Untuk Keluhan Lelaki Muslim Gay (Bag.1)

Sebuah catatan seorang gay muslim yang gelisah sampai ke meja saya. Tulisan ini telah dimuat di Jakartaglobe pada 16 April 2010 dalam versi bahasa Inggris. Seorang teman yang tinggal di Belanda meng-Indonesiakan catatan itu dan berbaik hati berbagi kepada saya beberapa waktu lalu. Menarik juga isi catatannya. Paling tidak, karena beberapa hal yang dikeluhkannya menimbulkan sedikit kebingungan. Antara lain bahwa penulisnya dengan sangat tegas menyatakan bahwa ia adalah seorang gay muslim taat yang hingga saat ini masih menghayati ke-Islamannya. Lelaki gay itu menyatakan:

”Saya pribadi adalah seorang gay yang hingga saat ini terus menghayati keislaman saya. Saya dibesarkan di keluarga dan masyarakat muslim Muhammadiyah. Saya muslim yang meyakini ajaran yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya: Muhammad Saw seperti sholat, puasa dan juga berbuat baik pada orang lain. Tidak ada perbedaan ritual ibadah yang saya lakukan dengan umat Islam pada umumnya. Keyakinan Islam saya bukanlah seperti keyakinan yang dituduh “sesat” oleh ulama, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Syiah.”

Untuk mempertegas sikapnya itu, beberapa hadits dan ayat Al-Qur’an dikutipnya. Yang tidak kalah menarik, bahwa ia berani membayangkan bahwa surga baginya adalah surga yang berisi laki-laki dewasa yang ganteng dan baik-baik. Bukan Surga yang digambarkan dengan penghuni bidadari-bidadari yang cantik dan awet muda.

Lelaki gay itu menulis:

”Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan “penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa. Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990 secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.”

”Di Indonesia sendiri dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) jangan dianggap sebagai suatu gangguan. PPDGJ I-III oleh Depkes ditetapkan sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indonesia. Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan tuduhan yang tidak berasalan.”

Beginilah cara pandang lelaki itu dalam memahami statusnya yang gay. Sebuah status yang diakuinya dengan berani dan terang-terangan. Saya tidak tahu, apakah dia lupa atau sengaja, bahwa Al-Qur’an dan hadits juga bicara soal penyimpangan seksual semacam lesbian dan homoseks. Tetapi dengan gagahkemayu dia lebih suka merujuk pada American Psychiatric Association (APA) dan WHO dari pada Al-Qur’an dan Hadits untuk melihat statusnya. Tentu, pengakauannya di awal menjadi absurd. Pengakuan bahwa dia menghayati keislamannya dan meyakini ajaran yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Tetapi soal menilai status homesekual, ia malah berpaling dari dasar-dasar Agamanya sendiri dan berpegang pada aturan buatan manusia semisal Psychiatric Association (APA) dan WHO. Beginikah cara berIslam yang diyakininya?

Dalam QS. Al-A’raf ada dinyatakan :

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (terjemah QS Al-A’raf [7] :80-84)

Begitu juga surat Hud [11] ayat 82 ada dikisahkan:

”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya, menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Perilaku seksual antar sesama jenis ini oleh Buya Hamka disebutnya sebagai lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutipsebuah hadits Rasulullah saw:

“… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.”(HR at-Tirmidzi, al-Hakim,dan at-Tabhrani).

Lebih lanjut, Buya Hamka mengutip riwayat dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Tafsir al-Azhar, Juz’ 8).

Jauh-jauh masa, Rasulullah menyatakan sangat khawatir apabila umatnya kelak melakukan perbuatan yang semisal dengan perbuatan umat nabi Luth.

“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Disebutkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, bahwa praktik homoseksmerupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Ensiklopedi itu mengutip riwayat, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki).

Bagi Imam Syafii rahimahullah, pelaku homoseksual pantas dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya itu masih bujangan atau sudah menikah.

