29 Februari di Jogja

Malam itu tepat pukul 10.30 Wib, aku dan adikku baru saja pulang dari kota gede, kebetulan ada keluarga kami yang sedang hajatan di sana. Suasana kota Jogja, sunyi karena malam itu hujan deras disertai angin kencang. “mampir beli burung dara dulu kak, pinta adikku. Akupun mengiyakan. Dan dia kemudian membelokkan arah mobilnya menuju kawasan Kaliurang. Disepanjang kampus UGM masih bertaburan warung-warung lesehan, meski malam itu pembeli terasa enggan keluar rumah. Ada yang masih menjual ikan mas, lele, ayam dan semua makanan laut yang kita inginkan.

Mobil kami diparkir tepat di bawah pohon besar, dan kami berlari menuju warung yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat kami parkir. Setelah memesan burung dara 2 ekor, aku dan adikku duduk didekat penjualnya yang sedang menggoreng pesanan kami. Tak berapa lama, kira-kira 5 menit setelah kami duduk, tiba-tiba alarm mobil kami bunyi disertai hentakan benda jatuh.

Bruuuk, …seketika orang-orang sekitar teriak. Mas, mas mobilnya, …teriak mereka. Aku dan adikku bergegas keluar dari warung. Betapa pilu hati kami, mobil kami serasa seperti barang rongsokan yang baru saja mengalami penghancuran untuk besi tua. Dahan pohon yang besarnya kira-kira 2x besar tiang listrik menghempas belakang mobil kami.

Seketika aku dan adikku lemas tak berdaya. Adikku tak kuat menahan tangis, kita bilang apa ke mama kak, tanyanya miris. Aku kuatkan hati untuk mendekat di antara kerumunan orang-orang disepanjang jalan Kaliurang. Mbak, kayunya digergaji saja, untuk diangkat sepertinya nggak bisa, saran bapak yang ada di sampingku. Ya silahkan pak, sahutku lemas. Rin, mungkin ini ujian dari Allah, bisik hatiku.

Di tengah kepanikan orang-orang di sekitarku, aku dan adikku diungsikan sementara agar tidak terlalu shock melihat kondisi mobil kami. Yang tidak pernah habis dari fikiranku, bagaimana mungkin kami bisa lalai parkir mobil tepat di bawah pohon rindang, sementara angin dikota Jogja akhir-akhir ini seperti ingin menghantam setiap benda yang dilewatinya. Mbak, sabar. Ini musibah. Siapa yang sangka akan terjadi seperti ini, bersyukur mbak dan adikknya masih selamat nggak berada di dalam mobil tadi, hibur seorang ibu penjual warung lesahan tempat kami menenangkan diri.

Ya mbak, ambil hikmahnya saja. Siapa tau setelah mbak masukkan mobilnya ke bengkel, ada karyawan bengkel yang perlu uang saat ini, mungkin ini jalan Allah untuk menyedekahkan sedikit rejeki mbak ke orang tadi, sambung suaminya.

Aku terdiam dan memikirkan kata-kata mereka tadi. Ya mungkin benar apa yang dibilang oleh bapak dan ibu tadi. Mungkin selama ini aku lupa untuk bersedekah, mungkin aku lalai untuk bersyukur atas apa yang ada di sekitarku. Mungkin benar, malam ini ada orang yang sedang butuh bantuan dan uluran tangan kami, tetapi dengan cara inilah Allah memperingati kami untuk selalu bersedekah. Aku jadi tenang. Bukan kerusakan mobil yang mungkin bisa ditaksir jutaan rupiah habis untuk memulihkan kembali seperti keadaan semula. Tapi yang aku fikirkan adalah nilai ibadahku dihadapan Alloh. Apa aku tidak malu, selama ini aku merasa tidak kekurangan, tetapi aku hanya memuaskan diriku sendiri, aku lupa di antara rejeki yang aku miliki ada ‘hak’ orang lain yang harus aku tunaikan.

Aku harus menyisihkan sebagian pendapatanku untuk memikirkan saudara-saudaraku yang membutuhkan, aku harus memikirkan orang-orang di sekitarku apabila aku hendak menikamati rejeki yang dikirim-Nya setiap kali hendak makan. Bukankah kadar rejeki setiap orang itu tidak akan dikurangi dan dilebihkan? Semua sudah dipastikan setiap porsinya.

Dan tugas kita adalah membagi-bagikan sebagiannya untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan. Aku jadi menyesal dengan sikapku, apabila ada orang yang meminta sumbangan datang kerumah atau ke kantorku. Dengan tegas aku cuman mengatakan lapor RT dulu, atau lapor Kepala Dinas dulu baru ke sini.

Ya, mungkin dengan musibah ini aku bisa lebih peka dengan keadaan sekitarku, aku bisa lebih peduli dengan orang-orang yang mungkin hari ini bisa makan dan besok mungkin berpuasa karena tidak punya uang untuk makan. Ya, 29 Februari di Jogjakarta aku bertemu dengan kisah indah yang akan aku kenang ketika aku kembali ke Kalimantan lagi. Sebuah pelajaran yang mungkin tidak pernah aku dapatkan selama aku berada dibangku kuliah dulu…dan aku mungkin lebih bersyukur lagi, aku dan adikku selamat dan bisa terlepas dari bahaya tadi.

Jogjakarta, 29 Februari 2008

Dalam sebuah keraguan yang panjang, akhirnya aku temukan “rahasia” hati, … uh, semoga aku akan tetap istiqomah dengan jalan ini, …