Untold History of Pangeran Diponegoro (31)

Untold History of Pangeran Diponegoro (31)

“Saya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pemerintah di Ngayogyakarta Hadiningrat memutuskan tidak akan memberi tambahan pasukan di Tegalredjo dalam waktu cepat. Komandanmu itu harus bertahan dahulu menghadapi para pemberontak di sana dengan sekuat tenaga. Dan tolong sampaikan pada komandanmu itu, mereka harus menulis laporan yang berisi alasan pentingnya bertahan di Puri Tegalredjo padahal target sudah kabur. Mengapa mereka tidak ikut mengejar Diponegoro dan malah mendirikan pos komando di Puri Tegalredjo. Itu saja. Cepat sampaikan dengan utuh!”

“Siap, Tuan! Saya akan sampaikan semuanya dengan utuh!”

“Laksanakan!”

“Siap, laksanakan!”

Setelah memberikan penghormatan secara militer, opsir itu segera berlalu dari hadapan Smissaert dan langsung menggebrak kudanya kembali ke Tegalredjo.

Setelah ruangannya sepi, Smissaert kemudian menulis surat yang secara singkat meminta bantuan kepada Residen Surakarta, Magelang, dan juga Semarang, untuk secepatnya mengirim pasukan bantuan ke Yogyakarta. Khusus kepada Residen Magelang, Smissaert juga meminta pasokan dana untuk membiayai operasi ini. Selesai menulis beberapa surat, dia segera memanggil seorang kurir khusus yang sudah biasa ke Surakarta dan dikenal Mac Gillavry dengan baik. Sutowijoyo namanya.

“Selamat malam, Tuan,” sapa Sutowijoyo begitu masuk ke dalam ruangan kepatihan. Dia kemudian berdiri saja di depan Smissaert.

“Ya, malam. Kowe sekarang juga pergi ke Surakarta dan temui Residen Mac Gillavry di sana. Sampaikan salamku dan juga surat ini. Sedangkan surat-surat yang lain nanti kowe sampaikan pada kurir yang lain sesuai dengan tujuannya. Berhati-hatilah di jalan. Para pemberontak sudah berada di mana-mana…”

“Siap, Tuan. Laksanakan!”

Sutowijoyo segera menerima surat-surat tersebut kemudian langsung bergegas menuju kudanya.

Di dalam kamar kerjanya, Smissaert terkekeh sendirian. Dia puas sudah mengerjai Thierry dan Chevallier. Wajah mereka berdua pasti akan terlihat lucu ketika menerima laporan dari kurirnya jika dirinya menolak memberi pasukan tambahan ke Tegalredjo… []

Bab 28

RESIDEN SURAKARTA, HENDRIK MAURITZ MAC Gillavry berdiri memandangi langit malam dari jendela gedung karesidenan yang lebar. Malam di pertengahan Juli benar-benar pekat. Nun jauh di atas langit, ribuan titik kecil berwarna putih dan kuning bercahaya bagai tebaran mutiara yang menggantung di awan yang gelap. Di bawahnya, dari tempatnya berdiri, puluhan kunang-kunang beterbangan ke sana-kemari dengan lincah di antara pucuk-pucuk ilalang, pohon, dan semak. Walau mencoba untuk bersikap tenang, namun kedua mata Mac Gillavry yang dilindungi tulang pipi yang kuat tidak bisa menyembunyikan kegusaran di dalam hatinya. Mac Gillavry sekarang benar-benar kesal dengan Anthonie Hendriks Smissaert yang menurutnya tidak becus bekerja di wilayah sepenting Yogyakarta.

Dari tempatnya yang berada di sebelah Lor Wetan[1] wilayah Karesidenan Yogyakarta, Mac Gillavry terus mengikuti perkembangan demi perkembangan operasi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dan sejumlah pangeran pemberontak lainnya yang gagal di Tegalredjo.

Secara pribadi, Mac Gillavry tidak menyalahkan komandan di lapangan terkait kegagalan operasi itu. Yang salah tetap komandan tertinggi di Karesidenan Yogya, yakni Smissaert. Sudah sejak awal dia telah memperingatkan, berkali-kali dia kirim surat yang melaporkan perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro dari hari ke hari-sesuatu yang sesungguhnya bukan kewajibannya-kepada Smissaert, tetapi Residen Yogya ini malah mengabaikannya. Dan ketika perang sudah pecah seperti malam ini, di mana banyak rakyat pribumi membentuk satuan-satuan laskar tersendiri dan berperang di belakang Diponegoro, maka keadaan menjadi sulit untuk dikendalikan dan diprediksi.

