Asisten Pribadi

Tak terasa jam di tangan sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Bergegas saya turuni tangga stasiun Mabashi dengan tergesa-gesa. Beberapa tugas di tempatkerja yang semula ada di kepala secara otomomatis saya hapus, berganti dengan beberapa tugas rumah tangga. Urutan daftar pekerjaan rumah mulai melayang-layang di kepala. Belanja, cuci piring, masak makan malam, bersih-bersih dan beberapa tugas rutin lainnya yang siap menanti.

Seperti hari ini, sebelum menuju rumah, saya paksa kedua kaki untuk berlari menuju salah satu toko terdekat. Beberapa daftar belanjaan yang harus dibeli bertumpuk di kepala. Beras, gula, telur….

***

Tiga tahun menemani suami bertugas di negeri asing, saya mulai terbiasa dengan tugas-tugas rutin tersebut. Pekerjaan rumah tangga yang dulu di Indonesia biasa saya serahkan sepenuhnya pada asisten pribadi. Jika mulai `bete` dengan tugas-tugas tersebut, pikiran saya pasti akan berlari mengenang beberapa orang asisten pribadi yang telah datang dan pergi secara bergantian dengan memberi kenangan berupa kebaikan. Pahlawan tanpa piagam penghargaan yang telah berjasa begitu banyak bagi saya secara pribadi.

Asisten pribadi, begitulah saya lebih senang memanggil mereka dibandingkan dengan panggilan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) atau penata laksana rumah tangga (PLRT). Tugasnya memang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga, tapi jika ditelusuri lebih dalam tugas mereka tidak hanya sampai di situ saja. Bagi saya pekerjaannya sama seperti asisten pribadi-pegawai rumah tangga. Seorang tangan kanan yang dapat diandalkan saat saya sibuk dengan beberapa urusan pekerjaan di luar rumah.

Terkadang mereka berperan sebagai asisten pribadi saya dalam urusan logistik dapur. Dari tangannya yang kreatif, beberapa hidangan penggugah selera selalu siap terhidang di atas meja makan. Dari kegesitannya tumpukan piring kotor akan bersih dalam sekejap, tumpukan baju kotor dalam ember akan bersih terlipat rapi ketika saya kembali dari tempat kerja.

Terkadang mereka pun berperan sebagai asisten pribadi dalam hal `general affair` antar tetangga. Beberapa informasi penting sekitar warga lingkungan setempat akan mudah saya dapatkan jika bertanya padanya. Terutama jika bertanya mengenai harga barang yang di jual di warung-warung atau di pasar, mereka akan memberikan usulan di warung mana atau barang apa yang harganya sedang murah. Sesekali asisten pribadi ini pun berperan sebagai teman curhat yang baik. Ia menjadi pendengar setia untuk semua perkataan saya.

Coba perhatikan alasan kenapa mereka ingin bekerja. Sebagian besar alasannya pasti karena ingin meringankan biaya keluarga di kampung halaman. Mereka dengan sukarela, mengirimkan hasil keringat dan kerja kerasnya setiap bulan untuk keluarga yang sedang menunggu uluran tangan. Entah itu untuk tambahan biaya hidup, biaya sekolah anak-anak atau adik-adiknya, biaya berobat serta beberapa biaya keperluan lainnya yang tak pernah kita ketahui. Secara tidak langsung dari mereka, saya pun belajar mengenai jiwa sosial.

Rasanya, tidak pernah ada keluhan dari bibir mereka ketika upah yang telah dinanti-nanti selama kurang lebih 30 hari, harus dikirimkan pada keluarga di kampung. Mereka justru merasa bangga dan gembira dapat membantu keluarga di kampung dengan uang tersebut.

"Ada semacam kebahagiaan yang tak tergambarkan di sini, Bu."

Sambil menunjuk dada, begitu perkataan yang pernah saya dengar dari salah satu asisten pribadi tentang alasan jiwa sosialnya dalam membantu keluarga di kampung.

Menjalankan tugas rutin ibu rumah tangga all in tanpa bantuan asisten pribadi, semakin dapat saya merasakan begitu berjasa dan berharganya tenaga mereka. Saya pernah membaca bahwa salah satu organisasi di Singapura yang bernama Transient Workers Count Too (TWC2), telah memberikan sertifikat penghargaan kepada PRT atau PLRT asli Indonesia yang bernama Sajiem (50 tahun) asal Kranji, Ciputat, Jakarta sebagai ucapan terima kasih karena telah bekerja selama sepuluh tahun pada satu majikan. Ia dipandang telah ikut berjasa untuk kemajuan ekonomi keluarga dan ekonomi Singapura. Membaca berita tersebut membuat saya teranguk-angguk ikut menyetujui.

Memang, kadang kita lupa mereka pun sama, manusia yang perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan secara layak. Sudah sepantasnya kita menghargai jerih payah dan keinginannya untuk memberi bantuan pada kita mengerjakan tugas rumah tangga meski tanpa adanya limitasi pekerjaan, waktu kerja yang tidak jelas serta gaji yang kecil.

Kesalahan, kekhilafan dalam pekerjaan yang kadang dilakukan para asisten pribadi ini, tak lebih karena mereka pun sama seperti kita, mahluk ciptaan Allah swt. Bukankah tidak ada manusia yang luput dari kesalahan? Berlapang dada memafkan dan membimbingnya ke arah yang lebih baik merupakan hal yang terbaik. Mereka adalah salah satu amanah yang kelak akan kita pertanggungjawabkan di depan mahkamah Allah swt.

Atas semua jasa dan pengabdian para `asisten pribadi-pegawai rumah tangga` di manapun adanya, saya ucapkan terima kasih disertai penghargaan yang mendalam. Hanya Allah swt yang dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan tulus. Jazaakumullah khairan katsiran.

Sepenggal catatan, Aishliz et FLP-Jepang