Tak Ada Rotan Akarpun Jadi

Pak Darmawan dan keluarga baru saja selesai sarapan ketika seseorang mengetuk pintu rumah mereka.

“Assalamu’alaikum…!” sang tamu mengucap salam.

“Wa’alaikum salam!” Demi mendengar tamunya adalah seorang perempuan, Bu Darmawan segera beranjak ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Seorang perempuan setengah baya tersenyum saat pintu terbuka.

“Siapa, Bu? Kok tamunya nda diajak masuk?” tanya Pak Darmawan dua menit kemudian saat sang istri kembali ke ruang makan.

“Ibunya si Fulan, Yah. Beliau agak terburu-buru, jadi nunggu di teras saja katanya.”

Sebenarnya tidaklah terburu-buru, bahkan sang tamu enggan pulang bila tak membawa apa yang ia butuhkan. Ia hanya merasa tak enak, pagi-pagi sekali telah mengetuk pintu rumah tetangganya.

Bu Darmawan akhirnya bercerita bahwa kedatangan ibunya si Fulan adalah untuk meminjam sejumlah uang guna membayar rekening llistrik mereka yang sudah menunggak dua bulan. Yang menjadi masalah, kondisi keuangan keluarga Pak Darmawan tak jauh lebih baik dari keluarga si Fulan.

Seminggu yang lalu, anak salah satu kerabat Pak Darmawan masuk rumah sakit dan harus dioperasi karena penyakit yang cukup serius. Dan untuk itulah seluruh uang tabungan Pak Darmawan dipinjamkan. Hanya tersisa beberapa rupiah, cukup untuk belanja sehari-hari, itupun sang istri harus pintar-pintar berhemat agar cukup sampai Pak Darmawan gajian.

“Bagaimana ini, Yah?” Bu Darmawan memecah keheningan.

“Ibu tadi bilang mau meminjaminya?”

“Tidak, Yah. Ibu bilang kalau keuangan kita juga sedang tidak lebih baik dari mereka. Tapi ibunya si Fulan berharap sekali kita bisa meminjamkan uang pada mereka. Akhirnya, ibu bilang kalau ibu mau tanya sama Ayah dulu, barangkali Ayah masih punya sedikit tabungan.”

Pak Darmawan tersenyum. Tak perlu bertanya, sebenarnya sang istri sudah tahu jawabannya. Merahasiakan tabungan bukanlah kebiasaan Pak Darmawan. Seluruh uang gajian ia serahkan kepada sang istri untuk dikelola. Ia hanya mengambil secukupnya untuk ongkos kerja, membeli bensin dan sekedar cadangan kalau dalam perjalanan sepeda motornya rusak atau terjadi hal-hal diluar dugaan. Dan bulan ini, meski tak ada kerusakan ataupun kejadian tak terduga lainnya, anggaran itu akhirnya terpakai juga untuk menutupi uang belanja istrinya. Seperti diceritakan di depan, salah satu kerabat mereka sedang tertimpa musibah, dan setelah semua tabungan dikuras, mereka hanya mampu membantu tak lebih dari setengah biaya operasi.

“Yah, ibunya si Fulan masih menunggu di teras.” Bu Darmawan mengingatkan. Bisa atau tidak, ia harus segera menyampaikan. Tak enak bila membuat tamunya menunggu lama hanya untuk jawaban yang membuatnya kecewa.

“Ibu masih punya persediaan beras, gula, minyak atau kebutuhan dapur lainnya?”

“Masih, tapi rata-rata hanya cukup untuk beberapa hari ke depan. Mudah-mudahan cukup sampai Ayah gajian. Tapi kalau mie instant, kita masih punya banyak persediaan. Memangnya kenapa, Yah?” Bu Darmawan balik bertanya. Bingung.

“Kita masih punya persediaan mie instan?” raut wajah Pak Darmawan terlihat lebih cerah. Sebuah solusi telah ia temukan. “Berikan beberapa bungkus pada ibunya Fulan!”

“Yah, ibunya si Fulan kesini pinjam uang untuk bayar rekening listrik, bukan pinjam beras, gula, minyak ataupun mie instan!” Bu Darmawan mengingatkan.

Pak Darmawan tersenyum ringan. “Tak ada rotan, akarpun jadi. Tak ada uang untuk dipinjamkan, memberi mie instan pun jadi. Ayah tahu, tak mungkin membayar rekening listrik dengan mie instant. Kalaupun bisa, mana cukup persediaan mie kita untuk membayar semuanya. Tapi setidaknya, kalau kita berikan mie instan, syukur kalau masih ada kebutuhan dapur lainnya yang bisa ibu tambahkan, ibunya si Fulan bisa menghemat uang belanja untuk hari ini. Kita tak mungkin membiarkannya pulang dengan tangan hampa kan, Bu?”

“Apa nanti beliau nda tersinggung, Yah? Ibu takut nanti malah kita disangka menghina,” tanya sang istri ragu.

“Ibu sampaikan saja secara baik-baik. Tak ada maksud lain, kecuali kita hanya ingin sekali membantunya. Hanya saja, kondisi keuangan kita sedang tidak memungkinkan. Tak perlu cerita yang sebenarnya, nanti malah jadi membuka aib orang. Insya Allah, diawali dengan niat yang tulus, disampaikan dengan kata-kata yang sopan dan halus, maka Allah akan membukakan hati beliau sehingga tidak berfikir negatif, tidak merasa direndahkan, karena kita tak pernah bermaksud demikian. Semoga saja, beliau bisa segera dapat pinjaman dari orang lain.”

“Aamiin. Kalau begitu, ibu ambilkan mie instannya dulu.”

“Ya! Dan tolong sampaikan pada ibunya Fulan, sebenarnya lebih baik kalau beliau masuk saja, tidak menunggu di teras. Kalau ada orang yang melihat kan nda enak, takut menimbulkan fintah.”

“Baik, Yah. Insya Allah nanti ibu sampaikan.”

http://www.abisabila.com