Untold History of Pangeran Diponegoro (29)

Untold History of Pangeran Diponegoro (29)

Seratusan meter di selatan, Letnan Satu Thierry dan Chevallier masih berada di atas kudanya. Mereka mengawasi penyerbuan dari depan gapura yang sudah sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegara. Sejumlah pasukan kawal berada di keliling mereka. Lalu seorang opsir dengan kudanya mendekat.

“Tuan! Para pimpinan pemberontak sudah meloloskan diri ke arah barat!”

Chevallier terkejut. Demikian pula Thierry. Setahu mereka, dari data yang dihimpun dari pasukan mata-mata, termasuk tukang yang memandikan Kiai Gentayu setiap hari yang disusupkan Belanda, tidak ada lubang sedikit pun di sepanjang dinding arah barat yang bisa digunakan untuk meloloskan diri.

“Barat? Mana bisa? Bukankah di sana tidak ada pintu? Mengapa kalian tidak bisa mencegahnya!” sergah Thierry.

“Ampun, Tuan. Diponegoro menjebol temboknya…”

Chevallier dan Letnan Satu Thierry kaget bukan kepalang. “Apa katamu? Menjebolnya? Tembok itu sangat tebal. Kowe jangan bohongi saya, opsir!” ujar Chevallier naik pitam.

“Tidak! Saya tidak bohong Tuan! Silakan Tuan lihat sendiri. Kita sudah menguasai jalur ke sana. Mari ikuti saya…”

Keduanya, diiring para pengawal berkuda, segera mengikuti opsir tersebut. Sampai di depan tembok tebal yang dijebol Diponegoro, baik Chevallier maupun Letnan Satu Thierry ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana cara seorang Diponegoro melakukannya hingga mampu menjebol tembok tebal dan kuat seperti itu.[1]

Keterkejutan mereka hanya sesaat. Berganti dengan kemarahan yang amat sangat. Chevallier tahu, Residen Smissaert pasti akan memarahinya habis-habisan. Misinya gagal. Walau Puri Tegalredjo sudah dikuasai namun mereka tidak mampu menangkap Diponegoro dan Mangkubumi. Dengan menahan kegeraman, keduanya lalu memerintahkan agar seluruh bangunan di Puri Tegalredjo dibakar.

“Hancurkan! Bakar habis semuanya!” []

Bab 25

API YANG MENJILAT SELURUH BANGUNAN kompleks Puri Tegalredjo terlihat membumbung tinggi dari atas bukit karang, di mana Pangeran Diponegoro dan seluruh rombongannya beristirahat sejenak. Raden Ayu Retnaningsih sudah siuman. Isteri Pangeran Diponegoro itu sedang dirawat Ki Maswadhi, tabib puri yang juga berhasil melarikan diri bersama mereka. Perempuan itu dibaringkan di atas rumput kering dan diselimuti kain batik panjang berwarna kecoklatan yang biasanya dipakai untuk mengganjal kursi pelana dengan punggung kuda.

Dari atas Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro menatap jauh ke bawah, ke arah timur di mana Puri Tegalredjo berada. Hatinya teriris melihat rumah kediamannya sejak kecil dibakar habis oleh pasukan kafir Belanda yang dibantu prajurit Legiun Mangkunegaran. Kedua matanya meremang basah. Bibirnya bergetar menahan sedih, dan juga amarah.

“Paman…,” ujar Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang berada di sampingnya, “…lihatlah sekarang. Rumah dan masjidku sudah dibakar kaum kafir. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini… Hanya Allah subhana wa ta’ala dan Rasul-Nya yang aku punya. Insya Allah, sampai mati, aku akan selalu berjuang membela agama haq ini…”

Mendengar ucapan keponakannya yang dituturkan dengan penuh perasaan, Mangkubumi ikut terharu. Kedua matanya juga ikut basah. Dengan perlahan dia mencoba memberi penghiburan kepada keponakannya yang tengah gundah.

