Makna Yang Tergerus Masa

Ada sebuah fenomena unik yang kini sering sekali terjadi di sekitar kita. Tentu kita setidaknya pernah beberapa kali mendengar orang-orang non-muslim begitu akrab dengan kalimat-kalimat Islami dan pujian kepada Allah, seperti Alhamdulillah, Insya Allah, bismillah, dan Assalamualaykum. Mereka dengan spontannya mengucap Insya Allah ketika berjanji. Dengan tanpa beban berucap salam ketika bertemu, mengucap basmallah ketika memulai pekerjaan, atau mengucap hamdalah ketika mendapat kebahagiaan.

Ada beberapa sudut pandang yang bisa kita pakai dalam memaknai fenomena ini. Hal yang harus kita syukuri adalah bahwa umat Islam ternyata sudah akrab dengan kalimat-kalimat Islami ini sehingga orang-orang non-muslim ikut latah menggunakannya dalam kehidupan keseharian mereka secara refleks.

Namun, di satu sisi, ada hal lain yang harus coba kita renungi. Sangat mungkin fenomena ini terjadi karena kita telah kehilangan (atau menghilangkan?) makna dari kalimat-kalimat Islami yang kita ucapkan tadi. Salam yang memiliki makna begitu besar, kini seperti tereduksi menjadi tanpa beda dengan ucapan selamat pagi, halo, dan seterusnya.

Kalimat Insya Allah pun sekarang telah sering disalahartikan dan disalahgunakan. Seharusnya jika sebuah janji sudah kita labeli dengan kata Insya Allah, yang harus kita lakukan adalah benar-benar berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menepatinya. Bukan malah menjadikan kalimat Insya Allah sebagai apologi untuk tidak menepati janji. Ketika ditanya kenapa tidak menepati janji, dengan entengnya kita menjawab : Kan aku bilang, Insya Allah. Kalau nggak jadi ya berarti Allah nggak mengizinkan.

Demikian juga dengan ucapan lainnya seperti hamdalah dan bismillah. Kita mengucapkannya tanpa memahami maknanya, tanpa nyawa. Ucapan dahsyat itu kemudian menjadi mati tanpa makna di ujung bibir kita.

Kalimat mulia yang seharusnya menjadi pembeda kita umat Islam dengan umat non–Islam menjadi tanpa fungsi. Kita tetap tidak punya beda dengan mereka. Sama saja. Mereka juga mengucapkan kalimat-kalimat tersebut tanpa nyawa, tanpa makna. Hamdalah bagi mereka hanyalah kata lain untuk pekikan hore ketika mendapt kebahagiaan. Insya Allah bagi mereka hanyalah sebuah kosakata baru yang cocok ditempatkan sebagai pengiring sebuah janji. Salam bagi mereka hanya sebuah alternatif untuk menyapa. Tanpa nyawa, tanpa makna.

Hal ini jelas bukan suatu hal yang patut dibiarkan begitu saja. Kalimat-kalimat tersebut harus kembali mendapatkan ruh dan nyawanya. Kalimat-kalimat itu harus kembali menjadi pembeda, mejadi karakter umat Islam. Ia harus terucap dari hati yang paham makna, bukan dari hati yang lalai yang membuat kalimat itu hanya sebatas lip service saja, sebuah pemanis bibir.

Kesungguhan kita dalam menggunakan dan memaknai ucapan-ucapan kita akan terlihat jelas. Mana salam yang diucapkan karena kita memang ingin mendoakan keselamatan pada saudara kita, atau sekadar salam basa-basi untuk menyapa supaya terkesan lebih Islami. Kalimat bismillah yang terucap karena ingin mendapat barakah dan kemudahan dari pekerjaan yang akan dilakukan akan terasa berbeda. Ucapan hamdallah ketika mendapat kebahagiaan akan bagitu nyata bedanya jika diiringi tekad untuk menjadikan nikmat itu sebagai sarana untuk memberi kebaikan pada sekitar kita, sebagai bentuk syukur kepada-Nya.

Apa yang keluar dari hati pada kedalaman makna akan menjelma tetes embun pagi yang menyegarkan setiap pendengarnya, yang menentramkan jiwa, yang menghentakkan gelora semangat di dada. Dan itulah ucapan seorang muslim. Setiap kata dari mulutnya adalah mutiara. Tiada keluar dari bibirnya kecuali kata-kata indah berlumur kebaikan. Dan itu pula yang seharusnya menjadi ucapan kita. Bukankah kita muslim?

Purwokerto, 20 Maret 2010 (05.55 WIB)
Aditya Putra Priyahita