Air Mata Jelang Hari Raya

Eramuslim.com – Hari-hari Ramadhan telah memasuki detik-detik perpisahan. Hari-harinya tinggal tersisa dalam hitungan jam saja. Ibarat pementasan sebuah drama, kita hampir sampai pada ujung akhir sebuah cerita. Dan biasanya, ujung sebuah kisah berakhir dengan melibatkan emosi lebih dalam baik penonton maupun aktor yang memerankannya.

Tidak seperti bulan-bulan berlalu, akhir Ramadhan selalu ditandai dengan dua kutub emosi yang saling berhadapan; sedih dan gembira. Kesedihannya terkadang teramat dalam sehingga begitu membekas hingga sebelas bulan ke depan. Sedangkan kegembiraannya hanya ada yang berlangsung sesaat, setelah itu hilang perlahan.

Kegembiraan yang hilang perlahan itu, adalah kegembiraan kasar yang ditandai dengan  kesibukan menghadapi lebaran. Kesibukan atas baju baru, kue kering, ketupat, daging atau rencana mengisi liburan hari raya. Atas keperluan itu isi kantong dikuras, tabungan ditarik atau barang berharga sementara waktu digadaikan.

Semuanya dilakukan agar hari raya dihadapi dengan kegembiraan yang serba baru, serba lezat dan serba menyenangkan. Bagaimana dengan pengalaman ruhani dan ketaatan di saat Ramadhan? Apakah kesungguhan meraih ampunan, pahala dan malam kemuliaan sama kerasnya seperti usaha menghadirkan kebahagiaan itu? Barangkali pertanyaan seperti ini teramat mahal untuk dijawab, bahkan boleh jadi tidak dikehendaki sama sekali.

Bukanlah rahasia, di antara mereka ada orang-orang yang sama sekali tidak peduli dengan puasa tetapi hanya peduli dengan baju baru dan segala pernak-pernik hari raya. Mereka yang bermuka kecut saat Ramadhan tiba melebihi kecutnya terpidana mati saat akan dieksekusi dan sumringah melebihi sumringahnya anak kecil mendapat mainan baru saat Ramadhan berakhir sejak bedug bertalu-talu. Kesedihan mereka nampak bukan karena Ramadhan yang berlalu, tetapi karena tidak punya cukup modal untuk membeli segala keinginan serba baru.

Kini, mari kita berkaca pada generasi terbaik dari ummat Muhammad SAW.. Generasi kebanggaan ummat yang ketaatannya tidak pernah lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Generasi para sahabat dan tabi’in masa awal. Generasi yang rela menggenggam bara api, asalkan agamanya selamat. Generasi yang tidak sungkan menanggalkan baju dan hartanya untuk fakir miskin dan ongkos tegaknya dakwah. Generasi yang lebih merindukan kematian syahid, asalkan Islam tetap berwibawa di mata para pendusta. Mereka yang sumringah berseri ketika Ramadhan menjelang dan meleleh air mata duka saat Ramadhan tinggal setepi di akhir bulan.

Di manakah generasi itu sekarang?

Kita semua percaya, begitu ada banyak hamba Tuhan yang mewarisi semangat para shalihin generasi pertama itu. Meskipun tidak 100 persen klop seperti mur dengan bautnya. Generasi yang mengisi setiap detik Ramadhan dengan taqarrub. Siangnya mereka berpuasa dan beraktifitas ibadah, malamnya berdiri dalam rangkaian munajat gerak takbir, ruku dan sujud. Lisannya digetarkan dengan tilawah, dikupas inti maknanya, lalu gerak tubuhnya sepakat dengan nilai-nilai hasil bacaan yang tercermin dalam aktivitas sosialnya. Maka, menjadilah ia lebih khsyu, lebih arif, lebih tawadhu, lebih santun, lebih bijak, lebih disiplin, lebih sabar, lebih dermawan dan seterusnya. Tentu, yang paling akhir adalah lebih taqwa dari sebelumnya.