Untold History of Pangeran Diponegoro (30)

Untold History of Pangeran Diponegoro (30)

Di berbagai akses jalan, laskar dadakan ini melakukan blokade hampir di semua jalan utama. Mereka menebangi pohon-pohon besar dan sengaja membiarkannya melintang di jalan raya, batu-batu besar digulingkan, dan sebagian bahkan mulai menggali lubang-lubang dan selokan tepat di tengah-tengah jalan. Letnan Satu Thierry dan Chevallier cemas. Thierry kemudian memanggil sejumlah kurir yang dikumpulkannya di depan tenda komando yang didirikan di utara alun-alun, dekat dengan bagian depan pendopo yang hampir keseluruhan bangunannya sudah hancur.

“Kalian semua secepatnya ke kraton. Temui Residen Smissaert. Katakan padanya jika sekarang juga memerlukan pasukan bantuan. Para pemberontak berdatangan dari segala arah. Nasib kita semua di sini bergantung pada kalian semua! Pergilah cepat!”

“Laksanakan, Komandan!”

Dengan naik kuda, mereka segera menuju jembatan Kali Winongo yang sudah diamankan. Setelah dari jembatan itu, mereka menyebar menuju Benteng Vredeburg dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baru saja para kurir itu pergi dengan kudanya, seorang opsir kembali datang, “Lapor komandan! Para pemberontak semakin mendekati utara dan selatan kita!” ujarnya.

“Utara dan selatan? Seberapa banyak kekuatan mereka?”

“Masing-masing sekira seratusan orang. Mereka dipimpin para Demang, pendekar, dan pemimpin Islam, dengan senjata tajam.”

“Bagaimana dengan pasukan kita?”

“Mereka siap di posnya masing-masing. Yang di utara, di sekitar Bener dan Kricak, sudah diperkuat oleh limapuluh prajurit Legiun. Limapuluh prajurit Legiun lagi sekarang sedang bergerak ke pos selatan, di sekitar Ngemper dan Gampingan, untuk memperkuat kedudukan kita di sana.

Thierry memandang sejenak ke arah Chevallier yang sedang duduk di atas meja sambil mendengarkan laporan opsir tersebut. Kemudian perwira tersebut memerintahkan agar beberapa regu pasukan yang masih ada di dalam kompleks puri segera diberangkatkan ke pos wilayah utara dan selatan Tegalredjo untuk menghadapi ancaman yang tidak bisa diduga itu.

“Bagaimana dengan pos Barat dan Timur kita?”

“Pos Barat dan Timur sudah kuat. Juga akses kita ke pusat lewat jembatan Kali Winongo sudah kuat…”

Good, kita sudah meminta tambahan pasukan dari Yogyakarta. Mudah-mudahan mereka segera tiba di sini. Untuk pengamanan di dalam puri cukup satu peleton pasukan…”

Setelah opsir itu berlalu dari hadapannya, Letnan Satu Thierry mendekati Chevallier. Dengan berbisik dia berkata, “Komandan, saya punya firasat jika apa yang kita lakukan sore ini akan menjadi awal dari sebuah perang besar. Pangeran Diponegoro bukan sekadar pangeran pemberontak. Tapi dia sudah menjadi pemimpin, raja yang sesungguhnya, dari inlander. Para inlander itu akan bersatu di belakangnya untuk melawan kita semua…”

Chevallier terdiam. Kedua matanya menatap lurus ke arah Thierry yang jauh lebih muda. Dengan penuh keingintahuan, Chevallier juga berbisik, “Kamu yakin?”

Letnan Satu Thierry mengangguk. Begitu yakin.

“Apa yang membuatmu yakin seperti itu, Letnan?” selidik Chevallier.

