Ada Segenggam Asa di Paris

Malikah adalah seorang sahabatku yang telah beberapa tahun menetap di Moskow. Seorang perawat kelahiran Grozny, Chechnya, yang memiliki tiga cahaya mata, Muhammad, Madina dan Mansur. Suaminya, Baudin Natzaev, seorang insinyur metalurgi, mantan mandor pabrik logam besar di Grozny yang sangat mahir membuat perkakas besi termasuk senjata. Sebatang pipa besi bekas dan lempeng-lempeng baja kecil plus pegas mudah saja dikemasnya menjadi sebuah ‚Kalashnikov’ yang sangat berbahaya. Namun Baudin berhati lembut dan sangat menyayangi keluarganya. Kedatangan mereka mengadu nasib di Moskow tidak lain karena tidak ada lagi kehidupan di Grozny yang telah menjadi kota mati, luluh lantak dalam perang berkepanjangan tanpa henti.

Malikah bekerja di sebuah rumah sakit di tengah kita Moskow. Pekerjaan yang mulia namun sepertinya tidak begitu dinikmatinya. Malikah merasakan bahwa dia masih dibedakan dengan orang setempat, terutama masalah gaji dan perlakuan. Dia pernah mengatakan padaku bahwa kerap kali dia keluar rumah memakai platok atau kerudung kecil ala wanita Russia. Namun masih saja dia bisa dibedakan sebagai wanita kaukasus yang sepertinya layak diasingkan.

Tak dapat dipungkiri bahwa orang Russia masih berjarak dengan orang Chechnya hingga saat ini, dan yang paling merasakan gejolak peperangan tersebut adalah masyarakatnya. Padahal jika kulihat sekilas, wajah Malika tak begitu kentara sebagai wanita Cechnya yang kebanyakan yang biasanya berambut hitam dan bermata setajam pisau. Rambutnya pirang agak kecoklatan dan berkulit putih pucat seperti orang Russia lainnya. Namun mereka masih bisa mengenalinya terutama dari logatnya yang berbeda.

Malikah banyak memberi ilmu padaku tentang bagaimana cara mengobati penyakit di musim dingin yang sangat rentan itu. Oleh karenanya aku sangat bersyukur dikaruniai sahabat seperti dirinya. Padahal perkenalan kami terbilang sangat unik. Waktu itu kami tinggal di sebuah apartemen lokal yang tergolong murah. Malikah datang mengetuk pintu dan mengajak kami ke rumahnya yang berada tepat di bawah kami. Ternyata apartemennya terkena tetesan air dari kamar mandi kami yang bocor. Peristiwa itulah yang menjadi kenangan hingga akhirnya kami bersahabat dengannya.

Ibundanya pun dekat dengan kami. Setiap kali saya datang ke rumahnya, ibunda Malikah selalu ingin mendengar saya membacakan surat Yasin. Dan air matapun mengalir dari pipinya yang sudah keriput itu. Beliau mengatakan sangat ingin mendengar anak atau cucunya dapat fasih membaca lantunan ayat suci Quran yang biasa didengarnya dahulu di Kota Grozhny. Namun hal itu hanya menjadi harapannya saja. Karena saat ini banyak generasi Chechnya yang jauh dari nilai-nilai ke-Islaman dan hanya menganggap Islam sebagai budaya saja. Oleh karena itu Malikah dan Baudin meminta kami mengajarkan Muhammed, Madina, dan Mansyur untuk membaca iqro sepekan sekali.

Ada harapan dari Malikah dan keluarganya untuk tidak berlama-lama di Russia. Dia mengatakan bahwa kecerdasannya dan suaminya sangat mahal harganya dan layak diperlakukan lebih baik. Hingga terbetik harapan untuk hijrah ke negara lain. Selang beberapa waktu, kami diundang ke rumahnya untuk acara perpisahan. Ternyata Perancis bersedia menampung Malikah dan keluarganya untuk menetap. Mereka telah siap jiwa dan raga untuk membangun kehidupan yang lebih baik di kota Paris. Sedih rasanya berpisah, namun demi sebuah harapan yang lebih baik. Apa lagi yang dapat kuberikan selain doa dan turut merasa bahagia untuk mereka.

Insya Allah ikatan ini takkan putus, di manapun kalian berada dan di manapun kami berada. Bumi Allah begitu luas untuk dijadikan pijakan dan harapan untuk merenda kehidupan yang lebih baik.