siapa nanti yang memimpin penangkapan?”

Smissaert tertawa, “Kowe mau, Patih?”

Danuredjo menggeleng cepat. Sambil tertawa konyol Danuredjo menjawab, “Tuan Residen pasti tahu saya bukan orang yang tepat untuk mengemban tugas itu. Wakil Tuan, Chevallier jauh lebih tepat.”

Smissaert mengangguk-angguk. “Ya, kowe kali ini benar. Chevallier lebih punya kemampuan untuk itu. Dia orang sudah aku panggil. Sekarang dia sedang ke sini.”

“Secepat itukah?”

“Rencana sudah aku susun dengan sangat rapi. Jika kowe pintar, kowe akan bisa banyak belajar…”

Danuredjo hanya manggut-manggut. Tak berapa lama terdengar langkah-langkah kaki tergesa milik wakil residen itu. Chevallier sudah mengenakan seragam tempur, lengkap dengan topi dan pedangnya. Dia benar-benar sudah siap diterjunkan ke medan laga. Setelah memberikan military-salute, dengan sikap sempurna Chevallier melapor pada atasannya, Residen Anthonie Hendriks Smissaert.

“Lapor Tuan Residen! Kami siap dan tinggal menunggu perintah!”

“Berapa kekuatanmu untuk operasi nanti sore?”

“Siap! Duapuluh lima flankeurs[1], duapuluh lima huzaren[2], dan dua veldstuk[3]. Demikian pula dengan pasukan prang Sultan, pasukan prang Pangeran Pakualaman, Legiun Mangkunegaran, dan lainnya. Semuanya sudah siap bergerak. Mereka kini berada di posnya masing-masing untuk menunggu perintah. Letnan Satu Thierry dari Resimen Huzaren ke-7 menjadi pimpinan operasi. Saya sendiri ikut di dalam pasukan ini.”

Senyum Smissaert mengembang di wajahnya. Sambil mengangguk-angguk, dia memberikan beberapa perintah. “Jika sampai pukul setengah tiga sore Mangkubumi belum juga datang dengan membawa pimpinan pemberontak itu ke sini, maka kedua orang itu-Mangkubumi dan Diponegoro-harus kalian tangkap, hidup atau mati. Tak ada bedanya bagiku. Gunakan segala cara untuk menyeret kedua orang itu ke hadapanku. Secepatnya!”

Smissaert melirik lemari jam Junghans yang berdiri di sudut ruangan kepatihan. Jarum pendeknya yang berwarna keemasan telah mendekati angka dua. Smissaert tahu, jarum itu akan terus bergerak pasti, detik demi detik, menit demi menit, seirama gerak dua bandul yang bergelantungan di bawah bulatan dengan dua jarum jam.

Residen itu kemudian menatap wakilnya yang masih berdiri dengan sikap sempurna, “Chevallier, kowe punya waktu kurang dari satu jam untuk bersiap. Sekarang kembalilah ke pasukanmu. Bersiaplah. Sebelum hari menjadi gelap, aku sangat berharap pimpinan pemberontak itu sudah kowe seret ke sini. Kita perlihatkan kepada semua orang, hukuman apa yang bakal menimpa orang-orang yang berani melawan pemerintah yang sah ini!”

“Siap!” jawab Chevallier singkat dan tegas. Setelah memberikan penghormatan kembali, dia kemudian membalikkan badan. Dengan setengah berlari, veteran Palagan Waterloo itu melintasi lorong yang satu ke lorong yang lain di dalam kraton menuju alun-alun Lor tempat semua pasukannya berkumpul.

Matahari bulan Juli yang terik semakin tergelincir ke barat. Chevallier telah tiba di ujung alun-alun. Dari kejauhan, nampak semua pasukannya telah berbaris rapi di lapangan yang luas. Chevallier tersenyum. Walau tubuhnya bermandikan keringat, namun semangatnya begitu tinggi. Sore nanti, Pangeran Diponegoro-Kepala Pemberontak itu-beserta Pangeran Mangkubumi, sudah harus dibawanya ke Residen Smissaert. []

Bab 22

INFORMASI MERUPAKAN SESUATU YANG AMAT sangat berharga dalam sebuah peperangan. Siapa yang menguasai informasi musuhnya, maka dia akan keluar sebagai pemenang. Pangeran Diponegoro sangat mengetahui hal ini.

Sebab itu, jauh-jauh hari Diponegoro telah menugaskan Pangeran Bei untuk menyebarkan sejumlah pasukan telik sandi ke kantung-kantung musuh, bahkan ke dalam kraton dan juga Vredeburg, benteng Belanda yang berada tak jauh di utara kraton. Pasukan telik sandi Diponegoro bukan hanya terdiri dari kaum lelaki, namun juga perempuan. Para isteri pangeran, selir raja, pelayan kraton, tukang masak, hingga para penari, dan pedagang yang diam-diam bersimpati pada perjuangan Pangeran Diponegoro. Mereka secara suka rela bekerja, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai perkembangan dan pergerakan pasukan musuh.

Mengenai pasukan telik sandi ini, laskar Diponegoro memiliki dua jenis. Yang pertama adalah pasukan telik sandi sukarela, yang terdiri dari banyak profesi dari berbagai macam lapisan masyarakat. Sedangkan yang kedua adalah pasukan telik sandi utama, yaitu pasukan yang sengaja dibentuk dari orang-orang terpilih, direkrut dan dilatih secara rahasia, dan secara terencana serta terukur ditempatkan di posnya masing-masing. Dengan sendirinya, tingkat kredibilitas informasi yang diperoleh pasukan telik sandi utama ini jauh lebih terpercaya ketimbang yang pertama. (Bersambung)

[1] Infanteri

[2] Kavaleri

[3] Artileri (pembawa meriam)