Jika Dia Ibumu

Selalu ada cerita yang mengiringi turunnya hujan di pagi hari. Mulai dari canda riang anak-anak yang saling berkejaran, beradu kencang dengan teriakan sang ibu yang khawatir anaknya jadi meriang.

Sampai senyum sumringah mbak Yati yang optimis dagangan gorengannya bakal laris manis. Juga mas Diyo yang terpaksa menunda senyum hingga panas matahari mulai terasa, saatnya untuk membuka warung es kelapa muda miliknya.

Bagiku, hujan yang turun di pagi hari kembali memberi pelajaran berharga tentang sabar dan syukur. Secangkir kopi panas, sepiring pisang goreng, sambil membaca koran atau menonton televisi, tentu sangatlah nikmat.

Tapi demi tanggung jawab pada keluarga dan pekerjaan, aku abaikan semua godaan. Dan meski dingin, paling tidak aku masih lebih beruntung karena masih ada jas hujan yang melindungiku, tidak seperti mereka yang terpaksa berbasah kuyup di bawah siraman langsung air hujan.

Bismillahirrohmanirrohiim, berharap ridho Allah dan keberkahan rejeki, aku tetap berangkat kerja, menerobos derasnya hujan.

Belum setengah perjalanan, kulihat seorang perempuan turun dari angkutan umum. Sebuah payung merah kecil ia gunakan untuk melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan. Dilihat dari seragam yang dikenakan, aku berkesimpulan bahwa dia adalah karyawan perusahaan garment yang ada di seberang jalan.

Hanya berselang beberapa detik, seorang pengendara motor besar melaju dengan kecepatan tinggi, melintas tepat di depan perempuan berpayung merah. Sang perempuan terpekik kaget.

Suaranya mengejutkanku, juga pengguna jalan lainnya. Spontan, semua pandangan tertuju ke sumber suara. Sang perempuan terlihat kesal, sedih dan putus asa. Baju seragam yang ia kenakan hampir semuanya basah. Bukan karena air hujan, tapi air bercampur tanah.

Sang pengendara motor yang melewati genangan air dengan kecepatan tinggi hanya menoleh sesaat, dan kembali melanjutkan perjalanannya. Ia sama sekali tak peduli dengan perempuan yang baju seragamnya kini bukan saja basah, tapi juga kotor.

Bagaimana selanjutnya nasib perempuan malang itu? Pertanyaan ini terbawa sampai ke tempat kerjaku. Apakah dia akan nekat bekerja dengan pakaian yang basah dan kotor seperti itu? Rasanya tak mungkin. Bukan saja malu, tapi bisa membuatnya sakit. Tapi jika dia memilih untuk pulang dan berganti pakaian, mungkinkah dia memiliki waktu yang cukup untuk itu? Di mana rumahnya, aku tak tahu. Aku sama sekali tak mengenali perempuan itu.

Jika dia memaksa pulang, apakah di rumahnya masih ada seragam yang siap untuk dipakai? Jangan-jangan belum disetrika atau bahkan belum kering karena hujan selalu turun dalam beberapa hari terakhir.

Jika dia bisa berganti seragam, apakah dia tidak akan telat mengingat kemacetan selalu terjadi disaat jam-jam orang berangkat kerja? Bagaimana dia harus menjelaskan pada atasannya agar mau mengerti alasan keterlambatannya? Atau jangan-jangan dia memilih tidak masuk kerja dengan resiko akan dimarahi atau bahkan dipotong gaji?.

Astaghfirulloh, aku menyesal. Aku menyesalkan sikap sang pengendara motor yang tak peduli dengan perempuan itu. Aku juga menyesali diriku sendiri yang tak bisa membantu. Maaf, maafkan aku saudariku.

Wahai lelaki pengendara motor. Siapapun dirimu dan apapun kepentinganmu, tak terpikirkah olehmu bahwa ngebut di jalan raya bukan saja berbahaya bagi dirimu tapi juga bagi orang lain?

Terlebih dalam kondisi hujan, jalan menjadi licin dan tentunya banyak genangan air. Kuyakin kau tahu, seorang perempuan menderita karena ulahmu. Bagaimana jika dia ibumu, istrimu, anakmu, kekasihmu atau saudara perempuanmu? Terimakah kau jika dia diperlakukan oleh orang lain seperti itu?

Seberapa pentingkah urusanmu? Berapa menitkah waktu yang dapat dihemat olehmu? Kalau tak ingin terlambat, seharusnya berangkat lebih awal, sebab ngebut di jalan bukanlah solusi yang tepat.

Matamu melihat, tapi hatimu sama sekali tak tergerak untuk menolongnya. Kaulah satu-satunya yang melintas tepat di depan perempuan itu, bukan orang lain yang menyebabkan pakaiannya basah dan kotor seperti itu! Dimanakah tanggung jawabmu?

Jalan yang kau lewati bukan milikmu, bukan milikku dan juga bukan milik perempuan itu. Ini jalan umum, milik bersama. Tak ada hak bagimu atau bagi siapapun untuk menggunakannya sesuka hati. Jika kau ingin selamat sampai tujuan, maka orang lainpun demikian. Jika kau ingin sampai tepat waktu, maka orang lainpun begitu.

Demi kelancaran dan keselamatan bersama, menghormati sesama pengguna jalan adalah sebuah keharusan. Pengguna kendaraan menghormati para pejalan, begitupun sebaliknya.

Tapi sayang, pemahaman ini tidak ada padamu, paling tidak saat itu. Kau terlalu egois, hanya memikirkan urusanmu sendiri. Bagaimana orang lain, kau tak mau tahu. Coba jawab pertanyaanku, bagaimana jika perempuan itu adalah ibumu, istrimu, anakmu, kekasihmu atau saudara perempuanmu ? Jawab, jawab dengan hatimu!

Saudariku, maafkan aku yang tak bisa membantumu. Bukan aku juga tak peduli padamu. Semoga saja ada orang lain yang menolongmu. Kalaupun kau terlambat masuk kerja, semoga saja atasanmu bisa mengerti dengan permasalahanmu. Semoga, semoga saja saudariku.

http://abisabila.blogspot.com