Jangan Ceritakan Itu!

Entah karena apa, tiba-tiba saya terbawa ke masa lalu. Memang tidak terlalu lama, hanya sekitar lima atau empat tahun yang lalu. Saya jadi teringat ucapan seseorang mantan preman yang telah bertaubat (kata orang-orang begitu). Ketika itu emosinya dalam kondisi yang memuncak. Ia baru saja bermasalah dengan seseorang, yang katanya, telah meneror istrinya, sehingga membuat istrinya sangat shock. Sebenarnya masalah itu hanya antara dia dengannya saja, akan tetapi entah karena apa, orang itu malah “meneror” istrinya. Ia berusaha mengejar “teroris” ini, untuk memberinya “pelajaran”. Sampailah ia di suatu masjid di kota Depok. Kebetulan saya dan teman sedang di situ.

Mengetahui ia mantan preman, bahkan “komandan” para preman di Jakarta Selatan, saya jadi kagum. Bukan kagum karena status preman yang dulu disandangnya, akan tetapi yang saya kagumi adalah bagaimana hidayah Allah bisa sampai kepada orang yang mungkin menurut pandangan kebanyakan orang sangat kecil kemungkinan menjadi “orang bener”. Bagaimana orang yang dulunya “gagah”, “selalu membusungkan dada”, tiba-tiba berubah menjadi orang yang “tunduk”, mau rendah hati terhadap sesama.

Ia ngobrol dengan teman saya, sedangkan saya mendengar obrolan mereka berdua dari jauh. Mereka berbicara tentang banyak hal, kadang diselingi dengan gurauan dan senda tawa. Sampai ketika pembicaraan menyinggung “teroris” yang telah mengganggu istrinya, dia jadi “berorasi” menyebutkan “dosa-dosa” “si teroris” ini. Dia berkata kepada teman saya bahwa ia bertekad untuk menghabisi si teroris ini. Teman saya memberinya nasehat agar bersabar dan tidak main hakim sendiri. Akan tetapi ia yang tadinya dalam posisi duduk langsung bangkit dan berkata dengan nada berapi-api, “Saya sudah bolak-balik penjara karena membunuh 3 orang, pokoknya saya pengen menemukannya (“si teroris” ) dalam keadaan sudah jadi bangkai! “. Mendengar ucapannya seperti itu, sontak saja teman saya dan saya juga tentunya, menjadi kaget. Kekaguman saya terhadapnya langsung hilang. Saya yang tadinya menaruh hormat kepadanya, jadi membencinya. Di pandangan saya, orang yang ada di hadapan saya ini adalah orang yang angkuh dan sombong.

Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya jadi membencinya. Apakah ini semata-mata perasaan saya saja atau memang sudah fitrah saya membenci orang yang “berlagak jagoan”. Apakah saya salah kalau membencinya, terutama terhadap sikap “angkuhnya”? Pertanyaan saya ini akhirnya terjawab dalam suatu ta’lim. Ketika itu seorang ustadz membacakan hadits nabi yang berbunyi: “Seluruh umatku akan diampuni, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan), sesungguhnya termasuk dari mujaharah (terang-terangan melakukan kemaksiatan) adalah ketika seorang melakukan kemaksiatan di malam hari, kemudian di pagi harinya, tatkala Allah telah menutupi dosanya, ia berkata (kepada orang lain), ‘Wahai fulan, aku melakukan (kemaksiatan) ini dan itu tadi malam. ‘ Dia tidur dalam keadaan telah ditutup aibnya oleh Rabbnya, akan tetapi di pagi harinya ia bongkar aib darinya yang telah Allah tutup. “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Subhanallah, alangkah agungnya hadits ini! Yang dimaksudkan dengan mujaharah di atas disebutkan dalam Bahjatunnazhirin Syarh Riyadhushshalihin karya Salim Al-Hilali yaitu orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan, yaitu yang membicarakan kemaksiatan yang pernah dilakukan untuk membangga-banggakannya.

Dan saya juga pernah dengar dari ustadz lain dalam suatu ta’lim ketika menjelaskan hadits ini, beliau berkata (kurang-lebih): “Ya Allah, seharusnya mereka (orang-orang yang bangga menyebutkan kemaksiatan yang pernah dilakukan itu) banyak menangis, karena orang-orang yang sudah melakukan kemaksiatan lalu mereka bertaubat saja, tak ada yang menjamin kalau dosa mereka otomatis diampuni, apalagi kalau sampai membicarakannya dan berbangga-bangga dengannya. “
Karena itu hati-hatilah. Yang pernah terjatuh dalam perbuatan dosa dan nista, cukup bertaubatlah dengan sebenar-benarnya kepada Allah dan tak usah dia menceritakan aibnya tersebut kepada siapa pun. Tak usah dia bercerita, “Saya dulu pernah menusuk orang. “ “Saya pernah berzina dengan wanita ini dan itu. “ Saya pernah menipu. “ “Saya pernah menonton film porno ini dan itu. “ “Saya pernah..pernah..dan pernah..”

Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan dosa baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan baik yang kita sadari maupun tidak. Amin..

Jakarta, 16 Dzulqa’dah 1431/23 Oktober 2010
anungumar.wordpress.com