Anak-Anakku Bukan Anakku

‘Alison, waktu cepat berlalu ya, aku hampir pulang ke Indonesia"

‘Tidak boleh’

‘Kenapa? Terus kapan aku boleh pulang?’

‘Tidak boleh ya tidak boleh, tahun 3008 baru boleh pulang!

Dan aku tertawa.

‘Tahun 3008 aku sudah jadi mummi"

‘Apa mummi?"

Kemudian aku jelaskan dengan penjelasan sesimpel mungkin, berusaha agar dia mudah menyerap dan memahami, meski aku harus mencampur aduk antara bahasa Kantonis dan Inggris, bahkan bahasa Indonesia, yang membuatnya malah terkekeh kekeh ga ngerti.

Alison 8 tahun, crystal 6 tahun, dan si kecil yang belum mempunyai nama Inggris 16 bulan, mereka adalah anak anak majikan yang kuasuh.Yang bila membicarakannya dengan orang lain, aku selalu menyebutnya anak-anakku, karena membandingkan usia mereka dengan usiaku, mereka memang pantas untuk menjadi anak-anakku.

Beginikah rasanya menjadi seorang ibu? Kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah sebelum waktunya.Irama kehidupan yang telah kunikmati tanpa kusadari.Tuntutan pekerjaan yang kemudian malah menghiasi kehidupanku, masuk ke dalam hatiku.Merawat, mendidik, membimbing, menegur, bermain, berbagi, dengan tempo emosi yang silih berganti..Bahkan terkadang apa yang kurasa terlalu membuncah, dan ketika tersadar, Astaghfirullah mereka bukan anak anak ku..

Hampir semua teman sekolah dan teman seprofesi dalam usia sepertiku yang telah berkepala 3 telah memiliki buah hati.Bagi mereka buah hatinyalah yang memberikan semangat dalam menghadapi kerasnya hidup, sebuah harapan yang abstrak, bisa diarahkan dan dibentuk, kemudian di taruh di tempat yang diinginkan.

Ada rasa iri yang terselip diam diam di hatiku ketika mereka dengan semangat menceritakan buah hati masing masing, kudapati nada bangga, cinta dan bahagia di setiap kata yang mengalir.Ada rasa tak terima ketika kudengar dan kulihat beberapa tunas kehidupan itu di perlakukan tidak semestinya, ingin segera kurengkuh melindungi dari tangan tangan yang berusaha melukai dan menodai mata beningnya.Ingin membuat binar binar bahagia selalu terpancar dari mata mereka dan tawa riang yang menghiasi hari hari mereka.

Belum pantaskah aku menerima amanahmu ya Allah, belum mampukah aku mengemban tanggung jawab mulia itu? Tanyaku di sela sela do’a setelah ibadah fardhu.Kerinduan ini terkadang begitu dalam dan sepi, bahkan sering terbawa di alam mimpi.

Jiwa jiwa lugu itu begitu dekat denganku, bila saja mereka milikku, bila saja mereka bagian dari diriku?Tapi tidak!Dan memang tidak harus milikku dan bagian dari diriku untuk mendidik mereka.Berbagi ilmu dan kasih sayang adalah wajib bagi setiap umat, tanpa memandang darah sendiri atau bukan, gratis atau dibayar, hanya berlandaskan keikhlasan yang akan dinilai oleh Allah.

Tak jarang di media elektro ataupun tulis, kubaca, kudengar, dan kulihat tunas tunas kehidupan itu diperlakukan tidak semestinya.Bila saja para pelaku itu sadar, betapa besar amanah yang telah diberikan oleh Allah, betapa beruntungnya mereka diberi kepercayaan dan tanggung jawab oleh Allah.Kenapa malah disia sia kan?Bila saja mereka tahu tak sedikit pasangan dan insan yang lain telah menempuh berbagai ikhtiar namun belum juga terkabul?

Ku percaya kelak kan tiba giliranku, untuk mengemban amanah itu.Tak kan lelah kusisipkan dalam do’aku.Tak kan menyerah dalam ikhtiarku untuk menemukan soulmate, dan memiliki tunas tunas kehidupan.Akan kutunjukkan pada Allah bahwa aku bisa dipercaya untuk mengemban semua itu.

Maka berpegang teguhlah dengan apa yang Aku berikan padamu, dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur. (QS. Al-A’raf : 44)