Profesor Juga Manusia

Saya terperangah. Batin saya mengaduh. Ada statemen yang menurut saya mengganjal dalam ceramah yang disampaikan profesor itu. Dan itu menjadi semacam citra yang merusak uraiannya yang sesungguhnya sangat menarik bahkan memukau.

Hari itu dalam stadium general, saya mengikuti ceramah tentang pentingnya membangun karakter peserta didik. Sebagai guru, topik ini tentu saja penting dan menantang. Penting karena setiap guru, begaul dengan peserta didiknya setiap hari pembelajaran. Tapi kesadaran membangun karakter mereka, seringkali terlupakan.

Bahkan terabaikan oleh berbagai sebab. Satu alasan klasik, sebab mengapa banyak guru hanya sekedar mengajar, adalah ongkos hidup yang tak sepenuhnya terbeli oleh penghasilan mereka sebagai guru. Tak terpikirkanlah oleh mereka kepada hal yang sangat abstrak dan muluk semacam membangun karakter.

Topik yang menantang, sebab banyak guru yang sadar betapa nilai-nilai yang tumbuh di sekeliling siswa hampir tak terseleksi. Budaya asing membanjiri ruang hidup mereka tanpa batas dan sekat. Media mengepung mereka tanpa celah. Identitas nilai-nilai ketimuran sudah tak lagi nampak cirinya yang khas karena digerus oleh budaya Barat sekuler yang merangsek masuk tanpa kompromi. Maka menjadi hal yang tidak terlalu mengejutkan, apabila dalam operasi razia HP, ada ditemukan kasus konten yang “memalukan” hati nurani entah itu pornografi, vandalisme atau bulliying di HP mereka.

Di lain sisi ada gejala yang lebih memprihatinkan. Bagaimana mungkin siswa kelas 9 sekolah Islam tidak bisa khusyu ketika di masjid. Membangun shaf masih belum bisa mandiri. Guru yang memimpin shalat jama’ah mesti “cerewet” mengingatkan agar mereka berhenti bicara sebelum takbiratulihram setiap kali shalat jama’ah akan ditegakkan. Bahkan yang sungguh memalukan, ada siswa yang berbicara lewat HP saat khatib sedang berkhutbah. Seolah mereka tidak lagi bisa membedakan mana masjid sebagai ruang ibadah yang harus dihormati martabatnya dengan kelas seni yang diperbolehkan berekspresi.

Maka, topik membangun karakter peserta didik menjadi ulasan yang bukan saja ilmiah tetapi juga diharapkan menjadi referensi aplikatif dalam setiap interaksi guru dan siswa nantinya. So, buat saya, itu harapan menggebu yang semoga saya peroleh setelah mendengar ceramah sang profesor.

Selama kurang lebih empat puluh lima menit, saya masih enjoy dengan berjubel informasi yang dilontarkan sang profesor. Menurutnya, nilai-nilai Islam baik Al_Qur’an maupun hadits sangat kaya dengan values yang berbicara karakter. Caracter building dalam khazanah Islam hampir tak terbatas, tinggal kita mau menggalinya secara serius.

Tidak ada agama yang begitu serius membangun karakter ummat selain Islam. Bukankah Rasulullah diutus untuk “buitstu li utammima makaarimal akhlaak?” Rasulullah juga dengan tegas menyatakan, ”man kaana yu’minu billaahi wal yaumil aakhir, fal yukrim dhoifahu/jaarohu”.” Qul khairan aw liyashmut”. Islam juga sangat intens mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesantunan, kesabaran dan berbagai karakter positif sebagai citra seorang muslim. Lalu, values yang sangat relevan dan patut dikembangkan untuk membangun karakter peserta didik di medan hidup mereka adalah seperti yang disabdakan Nabi, “khairunnaas anfa’uhum linnaas”, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.

Sebaliknya, Rasulullah juga menegaskan,”Laa yadkhulu jannata, nammaam”, tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba, “laa yadkhulul jannata, qooti’urrohmi, tak akan masuk surga orang yang suka memutus sillaturrahim, “Laa yadkhulul jannata man kaan fi qolbihii mistqoola dzarrotin min kibrin”, tak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan meskipun hanya seberat atom.

Sebenarnya riwayat-riwayat yang disampaikan itu sering saya dengar. Namun menjadi terasa sangat istimewa oleh karena diramu oleh orang dengan kapasitas intelektual yang mumpuni, pengalaman, serta kemampuan komunikasi yang memukau khas seorang profesor dan guru besar. Maka riwayat-riwayat itu menjadi sangat hidup sebab diperkaya dengan pendekatan psikologi sebagai jembatan dalam berbicara soal karakter.

