Awas Pendusta Agama!

Saat tapping untuk 4 episode acara IQRA di CB Channel TV Depok beberapa waktu lalu, sebuah pertanyaan yang telah dipersiapkan dilontarkan kepada saya soal kepedulian sosial. Pertanyaan yang menarik dan sangat penting untuk dicermati. Saya merasa perlu menuangkan catatan ini sebagai respons lanjutan atas pertanyaan tersebut.

Dalam sisi manusiawi, kepeduliaan adalah milik universal bukan hanya milik satu agama tertentu. Bahkan ada sekelompok orang yang menjadikannya sebagai ”agama” baru yang mereka sebut agama kemanusiaan. Sebuah respons atas ketidakpedulian ’lembaga-lembaga agama’ yang sudah mapan terhadap persoalan sosial seperti kemiskinan, buruh migran, TKI, pencemaran lingkungan sampai soal kekerasan dalam rumah tangga. Mereka menganggap agama dan pemuka agama gagal mendidik umatnya menjadi manusia yang peduli atas persoalan-persoalan kemanusiaan.

Bagi saya inipun sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan. Padahal seringkali bagian dari pengusung ’agama’ baru itu membuat lembaga-lembaga yang bernaung dalam wadah agama menjadi serba salah. MUI misalnya, dianggap tidak kompeten ketika mengeluarkan fatwa tentang pornografi. MUI dituding mencampuri urusan hiburan ke ranah agama.

Sementara dari sisi MUI, hal itu dilakukan karena prihatin dan peduli atas umatnya dari pengaruh buruk pornografi. Atau Muhammadiyah yang berani mengeluarkan fatwa haram atas rokok juga tidak sepi dari kritik. Muhammadiyah dianggapnya mengada-ada dan hanya cari sensasi belaka. Fatwa pesanan dan sebagainya.

Padahal dari sisi Ormas Islam itu, fatwa dikeluarkan karena konsumsi tembakau di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan mengancam kesehatan masyarakat Indonesia, utamanya anak-anak. Tapi biarlah itu soal mereka.

Kita tidak perlu menyalahkan agama jika masih terjadi kesenjangan sosial dan ketidakpedulian sosial. Agama tidak pernah salah. Yang salah adalah umat beragama yang tidak peduli untuk menerapkan ajara operasional soal kepedulian. Bagi saya, Islam tidak pernah salah. Kebanyakan kita yang muslim yang banyak salahnya. Itu saja.

Saya tidak tahu, apakah ada selain Islam yang memiliki acuan operasional yang sangat praktis soal kepedulian. Bahkan Islam mengajarkan kepedulian personal dan sosial secara bersamaan.

Lebih hebatnya lagi, jika seorang muslim tidak pernah peduli atas persoalan-persoalan sosial, Allah menyebutnya sebagai pendusta agama, pendusta Islam. Cobalah sekali lagi membuka lembaran Al-Mau’uun.

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

Itulah orang yang menghardik anak yatim,

dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

orang-orang yang berbuat ria.

dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (terjemah Qs. Al-Maa’uun [107] : 1-7)

Kurang apalagi? Secara sederhana, Al-Maa’uun ingin menegaskan, tidak cukup seorang muslim menjadi soleh secara personal di hadapan Allah dengan solatnya apabila tidak menjadikan dirinya memiliki pula kesalehan sosial untk sekelilingnya. Masalahnya, mau atau tidak ajaran itu diterapkan dalam tataran aksi. Itu saja.

Nabi sebagai interpreter Qur’an yang paling otoritatif, secara eksplisit menegaskan soal kepedulian sosial dalam beberapa bagian sabdanya, dalam beberapa bagian dari sirahnya sehingga kita mendapatkan gambaran yang sangat jernih dalam soal kepedulian sosial. Beberapa prinsip mungkin akan menyampaikan kita dalam kontek ini.

Ukhuwwah.

Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah). Islam menghendaki manusia hidup bermasyarakat itu saling mencintai dan saling menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga.

Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama saudara-saudaranya.

Al Qur’an telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar.

"Dan ingatlah akan kenikmatan Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (terjemah QS. Ali Imran [3] : 103).

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…" (terjemah QS. Al Hujurat [49] : 10).

"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak menelantarkannya”. (HR. Bukhari Muslim).

Ta’awun, Tanaasur dan Taraahum

Ta’awun artinya saling tolong menolong. Tanaashur artinya saling mendukung dan taraahum artinya saling berkasih sayang. Taawun, tanaasur dan taraahum merupakan buah dari persaudaraan (ukhuwah).

Apalah artinya persaudaraan jika enggan membantu di saat saudara memerlukan bantuan. Tidak mengulurkan pertolongan kepadanya ketika dia ditimpa kemalangan, serta tidak mengasihinya ketika ia lemah.

"Mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. (Rasulullah SAW sambil memasukkan jari-jari tangan ke sela jari jari lainnya) (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Satu batu merah tentu saja lemah, meskipun terlihat kuat. Seribu batu bata yang berserakan (tidak teratur), tidak berarti apa-apa selama tidak berbentuk bangunan. Akan terbentuk bangunan yang kuat manakala batu bata itu disusun dengan teratur dalam susunan yang rapi dan kokoh sesuai dengan aturan yang berlaku.

Ketika itulah akan terbentuk dari batu-batu tersebut dinding yang kokoh dan dari dinding-dinding itu akan terbentuk rumah yang kuat pula, yang tidak mudah dirobohkan oleh tangan-tangan yang merusak.

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu, apabila ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka seluruh anggota yang lainnya merasa demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim).

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perernpuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang munkar." (terjemah QS. At-Taubah [9] : 71).

Takaful

Takaful artinya saling menanggung di antara anggota masyarakat Islam. Baik takaful di bidang materi dan moral, ekonomi dan politik, militer dan sipil, sosial dan budaya.

"Orang-orang Muslim itu darahnya saling menyuplai, yang lemah di antara mereka akan berusaha membebaskan tanggungannya dan yang kuat di antara mereka berusaha menyelamatkan yang lemah, mereka adalah satu tangan (kekuatan) untuk menghadapi pihak-pihak selain mereka (musuh-musuh mereka), yang kuat membantu yang lemah dan yang cepat menolong yang lambat." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Lingkup takaful ini menjadi melebar ke tetangga dan penghuni kampung, sesuai dengan hak tetangga yang telah ditekankan oleh Islam. Di dalam hadits disebutkan:

"Siapa saja penduduk di sekitar rumah jika ada di antara mereka yang kelaparan maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya akan terlepas dari mereka." (HR. Ahmad).

Itsar

Itsar adalah perilaku mendahulukan kepentingan saudara atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkan saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya, berjaga demi menidurkan saudaranya, ia bersungguh-sungguh untuk mengistirahatkan saudaranya.

"Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (terjemah QS. Al Hasyr [59] : 9).

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Sa’ad bin Rabbi’ telah menawarkan kepada Abdur Rahman bin Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi SAW untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf berkata kepada Sa’ad bin Rabi’ "Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar."

Rasulullah Adalah Kiblat Kepedulian

Tidak ada manusia yang kepeduliannya setinggi Rasulullah SAW. baik kepada sesama muslim maupun kepada pemeluk agama lain, seperti dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kita tentu masih ingat ketika Rasulullah SAW selalu mendatangi pengemis Yahudi yang buta dengan membawa makanan untuknya setiap pagi.

Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu menghardik beliau. Bahkan, Rasulullah menyuapi pengemis itu dengan terlebih dahulu menghaluskan makanannya sehingga pengemis itu tidak perlu susah payah mengunyah. Dengan telaten disuapinya dengan tangan beliau sendiri. Beliau melakukannya hingga menjelang wafat.

