Otomatis Romantis

Selasa malam, bada’ isya aku antar istriku ke salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak yang terletak tiga kilometer dari tempat tinggal kami. Kedatangan kami ke rumah sakit yang temboknya didominasi warna warna hijau muda ini adalah atas rekomendasi bidan Nita, bidan yang kami datangi bada’ maghrib tadi. Hasil pemeriksaan bidan Nita menyebutkan bahwa ‘pendarahan’ yang dialami istri bukan karena keguguran, tapi diperkirakan karena adanya penebalan dinding rahim. Selain itu, sang bidanpun khawatir ada kista dalam rahim istriku. Astaghfirulloh, cobaan apa lagi yang akan dialami istriku yang tekanan darah tingginya belum stabil ini.

Tiga minggu sebelumnya, istriku memberitahu bahwa dia sudah terlambat haidh dua minggu. Saat itu kami mengira bahwa kami akan segera dikaruniai momongan lagi. Tapi, harapan kami ternyata belum dikabulkan Allah. Beberapa hari kemudian istriku mendapatkan haidh. Anehnya, meski sudah lebih dari seminggu, darah haidhnya masih keluar dengan deras, sangat deras malah. Khawatir dengan kondisinya yang semakin lemah, akhirnya ku bujuk dia untuk berkonsultasi dengan bidan.

Mendengar kisah istriku yang sempat terlambat haidh, bidan Nita akhirnya melakukan tes kehamilan. Jika ternyata hasilnya positif, maka berarti darah yang keluar itu bukan darah menstruasi, tapi darah akibat keguguran. Itu berarati pula harus segera dilakukan kiret sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Aku mendengar penjelasan sang bidan dengan perasaan tak menentu, terlebih istriku. Ketakutan jelas terlihat diwajahnya yang pucat. Setelah dilakukan tes kehamilan, hasilnya ternyata negatif. Lega sekali kami mendengarnya. Paling tidak, ketakutan istriku dan juga kekhawatiranku akan proses kuret seperti yang dijelaskan sang bidan tak perlu dilakukan. Soal gagal mendapatkan momongan, sejak istri mendapatkan haidhnya, angan-angan itu hilang dengan sendirinya.

Mempertimbangkan kondisi istri yang terlihat lemah dan pucat, dengan agak memaksa bidan Nita menyuruh kami segera memeriksakan diri ke rumah sakit karena perlengkapan di sana lebih lengkap. Sang bidan memperkirakan ada penebalan dinding rahim, atau bahkan juga ada kista dalam organ reproduksi istriku. Berbekal sepucuk surat tulisan tangan dari sang bidan, kamipun mendatangi rumah sakit yang dimaksud. Hasil pemeriksaan USG yang dilakukan dokter Eddy Sp.OG menunjukan bahwa perkiraan sang bidan seratus persen benar. Ada penebalan dinding rahim setebal 12 mm ( kalau tidak salah ingat ) sekaligus ada kista sebesar 5 x 7 cm ( juga kalau tidak salah ingat, karena kami sudah terlanjur shock dengan hasil pemeriksaan ini ). Sang dokter menganjurkan agar kista diangkat dengan melalui operasi, tapi itu bisa dilakukan nanti setelah kondisi istriku membaik. Yang perlu segera ditangani adalah penghentian pendarahan dan pemulihan kebugaran. Curiga dengan kadar hemoglobin yang rendah, sang dokter meminta isriku untuk segera melakukan tes darah.

Hasil pemeriksaan darah menunjukan kadar hemoglobin istriku 8.6 , rendah namun belum memerlukan tindakan transfusi darah. Cukup minum vitamin dan beberapa obat untuk menghentikan darah yang keluar dan obat penyeimbang hormon ( entahlah, aku tak begitu paham dengan obat yang terakhir ini ).Ya Allah, kami sadar bahwa apapun yang harus kami jalani semuanya terjadi atas izin dan kehendakmu. Bukan kami ‘menantang ujianmu’ tapi kami yakin akan mampu menjalaninya karena tak mungkin Engkau berikan ujian diluar batas kemampuan kami. Ikhlas, sabar dan ikhtiar, itu yang harus kami lakukan.

