Judi dan "Mandi" Najis

Bahwa judi adalah perbuatan terlarang, semua orang tahu. Tetapi suka atau tidak suka berjudi, kembali berpulang pada setiap individu.

Bahwa judi telah banyak memakan korban keharmonisan rumah tangga, semua orang juga tahu. Tetapi suka atau tidak suka berjudi, kembali berpulang pada setiap anggota keluarga.

Bahwa judi menggerogoti harta kekayaan, semua orang menyadari. Tetapi suka atau tidak suka berjudi, berpulang kepada pemilik harta sendiri.

Bahwa judi bisa memancing permusuhan, semua orang tahu. Tetapi suka atau tidak suka berjudi, kembali kepada pemilik hati nurani.

Bahwa judi diharamkan oleh setiap agama, mungkin saja tidak semua tahu. Tetapi suka atau tidak suka berjudi, kembali kepada ketaatan setiap penganut agama itu.

Hari-hari ini judi semakin ”digemari”. Digemari karena bola Piala Dunia tak pernah sepi dari pasar taruhan. Karena Piala Dunia, orang seperti menemukan momentum berharga untuk berjudi dan berharap menang taruhan. Maka ramailah perjudian mulai dari kelas kakap sampai teri. Kelas elit sampai kelas kaki lima. Kelas hotel sampai bedeng reot. Kelas borjuis sampai kuli panggul. Maka ”ocehan” Parkit dipercaya. Tingkah Octevus diyakini benar. Tukang ramal dan dukun semakin berjaya.

Omongan tentang judi juga hangat lagi. Tentang pantas atau tidaknya legalisasi dan lokalisasi judi. Argumentasi diadu bersahut-sahutan. Apologi dibeberkan kiri-kanan. Tentu saja oleh orang-orang yang biasa ”bernyanyi” dan main silat lidah di televisi. Dari berbagai latar dan profesi. Mereka semua adalah bukan orang sembarangan. Tapi orang-orang terhormat dan perpengalaman. Satu meja duduk tokoh berpengalaman dan berpengamalan dalam judi. Satu lagi tokoh berpengalaman dalam pemahaman haramnya judi. Satu meja lagi tokoh abu-abu yang gemar membuat masalah menjadi tidak jelas lagi. Di lidah tokoh ini, judi menjadi tidak jelas;halal-atau haram. Yang satu jelas setuju judi dilegalkan dan dilokalisasi. Satu lagi jelas menolak tanpa kompromi. Satu lagi jelas tidak punya pendirian. Ada pemirsa yang bingung, mana omongan yang bisa dipegang. Ada pemirsa yang kegirangan karena pengamalan judinya akan dilegalkan.

Judi bisa mendatangkan devisa, hampir semua tahu. Tapi, apakah sumber devisa bangsa kita memang sudah kering kerontang sehingga alternatif judi dilirik? Apakah sawah, ladang, laut, hutan, tambang, gas dan jasa pariwisata sudah tidak lagi sanggup memberi makan bangsa kita? Apakah sekian ratus juta manusia Indonesia sudah kehilangan kreativitas usaha untuk mencari berkah Tuhan sehingga harus dengan melagalkan dan melokalisir perjudian?

Bangsa ini memang sudah cukup berumur sejak kemerdekaan 65 tahun lalu. Tetapi belum cukup dewasa dalam beberapa hal. Hanya karena mendukung Jerman yang kalah melawan Spanyol, mereka berkelahi massal dan saling lempar. Bahkan harus ada api membubung membakar bangunan di tepi jalan. Padahal pesta World Cup di Afrika Kidul itu, bukan sepenuhnya milik mereka. Hanya saja, mungkin judi dan taruhan untuk masing-masing klub pavorit memicu anarkhisme mereka.

Lokalisasi judi katanya bukanlah legalisasi atas judi itu secara umum. Lagi pula, ketentuan ini bukan bersipat menyeluruh, tetapi hanya dikhususkan untuk kalangan berduit yang sangat terbatas. Daripada mereka berjudi ke luar negeri yang berarti uangnya lari ke negara lain, mengapa tidak diberi tempat agar duitnya tidak kemana-mana? Belajarlah katanya dari Mesir atau Malaysia.

Apa iya? Berarti judi halal untuk orang berduit dan legal menurut negara. Sementara untuk orang biasa yang berjudi di pinggir jalan, hukumnya haram dan ditangkapi karena dianggap melanggar undang-undang perjudian. Kok begitu ya.

Ah, otak saya yang kecil ini sukar mudeng dengan alasan yang ”terlalu ilmiah” itu. Sebaiknya ”bertanya” pada Tuhan dan meyakini kebenaran firman-Nya saja.

Islam bukan hanya sekedar mengharamkan judi, tetapi menganggap judi sebagai najis dan perbuatan setan (QS. Al-Maidah [5] : 90. Nyatanya, masih banyak orang tidak menyadari bahwa mereka dilumuri najis karena judi. Mereka makan najis, minum najis, berpakaian najis dan berpikir najis karena judi. Mereka semua seperti mandi najis, berpakaian najis serta makan dan minum najis. Karena judi, dan memakan, memimun atau memakai hasil judi memang najis.

