Allah yang Bayar

Senin lalu saya diminta menyampaikan sebuah materi di depan sekitar 150 siswa perwakilan Sekolah Menengah Pertama (SMP) se Jakarta dalam acara Youth Camp yang diselenggarakan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan.

Kurang lebih satu jam saya memberikan materi dan setelah itu langsung pamit kepada panitia. Salah seorang panitia yang menghampiri saya wajahnya nampak canggung dan hanya berkata, “maaf pak…. Tidak ada yang mengantar bapak pulang…”. Saya mengerti betul, bahwa mereka pun tak memiliki anggaran untuk transport pembicara.

Saya hanya tersenyum ingin memberikan kesan “everything is ok” kepadanya. Langkah pun tergegas menuju Plaza Senayan, tempat saya berjanji bertemu dengan beberapa sahabat anggota SOL (School of Life).

Perjalanan dari Ragunan menuju Plaza Senayan hampir tak ada halangan kecuali di seratus meter menjelang kampus Mustopo, tiba-tiba saya terpelanting dari kuda tunggangan lantaran kurang konsentrasi akibat telepon seluler yang berdering. Satu hal yang tidak biasa saya lakukan jika sedang berkendara adalah menerima telepon masuk. Entah kenapa saat itu saya merasa harus mengangkat ponsel. Namun belum sempat ponsel terangkat, roda depan motor saya terlalu menepi sehingga menabrak batas jalan. Motor pun terpelanting, meski saya sempat melompat terlebih dulu. Tidak ada yang rusak terlalu parah, hanya besi di bagian bawah penyambung pijakan kaki belakang yang patah.

Ketika bertemu sahabat-sahabat di Din Tai Fung, Plaza Senayan, saya mengambil hikmah, “Seharusnya saya konsisten tak mengangkat telepon. Toh setelah sampai saya bisa menghubungi kembali si penelepon”.

Waktu menunjukkan pukul 20.10 WIB, kami pun bersiap pulang. Namun sebelumnya, dua sahabat saya ingin menitipkan sesuatu, “Maaf kami belum sempat menjenguk Raissa. Jadi kami titip saja buat Raissa ya”. Mereka memberikan hadiah untuk putri ketiga saya yang belum lama lahir. “Alhamdulillaah…” batin saya.

Sesampainya di rumah. Isteri saya menyambut dengan senyum yang tak biasa. Apa mungkin karena saya pun membuka pintu dengan seulas senyum yang lebih sumringah? Oh ternyata bukan. Belum sempat saya bercerita soal hadiah buat Raissa dari sahabat-sahabat saya, isteri terlebih dulu menyampaikan kabar gembira. “Ada titipan dari teman-teman Abi di Garudafood, buat Raissa”.

Maha Suci Allah yang terus memelihara semangat dalam keluarga kami, salah satunya semangat untuk berlomba memberi kabar baik di setiap hari seraya membicarakan secara hati-hati setiap kabar buruk yang dialami. Setiap ada kabar baik, kami selalu berusaha terlebih dulu menyampaikannya, sedangkan sekecil apapun kabar buruk, saya harus bertanya berulang-ulang dalam hati, “perlukah isteri tahu?”. Hmm, saya pun urung memberi tahu soal peritiwa motor terpelanting itu, agar tak menambah beban pikirannya.

Sebelum malam menutup hari, saya merenungi semua peristiwa sepanjang hari. Sebuah kalimat mengiringi hati bertemu mimpi, “Adakah bayaran terindah dari yang Allah berikan?” –Gaw, 2008-