Alhamdulillah kondisi kesehatan istriku perlahan mulai membaik. Bahkan kami tak perlu lagi mendatangi rumah sakit ini. Darah yang tadinya keluar dengan deras sudah bisa dihentikan, begitupun anemia istriku sudah bisa diatasi. Sementara untuk penanganan kista, kami memilih metode pengobatan alterntif yang insya Allah tidak melanggar syar’i.

Dua bulan sudah ujian itu kami lewati. Atas pertolongan Allah, istriku mendapatkan kesembuhan. Saling mengingatkan dan saling menguatkan, akhirnya kami bisa melewati ujian demi ujian. Diluar itu, sesungguhnya ada satu hal yang terus kuingat sampai sekarang. Saat berada di ruang tunggu rumah sakit ibu dan anak, Seorang lelaki bertato telah menarik perhatianku, juga membukakan kesadaranku akan kebesaran Allah.

Saat tiba di rumah sakit malam itu, dokter Eddy Sp.OG sudah mulai membuka prakteknya. Kami adalah pasien ketujuh sekaligus pasien terakhir yang mendaftar malam itu. Setelah menyelesaikan seluruh administrasi di bagian pendaftaran dan kasir, kami antri bersama pasien lainnya di depan ruang praktek sang dokter. Pasien pertama sudah ada di dalam ruang praktek dokter. Kami dan kelima pasien lainnya menunggu di bangku plastik yang disusun membentuk huruf L . Aku dan istriku duduk di bangku paling ujung sebelah kiri. Diujung bangku sebelah sana, kulihat sepasang suami istri beserta seorang balita yang terlihat lincah dan menggemaskan. Bapak balita inilah yang cukup menarik perhatianku.

Sebenarnya, tak semestinya aku menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Tapi laki-laki yang mengenakan celana jins yang dipotong sebatas lututnya itu nyata tidak mampu menyembunyikan tato yang menghias kedua kakinya. Juga baju lengan pendeknya tak bisa menutupi tato dikedua lengannya. Bahkan, dibalik kancing baju paling atas yang dibiarkannya terbuka terlihat gambar tato menghias dadanya, mungkin juga bagian tubuh lainnya. Dilihat dari penampilannya, laki-laki ini pernah menjalani hidup yang kasar dan keras, mungkin bekas seorang preman. Paling tidak itulah keyakinanku malam itu. Tapi jauh dari tanda-tanda ‘kasar dan keras’ yang tersisa di tubuhnya, tingkah laku laki-laki ini sungguh terbalik seratus delapan puluh derajat. Aku melihat jelas, ia begitu care menjaga balita yang sedang aktif –aktifnya itu. Dengan sabar diikutinya kemauan sang balita yang sebentar-sebentar minta turun dari pangkuannya, berlari-lari kecil, duduk lagi dan terkadang mengelus-elus perut ibunya. Dengan lemah lembut, laki-laki bertato itu menjauhkan sang anak ketika elusan di perut ibunya berubah menjadi tepukan. Dengan penuh kasih sayang, berkali-kali kulihat lelaki penuh tato itu memeluk dan menciumi balitanya. Sang istri yang usia kandungannya kuperkirakan lebih dari tujuh bulan itu terlihat sangat nyaman dengan semua ini. Tak ada yang telihat dipaksakan, semua berjalan sewajarnya. Lelaki yang kunilai ‘kasar’ itu rupanya memiliki jiwa yang romantis.

Aku teringat salah satu ayat yang seringkali dicantumkan dalam undangan pernikahan, surat Ar Ruum ayat 21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

Benar bahwa Allah menciptakan pasangan untuk kita agar kita merasa tentram dan saling berkasih sayang. Banyak bukti menunjukan bahwa perangai buruk seseorang berubah drastis menjadi pasangan yang romantis setelah dirinya berumah tangga. Dan, aku rasa lelaki bertato yang berjiwa romantis itu adalah salah satu buktinya. Bukti lainnya adalah, semenjak menikah aku bisa merasakan ketentraman hidup dan kasih sayang yang sebenarnya.