Najis adalah konotasi kotor, keji, buruk dan menjijikkan. Apabila air putih, susu, teh atau kopi yang dihidangkan kejatuhan kotoran atau kencing tikus misalnya, maka pastilah tak ada yang sudi untuk meminumnya.

Atau apabila telah dihidangkan semangkuk sup yang lezat, maka terbitlah air liur dan muncullah selera makan kita. Namun seandainya tiba-tiba seekor kucing meloncat ke atas hidangan dan buang air di sisi mangkuk sup itu, saya percaya, selera makan kita akan sirna. Kita bisa saja muntah karena rasa jijik itu. Bahkan boleh jadi, kita tak akan pernah lagi menyukai sup itu selamanya karena trauma atas aksi kucing nakal tadi.

Kita pun tidak akan pernah merasa nyaman jika mengenakan jas yang tersiram air dari septiktank meskipun jas itu bagus dan mahal harganya.

Judi telah disejajarkan dengan perbuatan setan. Sedangkan perbuatan setan selalu berkonotasi negatif, dosa dan kedurhakaan. Tak ada kebaikan yang tersisa dari perbuatan setan kecuali sedikit. Al-Qur’an pun megakui hal itu, ” Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…" (penggalan terjemah QS. Al-Baqarah [2] : 219).

Alasan seorang muslim tidak sudi berjudi, bukanlah karena ia tidak punya uang untuk bertaruh. Bisa jadi ia kaya dan sanggup memasang taruhan seberapa pun besarnya. Bukan pula semata karena agama melarangnya, tapi karena agama mengajarkannya pula tentang bersuci dari segala kotoran dan najis. Dalam keyakinannya bersuci secara fisik, menghilangkan najis bukan sekedar dengan mandi, istinja, berwudhu atau tayamum yang menyangkut badan dan pakaiannya saja. Tetapi juga menyangkut pula hartanya melalui zakat dan sedekah yang ia tunaikan. Maka memelihara hartanya dari najis perjudian, adalah lebih mudah dilakukan dari beratnya membayar zakat dan sedekah yang diwajibkan.

Seorang muslim juga memahami bahwa makanan dan minumannya harus bersih di samping halal dan thayyib. Sebab makanan dan minuman yang dikonsumsinya diyakini akan menjadi energi yang menjadi sumber aktivitasnya. Jika sumber energinya bersih, halal dan thayyib, maka energi itu amat mudah digerakkan pada aktivitas ketaatan dan kebajikan. Pendek kata pada sisi agama, makanan dan minuman tidak hanya berdampak pada kenyang dan hilangnya dahaga. Akan tetapi berpengaruh pula pada jiwa dan kesediaan untuk tunduk pada aturan ilahi. Maka wajarlah bila sebelum makan, kita berkhidmat untuk ”Allaahumma baarik lana fii maa rozaktanaa wa qinaa ’azaabannaar”.

Kata rijsun atau keji atau menjijikkan, disandingkan kepada judi dan hasil kemenangan judi memang bersesuaian. Kata ini mencakup makna keburukan tingkah laku, kerendahan moral atau asusila. Memakan atau meminum hasil judi sama halnya dengan memasukkan najis dan sumber energi negatif ke dalam tubuh. Maka amatlah sulit melahirkan kesalehan apabila sumber asupan energinya berasal dari sumber yang salah. Tak pelak, makanan dari sisi agama amat berngaruh bagi jiwa pemakannya.

Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran pernah menyatakan bahwa,” Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan”. Demikian Carrel yang dikutip pemuka tafsir kenamaan di Indonesia.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minuman keras merupakan langkah awal yang mengakibatkan langkah-langkah berikut dari para penjahat. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh minuman tersebut dalam jiwa dan pikirannya. Lalu bagaimana dengan penjudi?

Dapatkah kita memastikan seorang yang menikmati hasil perjudian untuk berhenti setelah dia menang? Atau dia kapok setelah mengalami kekalahan? Tidak. Yang menggebu adalah rasa penasaran. Penasaran untuk menang lebih banyak lagi dan penasaran akan menang setelah ia kalah. Selebihnya dapat saja ia mencuri uang atau perhiasan orang tua, isteri atau anggota keluarganya untuk berjudi lagi. Jika tak ada lagi yang dicurinya dari lemari, maka kalung atau cincin yang melingkar di leher dan jemari dimintanya paksa. Dapat saja kemudian pukulan, tamparan atau tendangan menjadi jalan terakhir untuk mendapatkannya. Mungkin, inilah sisi dosa dan mudharat yang dikatakan Al-Qur’an lebih besar dari manfaatnya yang kecil itu.

Seorang muslim juga memahami bahwa makanan dan minumannya tidak boleh haram apalagi najis. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah mengingatkan:

”Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan para Rasul dengan firman-Nya, ”Wahai Rasul, makanalah rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu”. (Perawi berkata) Rasul kemudian menjelaskankan kisah seorang pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua tangannya ke langit berdo’a, ”Wahai Tuhan, Wahai Tuhan … (tetapi) makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka bagaimana mungkin ia dikabulkan?”

Ya Rabb, Engkau dan Rasul-Mu telah menjawab pertanyaan hamba. Berdosakah aku jika diam apabila judi ingin dilokalisir dan dilegalkan di negeri ini?

Depok, Juli 2010.

[email protected]