Dan semua ini membuat posisi Mac Gillavry serba salah. Mau tidak mau dia harus memenuhi permintaan dari Smissaert untuk mengirimkan pasukan tambahan ke Yogyakarta. Permintaan yang sama yang ditujukan bagi Mangkunegara II dengan Legiun Mangkunegarannya.

Kebetulan, malam ini baru saja tiba Letnan-Kolonel Genie[2] Cochius dari Markas Komando Semarang, yang berencana akan menginspeksi pasukan besok pagi. Sebentar lagi, bawahan dari Kolonel Von Jett ini akan datang di ruangannya untuk membahas strategi pertahanan Yogyakarta.

Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kakinya di atas lantai marmer yang dingin di malam yang sunyi itu. Setelah saling memberikan hormat secara militer dan bersalaman, Cochius dan Mac Gillavry membentangkan sebuah peta Karesidenan Yogyakarta dan sekitarnya di atas meja bundar, tempat di mana biasanya dilangsungkan rapat antar pejabat karesidenan.

Sambil menunjukkan jarinya di satu titik merah di atas peta, Gillavry berkata, “Ini Tegalredjo. Semula Diponegoro dan yang lainnya tinggal dan bermarkas di sini. Tadi sore Chevallier dan Letnan Satu Thierry menyerang kedudukan mereka dari segala arah, terutama selatan, timur, dan utara. Pasukan dari arah barat sendiri rupanya terhambat blokade jalan dan banyak jebakan di sana sehingga Diponegoro dan yang lainnya berhasil meloloskan diri ke arah barat ini.”

“Kemana kira-kira perginya mereka?”

Mac Gillavry mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mereka mungkin sudah mempersiapkan segalanya, termasuk jalur pelarian. Yang jadi masalah, sepeninggal Diponegoro dari Puri Tegalredjo sore tadi, sepanjang malam ini timbul pemberontakan di mana-mana. Pasukan kita cukup kewalahan sekarang. Bukan tidak mungkin, pemberontakan akan merembet ke Surakarta ini…”

“Ya, ya itu benar. Saya juga mendengar kabar jika pasukan Kiai Modjo juga telah bergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Entah, mereka sudah bertemu atau belum…”

Mac Gillavry tidak begitu kaget dengan kabar yang dikatakan Cochius. Dia tahu, Kiai Modjo dan banyak guru agama di wilayahnya memang sangat dekat dengan Diponegoro sejak lama. Bahkan ada juga di antara mereka yang mengikatkan diri dalam tali kekeluargaan dengan mengawinkan satu anak dengan yang lainnya.

“Agama Islam telah menyatukan mereka semua. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya. Kita akan sulit untuk menundukkan para pemberontak yang disatukan oleh agama ini. Sejarah telah memberi kita banyak pelajaran tentang hal itu, sejak masa-masa awal penyebaran agama ini di Arab hingga masa Perang Salib di Yerusalem…”

Cochius mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia benar-benar kagum dengan residen yang satu ini yang mempunyai wawasan kesejarahan yang cukup baik. Berbeda sekali dengan Smissaert. Cochius kemudian menoleh kepada Gillavry dan bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Smissaert dalam menghadapi Diponegoro, “Tuan Residen, apa yang kemudian diperbuat oleh Karesidenan Yogya untuk menghadapi hal ini?”

Mac Gillavry tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. “Tidak ada! Nyaris tidak ada! Sejak awal aku sudah peringatkan mereka akan bahayanya Diponegoro ini, tetapi mereka tidak perduli. Sekarang setelah semuanya terjadi, dengan enaknya mereka meminta bantuan pasukan kepada kita. Mau tidak mau, kita pasti akan membantu mereka. Segala sesuatu yang terjadi di Yogya, sudah pasti akan dirasakan juga disini!”

“Lantas jika demikian, apa yang sekarang Tuan Residen buat?”

“Apa yang aku perbuat?”

“Ya. Yang pertama sudah pasti Tuan akan berusaha keras mencegah pemberontakan akan merembet di wilayah ini. Benar bukan?”

Residen Surakarta itu mengamini pandangan Cochius, “Ya. Itu sudah pasti…”

“Dan yang kedua?” (Bersambung)

[1] (Bahasa Jawa): Timur Laut

[2] Insinyur kemiliteran, atau Korps Zeni.