Aku Tahu Tuhan Sedang Mengujiku

Dua minggu sudah aku menjadi orang rumahan kembali. Hal ini terjadi terlepas sejak awal tahun—dan itu terjadi tahun 2009 ini. Sebuah tahun dimana aku ingin sekali semua segala impianku terlaksana. Tapi itu hanya tinggal asa yang tersisa sampai saat ini.

Itu semua terjadi lantaran tragedi—begitu aku menyembutnya. Hal itu membuat aku terus meratap dengan keadaanku seperti sekarang. Menjadi orang rumahan. Alias, pengangguran terselubung. Kenapa aku katakan seperti itu? Ya, karena aku tidak seperti kebanyakan pengangguran yang hanya berpaku tangan saja. Kalau aku ada saja yang dikerjakan. Entah, itu menulis lalu aku kirim ke media masa (ya hitung-hitung mencari pemasukan siapa tahu bisa jebol dan masuk di media massa. Baik itu mengikuti lomba atau yang biasa-biasa saja. Tapi itu kalau jebol. Kalau tidak jebol? Ya, aku hanya bisa pasrah dan ikhtiar saja) serta bertanya-tanya kepada kawan-kawan apakah ada lowongan kerja atu tidak. Pun itu aku harus menahan malu dan menerima dengan lapang dada bila ada jawaban yang tidak sesuai dengan harapanku.

Dahulu sebelum tragedi itu terjadi—yang menurutku itu ketika awal tahun ini atasanku—dimana tempat aku bekerja dulu. Aku menerima keputusan yang tak dapat aku terima. Atasanku memerintahkan diriku untuk me-risgn-kan diri di tempat kerjaku saat itu. Ya, dikarenakan keadaan perusahaan yang belum mendapatkan pemasukan lebih. Dan aku bekerja di tempat itu baru berjalan dua setengah bulan. Yang menurut masih sangat baru itu. Dan lagi-lagi aku hanya pasrah saa ketika keputusan itu ditujukan kepadaku. Ternyata aku sedang diuji olehNya.

Dan juga aku menulis ini pun harus merental lebih dulu lalu kukirim kemana saja. Agar aku bisa berbagi dengan yang lain. Entah apakah aku dapat keprihatinan dari yang membacanya atau tidak. Atau, sebaliknya mendapatkan cemoohan. Aku tak peduli dengan itu. Bagiku hanya satu hanya ingin berbagi. Itu saja! Aku lakukan agar rasa penat dan pikiranku yang labil ini bisa tersalurkan melalui tulisan. Maklum bagiku satu-satunya mediator yang tepat adalah menulis. Walaupun aku menulis tidak langsung menggunakan komputer apalagi laptop. Paling-paling aku hanya menyimpannya dulu di hape jadulku untuk bisa di-save lebih dulu. Kalau tidak ya di kertas buram yang sebisa aku lakukan.

Semua itu aku lakukan karena aku tak ingin ide-ide atau gagasan yang ada dibenak hilang begitu saja. Aku ingin mengikatnya dengan menulisnya sesuai perkataan Imam Syafe’i. Ide itu bagai hewan buruan (liar) untuk itu agar tidak lepas maka diikat. Itu yang sering aku ingat! Maklumlah kegiatan menulis bagiku sudah mendarahdaging di tubuhku. Walau pun aku tak seperti mereka (para penulis) yang begitu banyak dilimpahi fasilitas yang mencukupi. Sedangkan aku komputer pun tak punya. Apalagi laptop! Maka dari itu ketika aku harus ingin menulisnya aku hanya bisa mengandalkan dua benda tersebut: hape jadulku dan kertas buram. Lalu setelah itu aku merental ke tempat pengerentalan komputer. Itu pun bila aku memilki rezeki lebih lalu aku bisa merentalnya. Kalau kantong sakuku sedang tongpes. Alias, bokek, paling-paling jalan satu-satunya menunggu dan menunggu rezekiNya (dengan cara menunggu tulisanku dimuat. Menyedihkan ya?). Kalau tidak ya terpaksa aku hanya menyimpannya dengan cara di tulis memakai dua benda tersebut. Itulah yang selama ini aku lakukan! Sampai kapan Tuhan mengujiku?

Lagi-lagi Tuhan mengujiku kembali. Pun aku harus menerima itu lagi. Ya, orangtuaku (ibu)—yang single parent itu terus saja meratapi keadaanku. Kadang secara tak sengaja airmatanya mengalir hingga menjadi anak sungai di pipi keriputnya ketika aku lihat sedang menangisi keadaanku sekarang. Itu benar-benar membuat aku sangat terpukul. Bahkan mengutuk diriku bahwa aku sebagai anak tak berguna. Tak dapat membahagiakan orangtuanya. Itu yang kurasakan saat tragedi itu aku terima. Hempas sudah impian yang akan kubangun nanti di masa depanku. Entah apa yang dapat aku lakukan. Semua jalan (ikhtiar) sudah kulakukan tapi hasilnya sungguh membuat tambah menyiksa. Apalah artinya bagiku yang hanya mengantongi ijazah Diploma Satu kemana saja aku melamar pekerjaan yang aku temui hanya menerima diatas ijazahku itu. Apakah aku harus memaksa agar aku bisa terloloskan dalam melamar pekerjaan itu? Bagiku itu sama saja membuat perkara. Mencari mati!

Melihat keadaan seperti aku jadi bingung dan entah kemana lagi langkah gontaiku kuarahkan. Melihat keadaanku sekarang ini bukan membuatku semakin legowo menerima ujianNya ini malah membuatku terpuruk. Terlebih bila aku melihat orangtuaku (ibu) menangisi keadaanku. Apa yang harus kulakukan? Sebagai anak tak bisa membahagiakan orangtuanya. Tapi ini malah membuat dirinya nelangsa ketika melihat keadaanku sekarang ini. Kadang bila aku tak sanggup aku seri berkata sendiri dalam sujudku. ”Tuhan, apakah aku pantas menerima ujianMu itu…Kenapa aku yang Kau uji? Kenapa bukan mereka yang bergelimangan harta. Kenapa Tuhan? Kenapa Ya Rabbi?” Aku semakin tak kuasa bila aku mengingat hal itu. Dan hanya bisa menangis dan menangis. Lalu apa yang aku lakukan?

Akhirnya aku pun mengetahui hal itu semua. Dan benakku mulai bermain tak karuan. Hingga menghampiri hal—yang mungkin bagi sebagian orang mengatakan bahwa aku ini pantas disebut sebagai orang pecundang atau tak kuat menerima ujianNya. Lalu apa yang aku lakukan bila seandainya daa diposisiku? Aku terus mencercaau kepadaNya. Ya, walau aku sering melangkah ke tempat pengajian tapi apa yang aku dapatkan? Hanya nasehat dan nasehat tanpa memberi praktek langsung. Entahlah. Mungkin jalan terbaik untuk membuat aku tak pantas untuk hidup di dunia fana ini—yang terkadang aku berpikir dan bergumam,” enak kali ya loncat dari fly over,” pikirku menerawang jauh. Naudzumindzalik…

Namun aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Membalikan hati para umatNya yang mengetahui hal itu dan aku pun membuang jauh-jauh niatan itu. Andai itu kulakukan apa nanti kata dunia? Bisa-bisa aku menjadi headline di surat kabar Lampu Merah. Bahwa ada mantan penulis yang tak kuat menerima ujian Tuhan dan masuk di surat kabar. Biarlah semua aku jalani untuk menghadapi ujian-Nya nanti jika datang kembali. Dan ernyata Tuhan benar-benar masih mengujiku.*( fy)