Lalu tibalah saya terperangah saat mendengar di sela-sela uraiannya,:

“Jadi, orang bisa masuk surga itu karena akhlaknya baik. Bukan karena solatnya. Coba cari di Qur’an. Dalam Qur’an bahkan ada “fawailul lil mushalliin”. Orang yang shalat saja masih celaka. Orang bisa masuk surga karena dia banyak memberi manfaat kepada sesama”.

Saya menduga statemen sang profesor ini belum titik. Saya berharap masih ada uraian lanjutan sebagai penjelas maksud penegasannya itu. Tetapi ternyata tidak. Berhenti sampai di situ dan terus fokus kepada caracter building.

Akhirnya saya mengembara dengan nalar sendiri. Saya tidak lagi mencermati ceramahnya. Bahkan sama sekali tidak lagi mengikutinya hingga tuntas. Saya tenggelam dalam renungan mencari jawab atas statamen yang menurut saya janggal. Saya mengaduk-aduk memori dalam kepala saya. Tapi tak menemukan. Namun hati nurani saya tetap membantah, bahwa statemen itu memang bermasalah.

Sessi tanya jawab terbatas akhirnya dibuka. Hanya tiga kesempatan dari sekian orang yang ingin mengajukan atau minta klarifikasi. Saya tidak mengambil kesempatan itu. Saya gagal merevieu memori saya dalam waktu cepat dan gagap. Saya tidak ingin asal sekedar dapat bicara di forum dan dilihat orang tanpa argumen yang kuat dan meyakinkan. Apalagi dengan kesenjangan intelektual yang terlalu lebar menganga antara saya dan sang profesor. Biarlah itu menjadi catatan nurani saya.

Selang beberapa waktu saya menemukan kenyataan berbeda dari sang profesor tentang soal bangunan karakter bagi seorang muslim. Fakta teologis yang sebenarnya, sesungguhnya antara solat, akhlak dan karakter tidaklah masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Tetapi berjalin berkelindan.

Sebagai analogi begini, sebaik apapun solat seseorang, tidaklah dianggap baik apabila shalatnya tidak dapat mencegahnya dari akhlak yang buruk. Dan seindah apapun akhlak seseorang, tidaklah juga menolongnya di hadapan Tuhan manakala shalatnya rusak apalagi meninggalkan shalat sama sekali. Yang dikehendaki dari shalat adalah kesalehan personal kepada Allah dan kesalehan sosial kepada sesama secara bersamaan. Inilah mengapa dalam QS. Al-Maa’uun ada orang yang solat tapi celaka. Yakni orang yang shalatnya lalai dan tidak tergerak hatinya melihat nasib sesamanya yang menderita. Artinya, solat yang bagaimana dulu yang membuat pelakunya tetap celaka.

Solat yang saahuun, diringi dengan riya dan enggan menolong orang menderita itulah mushalli yang celaka. Tentu lebih celaka, sudah tidak shalat, riya dan tidak peduli pula pada sesama.

Memang ada orang yang baik hati, dermawan dan peduli kepada sesama. Tetapi apa artinya kedermawanan itu di hadapan Allah jika ia sendiri gagal membangun ”kedermawanan” di hadapan-Nya jika shalat diabaikan. Oleh karena itu, menyatakan bahwa dapat masuk surga itu bukanlah karena solat tetapi karena banyak memberi manfaat kepada orang banyak, terkesan menyepelekan solat dan memisahkannya dari nilai-nilai akhlak. Hal ini pun mengandung konsekuensi yang cukup serius bagi bangunan keyakinan akan surga dan neraka.

Kalau sarat masuk surga hanya dengan kata kunci karena ”banyak memberikan manfaat kepada manusia”, maka konsekuensinya Thomas Alfa Edison juga akan bisa masuk surga bersama para anbiya, syuhada, shiddiqiin dan solihiin, sebab bola lampu listrik yang ditemukannya sangat dirasakan manfaatnya oleh manusia sejagat. Atau Alxander Graham Bell yang menemukan telepon di mana saat ini hampir tidak ada orang yang mengingkari manfaat telepon. Begitu juga James Watt penemu mesin uap cikal bakal orang menikmati nikmatnya berkendaraan. Wraight Brother penemu pesawat yang di kemudian hari banyak menolong para jamaah haji menunaikan ibadah ke tanah suci. Maka konsekuensi berikutnya, akan ada begitu banyak ayat Al-Quran yang harus di amandemen apabila pendapat ini diyakini sebagai sebuah kebenaran. Astaghfirullah.

