Tak Hanya Lahiriah Semata

Apa yang ada di benak seorang ikhwan tatkala pandangannya tertuju pada seorang wanita yang berbalutkan pakaian ‘seadanya’ ? Dan bagaimana pula jika perhatiannya tertuju pada seorang akhwat yang berbalutkan pakaian syar’inya ? Tentu saja ada perbedaan antara keduanya.

Bagi seorang ikhwan (apalagi yang masih lajang), melihat wanita berpakaian serba ketat, tipis, dan transparan memang sangat ‘menggoda’, namun tetap, dalam hatinya (kalau memang masih normal) tersimpan rasa benci, risih dan jijik melihat pemandangan seperti itu.

Berbeda halnya tatkala menyaksikan seorang wanita yang memakai busana kehormatan dan kesucian yang menutup seluruh tubuhnya, tidak menampakkan lekuk tubuhnya, lebar dan longgar, ada nuansa kekaguman dan penghargaan terhadapnya atau perasaan lainnya yang entah bagaimana membahasakannya, singgah di hati dan kadang menguntum di dalamnya.

Namun, akankah kekaguman itu bertahan (seandainya) setelah menikah dengannya ? Pembahasan itulah yang saya perbincangkan beberapa waktu lalu dengan seorang ikhwan. Ia telah berkeluarga dan telah dikaruniai tiga orang anak dari pernikahannya dengan seorang akhwat sepengajian. "Kalau udah nikah sih biasa aja." Katanya, "Kalau sebelum nikah ya memang gitu, tapi kalau udah nikah sih nggak." "Makanya dalam rumah tangga hafalan Al-Quran (juga) nggak diperhatiin, gimana hafalannya? Berapa banyaknya? Yang dibutuhin tuh, bukan cuma ‘teori’, tapi prakteknya. Perhatian nggak sama dia (pasangan)? Perhatian nggak sama anak?" Katanya lagi.

Saya terhenyak sejenak mendengar kata-katanya. Kalau hafalan Al-Quran yang tentunya itu kelebihan dan kebaikan lahiriah bagi orang yang memilikinya-saja bisa tak ‘berguna’ dalam pernikahan, lantas bagaimana dengan kelebihan lahiriah lainnya? Bagaimana dengan kecantikan seorang istri dan ketampanan seorang suami, akankah berguna dalam mahligai pernikahan?

"Mahar sampe ratusan juta gitu? Memang sih enak dapat istri cantik kayak gitu, tapi kalau udah ‘dirasain’ sih, ya sama aja kayak perempuan lainnya (yang murah maharnya)." Demikian komentarnya tatkala mengetahui berita dari surat kabar tentang mahalnya mahar wanita-wanita Libanon, negeri ‘gudang’nya wanita-wanita tercantik sejagat alam. "Padahal kalau udah nikah (kecantikan) itu nggak terlalu diperhatiin. Yang diperhatiin tuh, gimana akhlaknya sehari-hari di rumah, gimana dia ngelayani suami." Tambahnya lagi.

Ucapannya mengingatkan saya pada nasehat seorang dosen tafsir sekitar setahun yang lalu ketika membahas hukum pernikahan dalam surat An-Nisa. Beliau berkata di kelas (dalam bahasa Arab, yang artinya kurang lebih), "Seharusnya memilih pasangan jangan karena lahiriahnya saja. (Bagi para akhwat) jangan memilih pasangan hidup semata-mata karena ia berjenggot dan (bagi para ikhwan) jangan memilih pasangan karena pertimbangan kecantikan belaka. Ingat sabda Nabi kita صلى الله عليه وسلم, “Wanita itu (biasanya) dinikahi karena empat perkara, ‘karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya kamu beruntung’."

Beliau melanjutkan, "Agama dan akhlak, itulah yang harus menjadi prioritas. Maka perhatikanlah bagaimana agama dan akhlaknya sehari-hari. Pertimbangan fisik memang penting dan dibutuhkan ketika memilih pasangan, tapi jangan jadikan itu yang terpenting. Utamakanlah yang memiliki din serta akhlak yang baik, karena kecantikan itu relatif. Cukupkanlah dengan memilih wanita yang sekedar bisa menyejukkan hati kalian ketika memandangnya (jika ia memang wanita yang baik/salehah). Sebab perlu kalian ketahui, tatkala seseorang menikah dengan seorang wanita, bila telah berlalu beberapa tahun, ia akan menganggap istrinya itu ‘biasa-biasa’ saja, secantik apapun dia, walaupun sangat cantik. Makanya, pilihlah pasangan yang memiliki din serta berakhlak baik yang bisa membantu kalian untuk taat kepada Allah, karena dialah yang kelak mendampingi kalian seumur hidup kalian."

Nasehatnya seakan masih hangat di kepala dan terngiang-ngiang di telinga. Saya renungkan nasehat itu dan saya tambahkan dengan perkataan ikhwan tadi, maka saya dapati kedua orang yang sudah mencecap pahit-manisnya kehidupan rumah tangga ini ternyata memberikan pelajaran yang cukup berharga.

Mereka berdua mengajarkan kepada siapapun yang ingin mencari sosok pendamping dalam bahtera pernikahan, mengarungi dengan selamat samudra kehidupan rumah tangga yang penuh dengan cobaan, bahwa:

Kecantikan dan ketampanan lahiriah seseorang ternyata tak bisa merekatkan dua hati yang terikat dalam ikatan suci selama tak disertai dengan budi pekerti.

Lebarnya jilbab dan lebatnya jenggot seseorang ternyata tidak cukup dan tak mungkin cukup sebagai bekal untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah, selama tidak dihiasi dengan kemuliaan adab serta keelokan akhlak.

Banyaknya hafalan Al-Quran seseorang, kefasihannya tatkala membaca kalam Allah tersebut, ternyata tak ‘berarti’ bagi keharmonisan suatu pernikahan, jika tak disertai dengan amal dari apa yang dibaca dan dihafalkannya.

Kelihaian seseorang menggetarkan hati pendengar di atas mimbar, menyentuh perasaan pembaca melalui tulisan: nasehat, tausiyah, wejangan penuh hikmah, ternyata tak akan sanggup menggetarkan dan menyentuh hati pasangannya, sampai ia mempraktekkan apa yang disampaikannya, di dalam rumahnya, di hadapan pasangannya!

Seluruh kelebihan lahiriah itu akan pupus di hati pasangan dan tak akan memberikan kontribusi berarti bagi kebahagiaan rumah tangga, bila tidak disertai dengan amal (praktek) dan tanpa ditunjang dengan akhlak yang mulia.

Lantas, akankah kita tetap menaruh ekspektasi besar terhadap calon pasangan karena lahiriahnya semata?

Maka, saatnya tunduk tengadah, apakah ia telah mengamalkan ilmu yang didapatkannya selama ini? Apakah ia telah menghiasi diri dengan ibadah dalam kehidupan sehari-hari? Senantiasa berbaktikah ia kepada orang tuanya? Selalu berakhlak baikkah ia tatkala bersama tetangga dan teman-temannya? Kalau memang ia telah memenuhi seluruh ‘tuntutan’ itu, maka kejarlah ia, kerahkan seluruh daya dan upayamu untuk ‘menangkapnya’, karena ia adalah ‘malaikat’ atau ‘bidadari’ yang selama ini kamu cari!

Jakarta, 26 Muharram 1432/1 Januari 2011

anungumar.wordpress.com