Asih

Asih namanya. Aku mengenalnya beberapa tahun silam saat ada Pemilu. Berlanjut, ternyata kami kembali dipertemukan dalam sebuah forum pengajian. Ada yang berbeda dari Asih. Dia tak sesegar ketika pertama kali bertemu. Baru aku ketahui kemudian, Asih habis sakit tipes. Berat badannya turun delapan kilo. Pucat sekali wajahnya. Jika Asih tak hadir dalam pengajian, bisa dipastikan dia sedang check-up. Biasanya itu hari Sabtu.

Asih yang kukenal adalah seorang guru SMP di sebuah sekolah swasta. Perawakan Asih yang imut nyaris sama dengan para murid SMP. Lucu aja, membayangkan Asih berjalan beriringan dengan para muridnya. Mana gurunya, mana muridnya. 🙂

***

Ramadhan tahun kemarin, aku, Asih dan beberapa remaja masjid di sekitar kompleks perumahan mengadakan SALAMAN (Pesantren Kilat Ramadhan). Beberapa waktu sebelum Ramadhan kami mengadakan rapat. Saat tarhib ramadhan, aku dan Asih serta beberapa ikhwan kebagian untuk menghadiri sekaligus membagikan pamflet pesantren kilat.

Hari demi hari menjelang Ramadhan hingga bulan Ramadhan rapat-rapat terus jalan. Banyak hal yang harus disiapkan untuk acara Sanlat itu. Apalagi, Sanlat ini baru terselenggara lagi setelah beberapa kali Ramadhan tak pernah diadakan.

Aku dan Asih sempat saling memberi kabar via SMS hingga akhirnya Sanlat terselenggara. Pada hari pertama Asih tidak hadir, begitu juga hari ke-2. Aku menanyakan kepada adiknya, ke mana Asih? Apakah sedang check-up. Aku lupa jawaban adiknya Asih. Seingatku Asih ke rumah sakit. Itu saja. Saat itu dengan SDM yang terbatas akhirnya pesantren kilat terselenggara dengan baik. Memang masih ada kekurangan acara di sana-sini, tapi alhamdulillah ini adalah salah satu acara yang berkesan bagiku.

Tak berapa lama setelah Sanlat, aku memilih untuk tinggal di rumah kakak di Pondok Gede. Pada pertengahan Ramadhan, aku jatuh sakit. Mengikuti acara Sanlat adalah salah satu kenekatanku karena setelah penutupan, aku kembali ambruk. Hingga pada suatu malam.

Malam ke-25 Ramadhan dering telepon mengejutkanku. Dari nomor yang tak dikenal.

"Halo"

"assalamu’alaykum, ini Mimi"

"Asih meninggal… baru aja, Asih Rohmani, temen kita"

Aku tak bisa banyak berkata-kata hingga kemudian Mimi menyuruhku menjarkom berita itu ke teman-teman satu majelis dan organisasi.
Aku masih tak percaya hingga air mataku mengalir begitu saja. Asih temanku, tetanggaku, sahabatku meninggal… padahal baru kemarin kami kerja bareng di pesantren kilat, baru beberapa hari dia mengkhawatirkan kesehatanku dan menyarankan aku untuk banyak istirahat. Baru sebulan yang lalu kami hadir dalam tarhib ramadhan dan beberapa kali bertemu ketika aku ingin berangkat ke kantor klien. Asih…

Dering telepon kembali berbunyi. Dari seorang ikhwan di Kompleks perumahan, mengabarkan kalau Asih meninggal, menyusul ikhwan lainnya mengabari…

Kepalaku masih terasa berat, badan juga masih lemah, otakku lelah berpikir hingga aku mulai menghubungi sahabatku. Aku masih tak sanggup untuk meng SMS mereka, aku butuh untuk curhat, aku butuh didengarkan. Satu demi satu, aku menelepon mereka, tak ada yang mengangkat hingga ketika aku menelepon seorang sahabat.

"Teteh, Asih meninggal"

Suara tangisku makin tak tertahan mengabarkan berita duka itu.

"Paru-paru bocor, teh…."

Kemudian, aku meng-SMS temanku satu per satu. Dering telepon pun mulai berbunyi. Beberapa di antara mereka sedang iktikaf. Rasanya sungguh tak percaya. Asih, sahabat kami, telah meninggalkan kami selama-lamanya.

Aku sedih teramat dalam. Aku sedih karena aku tak tahu sejak kapan Asih masuk Rumah Sakit. Aku hanya tahu, hari Sabtu itu jadwal check up Asih. Aku hanya tahu, Asih memang pernah sakit. Aku hanya tahu Asih pernah sakit tipes dan berat tubuhnya turun 8 kilo. Selanjutnya, kami tak pernah tahu.

Saat Pesantren Kilat, Asih tak bisa hadir, kami hanya memaklumi karena mungkin Asih check-up, tapi kami tidak pernah tahu kalau penyakit Asih separah itu. Asih masuk Rumah Sakit hari Jumat dan meninggal kamis malam.

Saat takziyah, baru aku ketahui kemudian kalau Asih memang sempat mengeluhkan sakit kepalanya. Rasanya pusing dan gelap hingga dia tak bisa berjalan menuju pasar dekat kompleks. Seorang temanku membantunya membelanjakan barang yang ingin dia beli. Asih pun sempat meminta air putih karena tak tahan dan memilih berbuka. Dan yang paling membuatku sedih, Asih sempat mengkhawatirkan keadaan aku yang sedang sakit. Asiiih…

***

Aku masuki rumah itu, sudah ramai dengan banyak orang. Terbujur kaku tubuh seorang yang aku kenal. Aku tak sanggup lama berada di sana hingga setelah usai bersalaman dengan ibunda Asih, aku dan teman-teman pun keluar menuju masjid untuk sholat. Rasanya masih terharu, sedih, dan banyak yang tak bisa kami ungkapkan hingga setiap kali mengingat, aku masih terus menangis…

Asih, kami tak pernah tahu dengan sakit paru-parumu…
kami tak pernah tahu di balik pucat wajahmu
kami tak pernah tahu di balik sedih dirimu…

Aku masih ingat ketika kita rapat di rumahku
aku masih ingat, ketika kamu meminjam buku-buku itu
aku masih ingat, ketika kita ikut tarhib ramadhan bersama
aku masih ingat…

Aku memang tak begitu dekat denganmu
tapi aku sangat kehilangan dirimu…
Moga Allah memberikan yang terbaik…

Moga Allah menempatkan Asih di surga-Nya…
Aamiin…

Mengenang Asih (malam ke-25 Ramadhan tahun lalu)

novi_khansa

http://akunovi.multiply.com
http://novikhansa.wordpress.com