Terhadap ummatnya, Rasulullah SAW. menunjukkan kepedulian sampai menjelang ajalnya. Saat-saat kritis dari kehidupan menjelang kewafatannya, beliau masih sempat berujar ”ummatku, ummatku, ummatku”. Sungguh tidak ada manusia yang begitu sayang dan peduli seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, meskipun dalam kepayahan menanggung dahsyatnya sakaratul maut.

Dalam beberapa riwayat banyak ditemukan, Rasulullah SAW. mengajarkan kepedulian dalam kehidupan praktis sehari-hari. Beliau pernah menyatakan, bahwa seorang muslim harus mengetahui apa yang menjadi kebutuhan saudaranya jika ia benar-benar mencintainya. Beliau bersabda :

”apabila sesorang di antara kalian mencintai saudaranya, maka ia harus tahu tentang keadaannya”. (HR. At-Turmudzi).

Kepada yang kelaparan, Rasulullah SAW. menyatakan tidak beriman orang-orang yang ada di sekelilingnya, apabila mereka tidak berbuat sesuatu yang dapat mengatasi kelaparan tetangganya itu. Beliau bersabda :

”Tidak beriman orang yang merasakan kenyang sedangkan tetangga sebelahnya kelaparan padahal ia mengetahui” (HR. Thabrani dan Bazzaaar). Beliau pernah mengingatkan sahabat Abu Dzar al-Ghifari agar jangan melupakan keberadaan tetangga untuk berbagi dalam hal makanan meskipun makanan itu hanya berupa sayur. Kepada Abu Dzar, beliau menyatakan :

”Wahai Abu Dzar, jika kamu memasak sayur, perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetanggamu”. (HR. Muslim).

Dalam suasana berkabung karena kematian, sikap peduli bukan saja dapat membesarkan hati orang yang sedang ditimpa musibah kemalangan. Tetapi, dapat menjadi obat dan meringankan penderitaan bagi yang sedang merasakan kesusahan.

Satu kali, Rasulullah SAW. mengimbau para sahabat untuk peduli kepada salah seorang keluarga yang baru saja ditimpa musibah kematian. Bahwa ketika datang khabar terbunuhnya Ja’far, bersabdalah Nabi saw.: "Buatkanlah makanan bagi kerabat Ja’far, karena mereka sedang dalam kesusahan". (HR. Lima Ahli Hadits).

Terhadap hewan, Rasulullah juga mengajarkan sikap peduli sebagai sesama makhluk Tuhan. Sebelum bangsa Eropa memperkenalkan sebuah Organisasi Pecinta Binatang, beliau telah mengingatkan ummatnya agar bersikap santun memperlakukan hewan.

Tentu saja dipahami sebagai bentuk kepedulian bahwa hewan juga berhak mendapatkan kasih sayang dari manusia. Beliau memberi nama untanya al-Qashwa, sebagai bukti kepedulian atas hewan tunggangannya itu.

”Bertaqwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dengan baik, dan makanlaha dengan baik pula”.

Imam Malik meriwayatkan sebuah hadis, bahwa seorang perempuan yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Sebaliknya Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatakan sebuah hadis tentang seorang wanita yang terjerumus ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya.

Bahkan kepada benda-benda pribadi yang tak bernyawa seperi sisir, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda tak bernyawa itu memiliki kepribadaian yang membutuhkan rahmat, kasih sayang, uluran tangan dan persahabatan.

Demikianlah suri tauladan Rasulullah SAW. dalam hal kepedulian terhadap sesama, terhadap hewan, bahkan kepada benda yang tidak bernyawa. Setiap muslim berkewajiban bercermin dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Begitulah sesungguhnya watak Islam yang mencerminkan kedamaian dan kasih sayang.

Allahu a’lam.

Semoga Ramadhan semakin mempertajam kepedulian sosial di hati kita masing-masing dan menyelamatkan kita dari label pendusta agama. Aamiin.

Depok, Ramadhan hari ke-4, Agustus 2010

[email protected]