Apakah KitaTelah Jadi Pengikut Iblis?

Dahulu, ketika saya masih di pesantren, beberapa orang teman saya begitu mendapat tempat di hati para ustadz dan ustadzah. Walau ia tidak begitu pintar, gagah, cantik, berprestasi, dan luas pengetahuan tapi hal itu tidak mengurangi perhatian yang diberikan para ustadz dan ustadzah padanya.

Ada juga diantara teman-teman yang sering dimarahi dan terkesan agak dipersulit urusannya kalau ia minta izin, misalnya. Dan tidak mendapatkan peran penting dalam acara atau kepengurusan di organisasi. Mungkin sebagian kita yang pernah sekolah di pesantren pernah mengalami perlakuan itu.

Apa penyebabnya?
Saya perhatikan, diantara faktor mereka disayangi adalah, karena mereka selalu menjalankan disiplin yang ada. Mereka menghargai dan menghormati peraturan tersebut. Mereka sangat jarang melanggar. Sehingga nama mereka jarang terpanggil masuk mahkamah (pengadilan santri) dan dilaporkan pada ustadz. Walau mereka tidak begitu berprestasi dan tidak begitu pintar, namun mereka tetap mendapatkan tempat terhormat.

Adapun yang sering melanggar; sering terlambat kemesjid, cabut, merokok dan berhubungan dengan lawan jenis. Mereka dicap sebagai santri yang tidak patuh. Dan bahkan karena seringnya pelanggaran itu dilakukan, mereka dianggap pembangkang. Walau dari mereka ada yang pintar, ganteng, cantik, berprestasi dan luas pengetahuan.

Semua santri/wati tahu akan peraturan. Tahu bahwa terlambat kemesjid akan dihukum. Tahu kalau sering berbahasa daerah akan masuk mahkamah, tahu kalau merokok itu dilarang dan tahu kalau berhubungan dengan lawan jenis tidak dibolehkan.
Namun tetap masih ada yang melanggar. Satu kali, barangkali bisa dimaklumi karena belum terbiasa dengan peraturan atau tidak tahu, atau khilaf, dan lain sebagainya. Tapi kalau pelanggaran sering dilakukan seakan ada unsur kesengajaan dan mengabaikan peraturan itu.

Banyak dari kita (muslim) yang mengetahui bahwa shalat berjamaah di mesjid lebih afdhal dari shalat di rumah, membaca al-Quran berbuah pahala, berziarah melapangkan rezki, berpuasa, bermujahadah dalam menuntut ilmu, berdakwah dan shalat pada waktu malam mendapat pahala, dan berbuat kebaikan lainnya, namun berapa orangkah yang rajin mengamalkannya?

Dan banyak juga dari kita yang mengetahui bahwa melihat yang haram itu dilarang, mendengar yang haram itu dilarang, berbohong, berburuk sangka, mengghibah, mencuri dan menghina sesama muslim, berpacaran, tidak dibolehkan dalam agama, dan berbuat dosa dan maksiat lainnya, namun kenapa masih banyak yang melakukannya?

Sangat disayangkan yang melakukan itu mereka yang punya pengetahuan dan menyandang gelar pelajar agama. Kenapa ada yang patuh pada perintah Allah SWT dan kenapa ada yang melanggar sedang mereka mengetahui ?

Iblis telah diusir dari rahmat Allah SWT. Ia menjadi makhluk terkutuk dan kelak akan menjadi penghuni tetap di neraka. Iblis mengetahui akan kekuasaan Allah, bahwa Allah adalah Pencipta dan Maha Kuasa atas segala sesuatu dan kalau membangkang perintah Allah ia akan dihukum. Tapi rasa sombong yang menguasasi hatinya membuatnya enggan melaksanakan perintah Allah untuk sujud pada nabi Adam As. Tidak ada gunanya bagi iblis ilmunya tentang Allah, dan karena ketidakpatuhan pada Allah membuatnya terlaknat.

Karenanya dikatakan, celaka dan merugilah orang yang berilmu sampai ia mengamalkan ilmunya.

Orang yang tidak patuh pada kebenaran secara tidak langsung telah menjadi pengikut iblis. Ia telah dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga ia menolak untuk tunduk pada kebenaran. Kebenaran baginya adalah ‘ma qâlathu an-nafsu (segala apa yang dikatakan hawa nafsu). Dan ketika suatu hal tidak sesuai dengan kehendak nafsunya ia akan enggan dan berat untuk mengikuti.

Mereka yang sering melanggar perintah Allah SWT, di dunia mereka akan hidup dalam kesempitan, tidak pernah merasa tenang, selalu dalam kesulitan dan kelak di akhirat mereka akan dijauhkan dari rahmat Allah, akan dipersulit hisabnya, dan tidak ada tempat bagi manusia pelanggar kecuali neraka.

Sedangkan mereka yang selalu patuh, walau itu terasa berat bagi mereka, tapi mereka tetap sabar dan istiqamah. Kelak mereka akan mendapat tempat terhormat dan dimuliakan disisi Allah, dipermudah hisab mereka dan didekatkan pada Allah SWT, karena kepatuhan dan ketaatan mereka pada Allah.

Ilmu yang sesungguhnya, adalah yang membuat seseorang semakin mengenal Allah, dekat pada-Nya, patuh pada perintah-Nya dan takut untuk bermaksiat pada-Nya.

Ketika ia tahu bahwa shalat berjamaah di mesjid lebih utama, iapun dengan penuh semangat mengerjakannya. Ketika ia tahu bahwa berhubungan dengan lawan jenis (pacaran) dilarang, iapun dengan penuh semangat meninggalkannya. Dan ketika ia tahu berzina itu perbuatan yang haram, ia pun menjauhinya, dan lain sebagainya.

Adapun bila ilmu yang dimiliki, walau ia nya seluas samudera, tapi kalau tidak diamalkan dan orang tersebut tidak takut pada Allah, tidak patuh pada perintah-Nya, maka orang tersebut belumlah bisa dikatakan berilmu yang sebenarnya, dan bahkan ilmunya yang banyak tersebut akan bisa membuatnya celaka di akhirat kelak.

Kecerdasan intelektual dan luasnya ilmu yang dimiliki belumlah cukup membuat seseorang menjadi mulia di sisi Allah, tapi kecerdasan spiritual dan emosinal (al-malakatu `ala an-nafs) yang lebih banyak menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup. Anda mengetahui kebaikan (intelektual ), anda punya dorongan untuk melakukan (emosional ), anda kerjakan dengan sungguh-sungguh dan anda tujukan semuanya untuk meraih ridha Allah (spiritual ), begitulah yang semestinya.

Mari kita bertanya dengan penuh jujur pada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita merasa begitu berat dan enggan untuk patuh pada kebenaran? Bila ternyata itu benar, maka segeralah berbenah diri sebelum terlambat.
Semoga bisa menjadi renungan.

Salam dari Kairo,
[email protected]
Lagi ujian, mohon doa dari semua, moga sukses, terima kasih.