Sejak awal, soal iman memang sama sekali tak disinggung. Padahal sejatinya persoalan iman adalah kata kunci apabila berbicara menyangkut kepribadian. Imanlah landasan segala hal. Bagi seorang muslim, apapun aktivitas dan produktivitas baik personal maupun sosial tak mungkin bisa dilepas dari aspek keyakinan; iman. Apabila soal iman dilepas, maka soal apa lagi yang perlu dibicarakan panjang lebar?

Karakter itu adalah pantulan dari iman yang mewujud dalam wajah amal soleh. Beriman saja tanpa amal soleh, seseorang sudah dianggap memiliki karakter. Hanya saja karakternya tidak terbaca dalam bentuk amaliah yang konkret. Tentu rugilah ia sebab imannya dibiarkan tidur. Maka iman dan amal soleh harus bergandengan dan saling terkait erat. Inilah sesungguhnya yang mengantarkan orang berkarakter akan dapat masuk surga,:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”.(QS. Al-Baqarah [2] : 25).

Ayat-ayat yang semisalnya beraburan di berbagai tempat, antara lain Al-Baqarah [2]: 82, An-Nisa [5] : 57, 122, 124, Al-A’raaf [7] : 42, Huud [11] : 23, Ibrahim [14] : 23, Al Kahfi [18] : 107, Al-Hajj [22] : 14, 23, Al-’Ankabut [29] : 58, Ar-Rum [30] : 15, Lukman [31] : 8, As-Sajdah [32] : 19, Al-Jatsiyah [45] : 30, Muhammad [47] : 12, dan Al-Buruuj [85] : 11.

Lalu benarkah solat tidak mengantarkan orang bisa masuk surga? Saya lebih percaya, orang yang solat dapat masuk surga. Sedangkan orang yang meninggalkan solat malah dilempar ke neraka. Sedangkan Al-Qur’an berkata,:

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?". Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin…” (QS. Al-Mudattsir [74] : 42-44).

Jasa orang semacam Thomas Alfa Edison, Alxander Graham Bell atau Wraight Brother memang tidak ternilai bagi revolusi kehidupan manusia yang dirasakan manfaatnya sepanjang waktu. Boleh dikatakan hampir tidak ada manusia yang tidak mencicipi nikmatnya ”amal” mereka. Tapi apakah cukup sarat bagi mereka mendapat surga hanya karena mereka telah ”memberi manfaat kepada orang lain”? Sedangkan mereka belumlah beriman, muslim dan mendirikan solat?

Dalam dimensi duniawi karakter mereka memang laur biasa. Penghargaan atas karyanya diakui di manapun pelosok bumi. Tetapi, nilai manfaat amal mereka tidak sampai ke langit. Catatan kebaikannya tetap kosong di hadapan Allah. Kalau kosong, bagaimana mungkin dapat masuk surga? Sedangkan Allah memberi tahu kita akan hal itu, antara lain,:

”Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari adzab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh adzab yang pedih. (Al Maidah 36)

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (QS. Ibrahim [14] : 18).

Juga, ”Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (QS. An Nur [24] : 39).

Lagi,” Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka”. (QS. Muhammad [47] : 8).

Meskipun begitu, Allah masih membuka peluang bagi orang-orang semacam Edison untuk masuk surga. Pintu surga tetap dibuka bagi siapapun orang yang ingin meraihnya. Namun lagi-lagi, saratnya tidak bisa ditawar, ”Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan”. (QS. Al-maidah [5] : 65).

Ah, profesor juga manusia yang bisa saja keselip lidah.

Saya justru yakin, karakter seorang muslim ataupun pelajar muslim sebenarnya dibangun dimulai dari shalat. Sebab seluruh aspek kedisiplinan di dalam shalat seperti guide untuk mengarahkan kepada pribadi yang berkarakter. Belumlah lagi dari makna bacaannya yang sarat dengan karakteristik dan filosofi nilai-nilai. Apabila seseorang tertib, bagus dan benar shalatnya, saya yakin akan mewarnai karakter dan kepribadiannya. Bukankah shalat adalah ”mi’raj” nya (ketinggian derajat) orang mukmin? Shalat yang demikianlah yang sangat epektif mencegah perbuatan keji dan munkar.

Sebaliknya, jika shalatnya saja sudah tidak tertib, rusak dan ala kadarnya bagaimana mungkin akan membentuk kepribadian yang baik?

Lepas dari semua, membangun karakter memang sangat penting. Sepenting menyegarkan iman, menyegerakan amal soleh, memelihara sholat dan memberikan manfaat kepada semua manusia. Allahu a’lam.

Ciputat, April 2010.

[email protected]