Sang "Kumsary"

Peluh keringat bercucuran, berdesak-desakan dengan para penumpang, sumpek, kaki yang pegal karena terlalu lama berdiri adalah hal biasa yang dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia jika berada dalam bus-bus angkutan kota Kairo saat jam-jam sibuk. Mengingatkanku saat pertama kali naik bus ketika harus mengikuti ujian untuk mendapatkan beasiswa Al-Azhar di KEDUBES Mesir Jakarta.

Kejadian siang itu benar-benar tak bisa kulupakan. Setelah hampir sejam, akhirnya bus angkutan yang ditunggu datang juga. Seperti biasa bus sudah penuh sesak dengan para penumpang. Aku memaksa masuk, kemudian mengambil tempat berdiri tepat di samping tempat duduk yang khusus disediakan buat kumsary atau dalam bahasa Indonesia disebut kondektur. Tempat duduk itu berada di bagian belakang bus. Saat itu sang kumsary tidak berada di tempatnya. Ia sibuk meminta ongkos dari para penumpang. Melihat kursi yang kosong, seorang pemuda Mesir yang juga baru ikut naik langsung menempati tempat duduk sang kumsary tersebut.

Saat sang kumsary datang, tanpa perintah si pemuda langsung berdiri dan segera mempersilahkan sang kumsary untuk duduk. Sang kumsary langsung duduk sambil memperhatikan para penumpang yang barangkali belum ditagih ongkosnya. Tidak berapa lama kemudian, sang kumsary itu mempersilahkanku yang dari tadi berdiri disampingnya untuk duduk di tempatnya. Aku berusaha menolak. Karena selain wajahnya yang nampak lelah, usianya juga sudah tidak muda lagi. Ia terus memaksa sehingga akhirnya aku pun menuruti kemauannya.

Pemuda mesir yang tadinya duduk di tempat itu sontak marah. Ia tidak menerima sikap sang kumsary yang lebih mendahulukanku. Padahal dia dan juga para temannya dari tadi juga berdiri tidak jauh disamping sang kumsary. Akhirnya teman-temannya pun ikut "nimbrung" mencerca sang kumsary.

Anehnya, sang kumsary tetap tenang. Ia hanya menjawab cercaan itu dengan beberapa kalimat yang singkat tapi cukup membuat para pemuda Mesir itu terdiam.

"Berapa kali kalian berwudhu’ dalam sehari? Saya mendahulukan anak ini dari kalian karena dia adalah penghapal Al-Qur’an. Apakah saya salah kalau saya memuliakan orang yang menghapal Al-Qur’an?".

Kemudian sang kumsary menghadap ke arahku. Ia pun mulai membaca beberapa ayat Al-Qur’an di surat ‘Ali Imran. Aku hanya bisa terdiam, mendengarkan, sambil sesekali membenarkan bacaannya yang keliru. Orang-orang memperhatikan kami. Setelah membaca ayat, sang kumsary mulai memberi nasehat kepadaku.

"Nak! Siapa saja yang tidak menginginkan Al-Qur’an maka Al-Qur’an pun tak berkeinginan terhadapnya. Siapa pun yang tidak mencintai Al-Qur’an, maka Al-Qur’an pun tak akan pernah mencintainya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman: "apabila seorang hamba mendekatkan dirinya kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sehasta. Dan jika ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku dari dirinya sedepa. Dan apabila dia mendatangiKu dengan berjalan maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari". Nak! Saya berhasil menghapal surat Al-Baqarah dan ‘Ali ‘Imran saat usia saya sudah mencapai 40 tahun. Sebelumnya saya tidak hapal sedikitpun ayat-ayat Al-Qur’an kecuali surat-surat pendek saja."

Rasanya ketika itu aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Hati ini seolah dibanting, diiris-iris dengan pisau. Kepala ini hanya bisa tertunduk sambil sesekali menyeka air mata yang tak bisa kutahan. Lidah ini kelu tak mampu berkata apa-apa. Aku benar-benar merasakan malu yang luar biasa. Penghormatan seorang kondektur yang tidak pantas kuterima. Belum lagi aku teringat dengan aib-aib, dosa serta maksiat yang melumuri tubuh kotor ini, ditambah semangatku menghapal Al-Qur’an yang makin luntur. Aku hanya terdiam kaku, tak peduli lagi dengan orang-orang sekitarku.

Kalau kita mau jujur, segala penghargaan dan penghormatan yang diberikan oleh orang lain tidak ada yang pantas kita terima. Penghormatan dan penghargaan itu ada, hanya karena Allah yang maha pengasih itu masih menutupi aib-aib serta kebusukan diri kita. Seandainya Allah membukakan aib-aib itu, mungkin tidak ada satu pun manusia yang sudi mendekati apalagi mendengarkan ucapan-ucapan kita.

Tidak perlu merasa mulia apalagi sombong dengan apa saja yang kita peroleh saat ini. Karena hanya Allah yang paling tahu siapa yang mulia diantara hamba-hambanya dan Dia juga yang paling tahu ke tempat yang mana kita akan dikembalikan nantinya. Berusahalah selalu bersikap jujur terhadap Allah serta rendah hati kepada manusia. Semoga Allah selalu menuntun kita menjadi hamba-Nya yang selalu rendah hati, dan tidak meremehkan orang lain, bahkan terhadap seorang kumsary sekalipun. Hikmah bagai air, ia tidak akan mengalir ke tempat yang lebih tinggi.

Dalam hadits riwayat Iman Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: "Aku adalah pemimpin dari anak cucu adam dan Aku sama sekali tidak sombong"

Kini aku hanya bisa mengulang-ulang doa yang selalu dilantunkan oleh Sayyidina Abu Bakar RA apabila ia dipuji seseorang:

اللهم اجعلني خيرا مما يظنون ، واغفر لي ما لا يعلمون ، ولا تؤاخذني بما يقولون

"Ya Allah, jadikan aku lebih baik dari yang mereka sangka! Ampuni aku atas (aib-aib) yang tidak mereka ketahui! Dan jangan siksa aku disebabkan perkataan-perkataan mereka!"

‘Imarah Al-Haj Abu Isma’il 73
Madinatul Buus Islamiyah
Kairo, 7 Oktober 2010