“Pangeran…, Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Barangsiapa yang menggantungkan diri hanya kepada-Nya, maka dia akan menjadi orang yang paling beruntung di dunia kini dan akherat nanti. Cukuplah Allah sebagai pelindung. Dia-lah sebaik-baik pelindung…”

Pangeran Diponegoro mengangguk pelan, “Benar, Paman. Apa yang terjadi hari ini belumlah apa-apa dibandingkan dengan perang sesungguhnya. Semoga Allah subhana wa ta’ala memberikan perlindungan, kekuatan, dan ketabahan bagi kita semua…”

Amien ya Rabb…

“Paman, mari kita segera berangkat. Hari sudah mulai gelap. Desa Dekso masihlah jauh. Mudah-mudahan kita bisa sampai di sana dengan selamat…”

Pangeran Mangkubumi dan Ngabehi memerintahkan supaya semuanya bersiap kembali. Desa Dekso yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo masih jauh. Di desa ini, Pangeran Diponegoro berencana menitipkan anak-anak dan keluarganya, juga para emban, dan yang lainnya yang bukan termasuk kombatan. Sedang dirinya sendiri, juga Mangkubumi, Pangeran Bei, Ki Singalodra, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya-termasuk isterinya sendiri, Raden Ayu Retnaningsih-setelah dari Dekso akan berjalan kembali menuju Gua Selarong. Di sanalah markas komando utama berada. Ki Guntur Wisesa sudah mempersiapkan segalanya di Selarong. []

Bab 26

NYALA API MASIH BEGITU BESAR membakar hampir semua bangunan di dalam kompleks Puri Tegalredjo. Asapnya membubung tinggi mewarnai langit sore yang seharusnya berwarna jingga dengan nuansa kelabu yang begitu pekat. Adzan maghrib yang biasanya mengalun merdu dari masjid Tegalredjo, kini tiada terdengar lagi. Demikian pula dengan rombongan warga desa berjubah putih yang biasanya berbondong-bondong berjalan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat, sudah tidak ada. Semuanya menghilang, seiring serbuan pasukan gabungan Belanda dan Legiun dari Surakarta ke kediaman Ratu Ageng, tempat di mana Bendoro Raden Mas Ontowiryo, yang kemudian lebih populer disebut Pangeran Diponegoro, menempa diri sejak kecil dengan ilmu dan amal.

Letnan Satu Thierry bersama pasukannya malam itu terus bertahan di Tegalredjo. Demikian pula dengan Chevallier. Sebagai pimpinan pasukan, Thierry merasa bertanggungjawab untuk terus melakukan pengejaran ke arah Barat, arah di mana rombongan Pangeran Diponegoro melarikan diri.

Sedangkan Chevallier, walau tidak mengakui, namun sepertinya enggan untuk kembali ke tempat Residen Smissaert berada malam ini. Lolosnya Pangeran Diponegoro dan juga Mangkubumi pasti akan menimbulkan kemarahan Residen Yogyakarta yang baru bertugas dua tahun itu. Sebab itu dia memilih untuk tetap tinggal bersama Thierry.

Hari sudah mulai gelap. Penjagaan di sekeliling lahan bekas puri diperketat. Para prajurit Legiun Mangkunegaran ditempatkan di pos-pos jaga terluar dari kompleks puri. Menurut laporan sejumlah opsir lapangan, pasukan Belanda ternyata belum sepenuhnya menguasai wilayah ini sepenuhnya. Di sejumlah titik yang menyebar di sekitar Tegalredjo, masih terdapat sisa-sisa laskar pemberontak. Mereka tidak terorganisir dengan rapi, sehingga mirip dengan gerombolan kriminal.

Yang sama sekali tidak diketahui Thierry dan juga Chevallier, berita penyerangan pasukan Belanda ke Puri Tegalredjo ternyata mengundang simpati yang begitu dalam dari rakyat pribumi terhadap Pangeran Diponegoro. Tanpa dikomando, dari berbagai desa dan pelosok kampung, dari lembah dan gunung, mengalir laskar-laskar dadakan dengan membawa aneka jenis senjata yang berjalan menuju Tegalredjo. Laskar-laskar dadakan ini dipimpin oleh Demang, ulama, atau jagoan setempat. Tujuan mereka satu, untuk merebut kembali kompleks Puri Tegalredjo, yang oleh rakyat pribumi sudah dianggap sebagai kraton sesungguhnya.

Laskar-laskar dadakan ini mengepung wilayah Tegalredjo dari segala arah. Kecuali sekitar jembatan Kali Winongo menuju Kraton dan Benteng Vredeburg, di mana jalur satu-satunya keluar-masuk Kraton-Puro Tegalredjo yang aman dijaga dengan kuat oleh pasukan gabungan Belanda-Legiun Mangkunegaran. (Bersambung)

[1] Sampai sekarang, tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro masih bisa disaksikan di Monumen Pangeran Diponegoro, Sasana Wiratama, Jalan H.O.S. Cokroaminoto 430, Tegalredjo, Yogyakarta. Telp. (0274) 622668.