Aku kemudian teringat dengan perjalanan rumah tangga si A. Empat belas tahun silam, A menikah dengan Z, seorang laki-laki asal pulau seberang. A dan Z telah dikarunia tiga orang anak, satu perempuan yang sudah duduk di bangku akhir sekolah dasar, dan dua orang laki-laki yang usianya hanya selisih setahun.

Layaknya rumah tangga lainnya, rumah tangga A dan Z pun tak luput dari ujian. Satu ketika, A merasa ada perubahan pada diri suaminya. A merasa Z menyembunyikan sesuatu darinya, dari keluarganya. Tepatnya, A mendapati beberapa bukti bahwa sang suami memiliki pacar lagi. Shock, itu jelas. Tapi A berusaha keras untuk tetap bersabar dan mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Setahun lebih A bersabar, Z belum juga menunjukan perubahan, bahkan tak pernah sekalipun dia mengakui ‘perselingkuhannya’. Konflik yang semula hanya dihadap berdua, mulai meluas menjadi masalah keluarga A yang jelas tidak terima dengan tingkah laku Z. Permasalahan semakin melebar karena Z tidak terima dengan teguran salah satu adik iparnya. Permusuhanpun tak dapat dihindari.

Permasalahan semakin ruwet ketika satu waktu A memberitahu sang suami bahwa dirinya terlambat haidh, bahkan sudah melakkan tes kehamilan, dan hasilnya positif. Merasa permasalahan belum selesai, Z memaksa A menggugurkan kandungannya yang tentu saja ditentang keras oleh A. Apapun yang tejadi, A akan tetap mempertahankan janin yang dikandungnya karena itu adalah benih Z, suami sahnya.

Manusia tidak tahu mana yang terbaik baginya, tapi Allah Maha Tahu mana yang terbaik untuk hambaNya. Jika semula Z menentang keras kehamilan anak keempatnya, maka Allah memberikan pertolongan kepada A justru melalui bayi ini. Kesabaran, ketabahan A kini membawa hasil. Perlahan, seiring dengan perkembangan janin dalam perut sang istri yang semakin membesar, kesadaran Z pun berangsur pulih. Z telah kembali seperti Z yang pertama A kenal dulu. Dia telah kembali, utuh milik keluargnya. Z menyadari dan menyesali semua kekhilafannya selama ini. Itu dibuktikannya dengan tidak lagi berhubungan dengan perempuan yang sempat menjadi duri bagi keluarganya . Z juga telah menetralisir keretakan hubungannya dengan sang adik ipar. Dan yang lebih melegakan lagi, Z begitu sayang dengan sang istri dan janin yang dikandungnya. Saat sang bayi terlahir, segala permasalahan yang pernah terjadi dua tahun sebelumnya seakan tak pernah ada. Kehadiran sang bayi telah merubah sifat egois, ringan tangan dan pemarah Z yang sebenarnya bukan sifat dasarnya menjadi sifat yang lembut dan romantis. Keluarga ini akhirnya kembali utuh, tentram dan saling mengasihi dan menyayangi. Alhamdulillah.

Pelajaran apa yang kuambil dari lelaki bertato yang berhati lembut dan kisah kesabaran A serta kesadaran Z? Adalah Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar kita mendapatkan ketentraman dan tercipta rasa kasih dan sayang. Sudah semestinya kita saling memberikan kasih sayang, perhatian kepada pasangan kita demi tercapainya keluarga yang tentram. Hadir, mendampingi pasangan di masa-masa sulit adalah obat mujarab diluar obat-obatan dan pertolongan medis. Saling menguatkan pasangan yang sedang menghadapi masalah adalah energi dasyat diluar segala macam makanan dan minuman. Saling mengingatkan pasangan yang sedang khilaf adalah hal yang tepat untuk meluruskan. Sabar dan sadar bahwa masing-masing diri memiliki kelebihan sekaligus kekurangan, sehingga kita membutuhkan pasangan untuk menutupi kekurangan dan membagi kelebihan.

Semestinya, keluarga menjadikan kita otomatis romantis. Insya Allah.

http://abisabila.multiply.com