Ya Rabb, Saya Malu Dengan Hanzhalah

freeAda orang yang begitu pesimistik, untuk apa sih susah-susah ikut misi kemanusiaan ke Palestina. Dizalimi Israel Lagi. Apakah ladang jihad harus meninggalkan negeri sendiri? Di sini juga masih banyak yang membutuhkan. Anak-anak terlantar tak terhitung. Balita dengan gizi buruk juga masih santer diberitakan. Belum lagi orang-orang muslim miskin yang harus menukar aqidahnya dengan sekardus mie, seliter beras, sekilo gula dan terigu hanya karena kefakirannya. Bukankah mereka adalah juga ladang jihad?

Saya miris tiga kali mendengar pernyataan seperti ini. Pertama, mengapa harus membunuh rasa simpatik kepada saudara sendiri? Bukankah berusaha menolong meringankan penderitaan saudara seiman adalah perintah agama? Kedua, bukankah sesama muslim adalah bersaudara tanpa dibatasi sekat negara, ras, bahasa dan kultur budaya? Jadi, sekiranya ada kesempatan untuk melakukan misi kebajikan seperti menjadi relawan, apa salahnya? Padahal tidak semua orang memiliki kesiapan menjadi relawan seperti mereka dengan kemungkinan menanggung segala resikonya. Dan ketiga, keterbatasan lingkungan sendiri seperti masih adanya anak-anak terlantar, anak yang kurang gizi atau orang miskin yang pindah agama karena iming-iming ini dan itu kita akui sebagai bagian dari pekerjaan rumah yang belum selesai. Dalam konteks relasi dengan policy, sebenarnya itu sedikit bisa diatasi apabila pengelolaan kekayaan negara kita telah sesuai dengan tuntutan konstitusi negara. Bukankah ini karena kesalahan kita sendiri? Rasanya, ketimpangan hidup seperti disinggung itu belumlah sebanding dengan penderitaan rakyat Gaza. Tidak setara dengan darah yang sudah ditumpahkan Israel atas rakyat Palestina. Tidak selevel dengan nasib tragis bangsa Palestina yang demikian dizalimi Israel sepanjang konflik itu mereka alami.

Semestinya kita bangga, bahwa ada relawan asal Indonesia yang ikut dalam misi kemanusiaan untuk Gaza. Kita juga patut memberikan acung jempol kepada keluarga mereka yang merelakan kepergiannya dan berpisah sementara untuk mendahulukan kepentingan orang lain yang tidak mereka kenal. Padahal mereka tahu, resikonya amat besar. Insiden penyerangan Israel di atas kapal Mavi Marmara yang mengangkut mereka di wilayah perairan internasional berjarak 65 kilometer lepas pantai Gaza, Palestina itu, mungkin tidak pernah mereka bayangkan. Walaupun bisa saja mereka bahkan percaya bahwa Israel dapat saja bertindak lebih dari itu.

Bagi saya, keikutsertaan relawan itu seperti wakil lebih dari 250 juta jiwa rakyat Indonesia untuk menunjukkan soloidaritas bukan semata-mata sebagai sesama muslim tetapi sebagai bangsa yang tahu tatakrama dan penghormatan atas Palestina.

Mungkin kita tidak pernah menyangka, bahwa Palestina ibarat ”al Saabiquuna al-Awwaluun” dalam konteks perjuangan bangsa kita lepas dari penjajah. Palestina seperti Abu Bakar yang pagi-pagi sekali mengimani Rasulullah di saat orang lain ragu kepada Muhammad shallallaahu ’alihi wasallam dan memberikan dukungan kepadanya belakangan. Ketika Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI di Jakarta pada 17 Agustus 1945, dunia belum langsung mengakuinya. Hingga H. Agus Salim berupaya menggalang dukungan ke Negara-negara di Timur Tengah pun, belum juga mendapat dukungan yang signifikan dan memuaskan. Maka Indonesaia harus kembali bekerja keras agar kemerdekaannya diakui oleh negara-negara di dunia. Di saat itulah Palestina tampil sebagai Negara pertama kali yang mengakui bahwa Indonesi adalah bangsa yang telah merdeka. Tidak cukup sebatas mengakui, Mufti Palestina Muhammad Amin Al-Husain kala itu mendesak agar Negara-negara Timur Tengah mengakui kemerdekaan Indonesia. Terima kasih Palestina, terima kasih Gaza.

Jika ditimbang dari sisi aqidah, kita patut bertanya apakah kita tidak berdosa jika tidak melakukan apapun kepada rakyat Palestina di Gaza? Kesewenang-wenangan Israel sebenarnya telah mengingatkan kita kepada wasiat Khalifah Umar bin Khattab. Al-Quds adalah amanah Khalifah Umar yang harus dijaga dari tangan penjajah, Israel. Tidak hanya itu, Palestina merupakan salah satu dari tiga kota suci ummat Islam yang dulu pernah menjadi kiblat umat Islam. Maka apapun bentuk tugas kemanusiaan untuk Palestina dan Gaza bagi seorang muslim, bisa dimaknai sebagai bentuk tanggungjawab atas wasiat khalifah Umar radhiyallaahu ’anhu.