“Ini penilaian obyektifku saja sebagai seorang tentara. Pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin sejati. Adalah sangat sulit mengalahkan peperangan yang dipimpin langsung oleh pemimpin yang seperti ini. Rakyat akan rela mati demi pemimpin seperti ini. Mereka tidak lagi menganggapnya sebagai seorang manusia yang memiliki kekurangan, namun mereka akan menganggapnya sebagai Pemimpin Agama mereka sendiri. Diponegoro sudah memenuhi semua syarat itu. Ini akan jadi peperangan yang besar, Komandan. Sama seperti sepuluh tahun lalu ketika Napoleon memimpin pasukan Prancis di Waterloo menghadapi Duke Wellington…”

Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Pernyataan Letnan Satu Thierry mengingatkannya akan pertempuran besar yang pernah diikutinya sepuluh tahun lalu di sisi seorang Napoleon Bonaparte.

“Kita sekarang melawan raja sesungguhnya dari para inlander. Suatu ketika, sejarah bangsa ini akan menulis Pangeran Diponegoro dengan tinta emas. Pemberontak itu akan dianggap sebagai pahlawan besar. Aku yakin itu…,” ujar Thierry. Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia juga punya pandangan yang sama dengan perwira yang lebih muda darinya itu. []

Bab 27

UDARA MALAM YANG BIASANYA SANGAT sejuk kali ini dirasakan begitu panas bagi Residen Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. Itu dirasakannya setelah mendengar kegagalan misi yang diemban Letnan Satu Thierry dan Chevallier dari seorang opsir yang baru saja tiba di depan mejanya.

“Kerja begitu saja tidak becus! Buat apa membawa pasukan banyak seperti itu, dengan meriam pula, kalau untuk menangkap dua pimpinan pemberontak seperti itu saja tidak bisa!” semprotnya pada opsir itu. Prajurit rendahan tersebut hanya mematung diam.

“Dan sekarang dia minta bantuan pada kita untuk menyelamatkan dirinya! Gila apa! Apa seluruh Yogyakarta ini mau dikosongkan hanya untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung di Tegalredjo! Buat apa bertahan di situ kalau para pemimpin pemberontak itu kabur? Buat apa bikin pos disitu dan bukannya mengejar sampai mereka tertangkap!”

Opsir itu masih saja mematung dengan dagu tegak. Smissaert geleng-geleng kepalanya. Wajahnya kemudian didongakkan ke atas sembari menghembuskan nafas panjang-panjang.

“Thierry dan Chevallier itu bikin malu saja. Apa kata Mac Gillavry nantinya kalau ternyata dia tahu? Mau disembunyikan kemana mukaku ini, hah!”

Smissaert rupanya benar-benar marah. Beberapa hari lalu, Mac Gillavry memang menulis surat kepada dirinya yang isinya memperingatkan tentang bahayanya Pangeran Diponegoro yang berhasil menghimpun pasukan yang cukup kuat. Namun kala itu Smissaert malah mentertawakannya dan mengacuhkannya. Ternyata faktanya berkata lain. Diponegoro berhasil lolos dari kepungan pasukan gabungan Belanda dan Legiun Mangkunegaran. Sebab itu, dia sungguh-sungguh malu kepada Residen Surakarta tersebut.

“Opsir!”

“Siap, Tuan!”

“Apa benar pasukan kita terjepit di sana dan perlu penambahan pasukan?”

Dengan dagu tetap terangkat ke atas, opsir tersebut menjawab tegas, “Siap, Tuan. Saya hanya menyampaikan perintah dari Letnan Satu Thierry.”

Smissaert kembali mengangguk-angguk. Prajurit memang hanyalah pion, yang hanya dilatih untuk mematuhi atau menyampaikan perintah, bukan untuk berpikir. Yang berpikir mengatur strategi adalah para perwira. Tapi dia benar-benar kesal. Kalau saja Thiery atau Chevallier yang datang saat ini di depannya, pasti dia akan memarahi habis-habisan kedua orang itu. Akhirnya setelah berpikir sebentar dia punya satu rencana bagus. Thierry dan Chevallier memang harus diberi pelajaran, namun hal itu tidak akan sampai mengorbankan profesionalitasnya sebagai panglima tertinggi pasukan pemerintah seluruh wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Opsir..!” ujarnya lagi.

“Siap, Tuan!”

“Dengarkan baik-baik dan sampaikan pada komandanmu di Tegalredjo…”

“Siap, Tuan!” (Bersambung)