Inilah sebagian keterangan jawaban setiap kali kita bertanya pada Al-Qur’an dan Hadits soal homoseksual, lesbi, gay atau apalah namanya yang menyangkut penyimpangan seksual. Para ulama pun telah menjelaskan tentang bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan dari perilaku menyimpangan tersebut. Tetapi oleh lelaki gay itu, para ulama dan siapa saja orang Islam yang berpegang pada dalil-dali seperti telah disebut dinilainya sebagai sikap yang menebar kebebencian atas keberadaannya. Lelaki gay itu menulis:

”Pertanyaan yang sering mengganggu saya adalah mengapa kebencian sebagian ulama yang dalam hal ini diwakili kelompok garis keras sangat besar kepada homoseksual? Tak hanya sebagian ulama yang memiliki kebencian terhadap homoseksual, tetapi juga pemerintah. Hampir semua peraturan daerah tentang pelacuran, maksiat, perbuatan asusila memasukan kelompok homoseksual sama dengan pelacuran. Seperti yang terdapat pada Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran, pasal 8 ayat 1 dan 2 meyebutkan bahwa: Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. Yang termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah a. homoseks; b. lesbian;”.

Jika lelaki gay itu memang mengakui bahwa dia adalah seorang muslim, sebaiknya merujuklah kepada dasar agamanya sendiri. Kecuali kalau ia memang lebih memilih meletakkan Al-Qur’an dan hadits di balik punggungnya dan memilih mematuhi kitab suci ala Psychiatric Association (APA) dan WHO itu. Monggo… Tafadhhol… Please… Alstublieft… S’il vous plaît… Namun harus saya akui, sampai di sini saya belum tahu pasti, apakah lelaki gay itu hanya sekedar memiliki kecenderungan menyukai lawan sejenisnya? Ataukah memang telah mengekspresikannya dengan kehidupan homoseks dengan memiliki pasangan sejenis. Allaahu a’lam, dia tidak menjelaskan soal itu.

Sebagai orang yang mengaku menghayati ke-Islamannya, lelaki gay ini pada akhirnya tetap mempertahankan Islam sebagai keyakinan dan tetap pula mempertahankan kecenderungannya yang menyukai sesama lelaki. Dia tidak bisa melepas salah satunya. Ia tidak mungkin melepas Islam sebagai keyakinannya sebagaimana ia juga tidak mungkin dapat menyukai lawan jenisnya. Memang sebuah keadaan jiwa yang digambarkannya cukup dramatik dan membingungkan. Lelaki gay itu menulis:

”Sesuatu hal yang sangat sulit dan mungkin mustahil kalau saya harus meninggalkan rasa cinta dan ketertarikan kepada laki-laki. Sama sulitnya ketika saya harus meninggalkan Islam sebagai agama yang saya yakini. Dua hal ini tak mungkin dilepaskan dari saya meskipun dengan paksaan, kekerasan hingga kehilangan jiwa. Dalam situasi ini apakah kemudian saya akan meyalahkan Allah Swt yang telah menciptakan saya sebagai seorang gay?”.

Saya percaya, bahwa manusia diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, baik fisik maupun psikis laki-laki dan perempuan. Allah melengkapinya dengan kecenderungan bahwa mereka berpotensi saling tertarik satu sama lain. Meskipun begitu, kita juga tidak menutup mata, bahwa ada orang yang memiliki kecenderungan berbeda yang mengalami kelainan seksual. Kasus ini hanya sedikit dari setiap peciptaan meskipun jika dihimpun banyak pula jumlahnya. Namun jika kita mau tunduk pada kebijakan Allah sebagai Sang Pencipta, maka setiap muslim dengan kecenderungan seksual apapun harus mematuhi aturan Allah dalam soal memelihara kehormatannya.

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (terjemah QS. An Nuur [24] : 30.

Setiap muslim dengan kecenderungan seksual apapun harus mematuhi aturan Allah dalam soal memelihara kehormatannya dengan rela hati menjauhi zina atau melampiaskan hasrat seksual dengan cara-cara kotor di luar akad pernikahan yang sah. Andaikan pun seorang gay hanya bisa menikah dengan sesama jenisnya, maka Allah dan rasul-Nya jugalah yang melarang pernikhan model itu. Bukan ulama atau manusia biasa. Mengingkari aturan itu sama halnya melawan Sang Pencipta dan aturan Nabinya sendiri. Jadi, lahir sebagai gay, bukanlah alasan untuk menyalahkan Allah atas penciptaan-Nya. Sebab Allah belum tentu menghukumnya hanya karena dia memiliki kecenderungan menyukai sesama jenisnya, melainkan apabila kecenderungannaya itu dilampiaskan seperti pelampiasan yang dipertontonkan kaum Nabi Luth. Atau mencoba membangun hidup layaknya suami isteri dengan sesama jenis. Apatah lagi mengumbar syahwat sesama jenis dengan cara-cara keji yang hewan pun tidak melakukan kekejian seperti itu. bersambung …