Anakku, Engkau Mau Kemana?

Sudah jamannya kali, bila anak mau lulusan, maka orang-tua akan sangat heboh melebihi sang anak. Kali ini kehebohan menimpaku, karena anak pertamaku akan menempuh ujian sekolah dan UASBN untuk kelulusannya dari sekolah dasar. Tak terasa anakku akan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP. Alhamdulillah, anakku telah remaja

Jauh-jauh hari, aku dan suami mencari informasi untuk sekolah yang akan dilanjutinya. Kami buka-buka internet untuk melihat pesantren mana yang kami inginkan. Bertanya ke orang-tua teman-temannya untuk mendapat info yang lebih akurat. Bila bertemu seseorang, dokternya ataupun ada telpon dari sanak saudara dan family, pastilah kami akan bertanya :”Pesantren mana yang bagus?” Heboh! Itulah kata yang paling cocok.

Pencarian yang heboh memang bermula dari kawan-kawannya, yang punya niatan untuk meneruskan ke pulau Jawa. Berbagai macam dalih dan alasan di kemukakan oleh orang-tua mereka. Tentu saja, kami sebagai orang-tua tidak mau ketinggalan.

Sementara kami heboh mencari tempat untuk jenjang pendidikan lanjutannya, ternyata berbanding terbalik dengan sang anak. Dia kelihatan anteng-anteng saja. Tidak kelihatan ada sinyal apapun pada dirinya, kemana dia akan meneruskan sekolahnya. Dia hanya fokus pada belajarnya. Aku sebenarnya merasa kasihan padanya, karena dia harus mendapatkan nilai yang sesuai standar Diknas.

Untuk masuk ke sekolah jenjang lebih tinggi, ternyata penerimaan siswanya jauh-jauh hari. Yah, jauh hari sebelum ujian akhir dilaksanakan. Bisa kebayang khan? Masa belum lulus, kami harus bisa menentukan kemana harus mendaftar. Untuk seleksi masuknya pun sebelum ujian. Bagaimana bisa terjadi? Kok bisa ya? Harus daftar ke sekolah yang diminati, padahal belum lulus! Jaman ini memang sedikit membingungkan,

Akhirnya, pada akhir bulan Mei 2009, kami pun mengikuti acara “Haflah Akhiru Sanah” tahun pembelajaran 2008/2009 yang di adakan oleh sekolah sang anak. Ternyata di sana diadakan juga semacam wisuda untuk kelulusan mereka. Nah, saat itu aku bingung lagi. Belum keluar hasil kelulusan dari Diknas, acara kelulusan sekolah sudah diadakan? Atau aku yang memang kurang informasi? Tapi secara logika, sekolah tidak boleh mengumumkan kelulusan siswanya sebelum ada pengumuman dari yang berwenang. Tapi…Ini kok begitu? Jadi bingung lagi rasanya.

Tapi kebingungan itu hanya selintasan waktu. Kami pun sebagai orang-tua tetap saja bersyukur dengan pengumuman hasil kelulusan putra pertama kami dengan hasil yang “memuaskan”. Ternyata kerja kerasnya selama ini, membuahkan hasil yang sangat bagus. Rasanya kerja keras kami untuk mendorongnya belajar giat, tidak sia-sia. Kami pun menghela napas dengan nikmat.: “Anakku telah lulus.”.

Setelah pengumuman itulah aku tersentak, kemana anakku akan meneruskan sekolahnya? Padahal sekolah-sekolah lain sudah mengumumkan hasil seleksi penerimaan murid untuk seleksi pertamanya. Aku ibunya, merasa sedih. Karena ternyata tak ada satu pun sekolah yang aku daftarkan. Padahal kata orang-tua murid lainnya. Kita harus punya cadangan untuk urusan sekolah anak, karena bila satunya tidak lulus maka akan ada alternative lainnya. Sementara teman karibnya sudah pada merasa aman, karena telah mendaftar di dua tempat.

Aku merasakan sebuah penyesalan atas keteledoranku ini. Bagaimana bila tak ada satu sekolah pun yang akan menerimanya? Padahal selama ini, kami tidak pernah secara bersungguh-sungguh menanyakan, apa yang diinginkannya. Kami hanya melihat sebuah sekolah dari kaca-mata kami, bukan dari keinginan sang anak.

Walau sedikit terlambat, maka aku pun menanyakan kepadanya : “Anakku, engkau mau kemana?” Maksudku menanyakan kemana dia mau melanjutkan sekolahnya. Tapi jawabannya ternyata : “Terserah mama saja!”:Dia menjawab dengan acuh tak acuh, Sepertinya pertanyaanku tidak menarik minatnya. Aku pun merasakan sebuah kekosongan, “kok begitu jawabnya?”

Mungkin karena dia pikir, mau kemana lagi? Karena kami selama ini mengabaikan angan-angannya untuk bersekolah dimana nantinya. Atau mungkin juga dia merasakan ; kami hanya sibuk memimpikan dirinya akan menjadi apa dia kelak. Hingga kami telah mengabaikan haknya sebagai anak, karena kami tidak pernah serius berbicara padanya, tentang apa yang dirajut dalam angannya, tentang sebuah cita-cita.
.
Sengata, 4 Juni 2009

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]