Untold History of Pangeran Diponegoro 44

Untold History of Pangeran Diponegoro 44

Bab 42

DUGAAN KAPTEN BOUWENSCH TERNYATA SALAH total. Sekembalinya dari Selarong ke Benteng Vredeburg, hampir di segala penjuru Yogya, para penduduk keluar rumah dengan membawa berbagai macam senjata. Mereka berkumpul di alun-alun kampung dan desa untuk mendengarkan instruksi dari para kepala dan berangkat berbondong-bondong ke Selarong. Mereka semua mendengar jika Belanda baru saja menyerang Selarong. Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam dada rakyat banyak dan mereka segera angkat senjata dan pergi ke Selarong untuk membantu Pangeran Diponegoro dan yang lainnya.

Selain ada yang berangkat ke Selarong, para penduduk sekitar Yogya juga banyak yang memilih untuk mengepung pusat karesidenan ini sehingga jantung pemerintahan Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat tertutup dari dunia luar. Kraton dan Benteng Vredeburg terkepung. Kolonel Von Jett tidak bisa melakukan koordinasi dengan markas induk pasukannya di Semarang. Smissaert tidak bisa berkomunikasi dengan residen-residen tetangga, dan Danuredjo pun untuk sementara waktu tidak bisa lagi mengimpor perempuan-perempaun muda yang cantik seperti yang biasa dilakukannya hampir setiap malam.

Himbauan dan ancaman dari para kaki tangan Patih Danuredjo IV tidak dipedulikan rakyat. Mereka lebih mematuhi perintah Pangeran Diponegoro untuk bersama-sama mulai berjuang angkat senjata mengusir kaum kafir dari Bumi Mataram dan menghancurkan kaki tangannya.

Berkali-kali usaha menembus blokade ini menemui kegagalan, dari cara-cara halus dengan bujuk rayu dan sebagainya hingga menggunakan ancaman dan juga kekerasan. Hingga setelah tiga hari terkepung, maka para pembesar Karesidenan Yogya boleh merasa sedikit lega ketika Ritmeester Raden Mas Soewongso berinisiatif untuk menjebol pengepungan dan mengontak Solo untuk memberitahukan tentang pengepungan itu. Ritmeester Raden Mas Soewongso adalah komandan Legiun Mangkunegaran yang sedang diperbantukan di Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak penyerangan ke Puri Tegalredjo beberapa hari lalu. Ketika mendengar usulannya, Danuredjo kontan tersenyum lebar. Sedangkan Smissaert dan yang lainnya hanya memberinya dukungan.

Danuredjo berharap, pengepungan Yogya oleh laskar-laskar pendukung Diponegoro bisa segera berakhir atau dipatahkan, agar dia bisa kembali kepada hobinya: mencari perempuan-perempuan cantik untuk diboyongnya ke tempat tidur. Sebab itu, dia sangat mendukung inisiatif yang diambil oleh Raden Mas Soewongso yang akan menjebol pengepungan itu dengan pasukan Legiun Mangkunegaran yang tersisa.

Keesokan harinya, hanya beberapa menit sebelum adzan subuh bergema, diam-diam Raden Mas Soewongso memimpin pasukannya yang terdiri dari 25 pasukan infanteri dan 12 dragonder[1] keluar dari Kraton. Dengan penuh keberanian, bahkan nekat, mereka mencoba menerobos garis pengepungan yang dilakukan para laskar Diponegoro. Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua belah pihak di hari yang masih terasa dingin itu.

Pasukan Legiun Mangkunegaran sendiri tinggal sisa dua dragonder. Raden Mas Soewongso segera memacu kudanya diiringi dua orang dragonder yang masih tersisa dari seluruh pasukannya. Sejumlah laskar berkuda mengejarnya di belakang.

Kejar-kejaran terjadi di pagi-pagi buta itu. Nyaris mencapai Kalasan, dari kudanya yang berlari kencang, seorang laskar Diponegoro menembakkan batu dari ketapelnya dan tepat mengenai kepala bagian belakang dari Raden Mas Soewongso. Pimpinan Legiun Mangkunegaran itu pun pingsan dan terjatuh dari kudanya. Setelah sempat terseret beberapa puluh meter dari kudanya, lelaki itu menggeletak di jalan. Dua orang Dragonder yang tersisa akhirnya menyerah. Mereka kemudian dibawa oleh laskar Diponegoro ke Selarong untuk dihadapkan kepada Pangeran Diponegoro.

Setibanya di Selarong, Raden Mas Soewongso yang sudah siuman diberi pengobatan pada kepala bagian belakangnya. Pangeran Diponegoro bersama sejumlah sesepuh menengoknya di dalam sebuah rumah yang dijadikan tempat pengobatan. Dengan sikap bersahabat, Diponegoro memberi salam dan menyapa putera mahkota Kraton Mangkunegaran ini.

“Bagaimana kepalamu?”

Alhamdulillah, sudah agak baikan.”

“Saya kesini dalam rangka mengajak saudaraku untuk bergabung dalam kafilah jihad ini, mengusir kaum kafir Belanda dari Bumi Mataram yang sama-sama kita cintai ini. Apakah saudaraku mau bergabung dengan kafilah kami?”

Raden Mas Soewongso menggelengkan kepalanya. Namun Pangeran Diponegoro tidak marah. Dengan senyum yang tulus dia berkata, “Pertimbangkanlah kembali tawaranku ini saudaraku. Ini adalah tugas suci dari Allah subhana wa ta’ala. Al-Jannah adalah jaminannya. Saya beri waktu dua hari untukmu berpikir. Kami tidak akan menyiksamu dan tidak akan menyakitimu. Jika kamu memerlukan apa pun, bilang saja pada kami, insya Allah kami penuhi…”

Akhirnya Diponegoro bersama para sesepuh lainnya minta diri. Dan benar, seperti yang Diponegoro katakan, dua hari kemudian dia datang kembali dan menanyakan hal yang sama. Namun sikap Raden Mas Soewongso tidak berubah.

“Maaf, saya tetap pada jalanku ini. Lebih baik mati di sini ketimbang mengkhianati mertuaku. Terserah apa yang hendak engkau lakukan padaku ini,” jawab Raden Mas Soewongso ketus.

Diponegoro dan sesepuh yang lainnya tidak berkata apa-apa lagi. Setelah mengucapkan salam, mereka semua pergi meninggalkan Raden Mas Soewongso yang masih dijaga oleh sejumlah laskar.

“Lepaskan dia dan dua pengawalnya dengan baik. Kawal sampai Delanggu,” bisik Pangeran Diponegoro kepada dua orang penjaga yang berdiri di depan rumah yang dijadikan tempat menginap Raden Mas Soewongso dan dua orang pengawalnya. (Bersambung)

[1] Kesatuan kavaleri ringan atau infanteri berkuda.