Apakah girah jihad masih ada di jiwa kita masing-masing ataukah telah hilang sama sekali? Paling tidak sekedar memberi apresisasi kepada saudara-saudara kita para relawan untuk Gaza. Kita bukanlah relawan itu karena bisa jadi memiliki sudut pandang berbeda. Tetapi menilainya sebagai tidak proporsional dalam konteks jihad, memancing kita semua bertanya seperti telah saya lontarkan.

Jihad adalah ajaran suci dan abadi dalam syari’at Islam meskipun dalam pemaknaan kita menemukan perluasan makna jihad dari para cerdikpandai dan ulama. Tetapi bisa jadi hampir semuanya sepakat, bahwa jihad adalah perintah Allah sebagai alat untuk menegakkan keadilan bukan semata-mata tujuan. Ada satu waktu di mana syari’ah bisa tegak dengan jihad memerangi kaum kafur yang menyerang Islam dan kaum muslimin dengan mengangkat senjata. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif, maka bisa jadi jihad diperluas maknanya dengan memerangi kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan hukum dan ekonomi serta semua bentuk-bentuk kezaliman di atas bumi. Maka mendedikasikan diri melawan semua kezaliman itu dengan niat ikhlas melaksanakan perintah agama, Insya Allah adalah juga bagian dari makna jihad dalam arti luas. Meskipun sebenarnya, semulia-mulia jihad tetaplah jihad di medan perang melawan musuh-musuh Islam demi tegaknya agama.

Saya teringat kepada Hanzhalah radhiyallaahu ’anhu yang lebih memilih tenggelam dalam medan Uhud daripada menikmati manisnya bulan madu bersama pengantinnya. Dikisahkan dalam perang Uhud, Hanzhalah radhiyallaahu ’anhu baru saja melangsungkan pernikahannya sehingga tidak menyertai peperangan itu dari awal atas izin Rasulullah. Malam pengantinnya berlalu seperti para pengantin menghabiskan bulan madu. Namun di malam yang memabukkan cinta kasih itu ia mendengar berita mengenai kekalahan kaum muslimin. Maka dalam keadaan junub, Hanzhalah segera megambil pedang dan terus menuju ke medan pertempuran Uhud.

Ketidakdisiplinan pasukan pemanah di bukti Uhud, menjadikan Rasulullah dan tentara muslimin terdesak. Akan tetapi beberapa tentara tetap teguh bertahan bersama Rasulullah Shalallahu alihi wa salam, termasuk di dalamnya Hanzhalah. Pertempuran sengit terjadi dan dengan gigihnya Hanzhalah maju menerobos kemah musuh sambil melawan yang menghadangnya. Dia maju menyongsong Abu Sofyan bin Harb dan menebas kaki kuda Abu Sofyan sehingga Abu Sofyan terjatuh seakan-akan dia menjatuhkan kebathilan. Untung Abu Sufyan, pada saat itu datanglah Syaddad bin al-Aswad membantu Abu Sofyan melawan Hanzhalah Radiallahuanhu untuk kemudian salah satu dari dua orang itu berhasil melemparkan lembing yang menembus Hanzhalah. Abu Sofyan berteriak “Hanzhalah dengan Hanzhalah”, yang maksudnya dia telah membalaskan dendam anaknya yang terbunuh dalam perang Badar.

Hanzhalah gugur sebagai syahid. Ketika para sahabat akan menguburkannya, mereka melihat keanehan yang terjadi. Tubuh Hanzhalah basah kuyup seperti habis diguyur air. Air masih mentes dari rambutnya yang basah. Mereka bertanya-tanya, kenapa bisa terjadi hal demikian? Kemudian Rasulullah menjelaskan: “Sungguh Aku melihat Malaikat memandikan Hanzhalah bin Amir antara langit dan bumi dengan air awan dalam bejana terbuat dari perak”. Subhanallah, Hanzhalah memang junub saat berangkat perang. Ia belum sempat mendi besar setelah malam pengantin. Tetapi berbahagialah ia, malaikat menggantikan memandikannya. Dan berbahagialah ia, pintu surga terbuka lebar untuknya.

Saya malu dengan Hanzhalah yang menukar malam pengantin panjangnya dengan darah syahidnya. Betapa kecil saya di timbangan amal bercerimin padanya.

Saya pun malu dengan relawan itu. Paling tidak, mereka lebih ”dekat” kepada Hanzhalah ketimbang saya. Ampunkan hamba ya Rabb. Hamba hanya sanggup berdo’a untuk Gaza. Hanya bisa mengutuk Israel walau hamba tahu, kutukan tak membuat Israel bergeming dari kekejamannya atas rakyat Palestina. Hamba berlindung pada-Mu dari mati rasa atas panggilan jihad. Semoga Engkau tetap berkenan menizinkan agar hamba bisa berkumpul mereka kelak.

Ciputat,

[email protected]