Awas: Fitnah!

Saya tersentak kaget ketika terbangun dini hari dan menemukan sebuah sms nyangkut di Hp saya yang berbunyi:

Ya Allah…beritahukan pada orang yang bernama…(nama saya yang penulisannya salah), bahwa tidak baik bersikap seolah belum bersuami pada wanita yang telah bersuami. Apakah menurutnya itu baik? (tertulis nama lengkap seorang lelaki)

Dari nama pengirim yang tertera di inbox—karena memang nomornya sudah tersimpan dalam daftar kontak Hp saya, saya langsung bisa menebak dari siapa sms bernada ‘menuduh’ itu berasal. Tapi saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menebak-nebak tentang apa gerangan yang telah saya lakukan pada wanita itu, isteri dari laki-laki yang meng-sms-i saya seperti itu, sebelum saya membalasnya. Sungguh, saya tidak pernah menyangka akan mendapat sms yang membuat denyut jantung saya langsung bertambah begitu cepat dalam beberapa detik saja.

Reflek, otak saya memutar ulang memori yang telah lalu. Semua hal yang berhubungan dengan wanita yang suaminya barusan meng-sms-i saya itu.

Adalah benar, sekitar tiga bulan yang lalu—tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, ada seseorang yang tidak saya kenal yang miscall ke Hp saya saat waktu sahur tiba. Iseng, saya misscall balik ke nomor itu. Dan sepulang dari jamaah Shubuh di masjid, saya dapati sebuah sms masuk ke Hp saya dari nomer yang sama. Berisi permohonan maaf karena dia mengaku salah pencet ke nomer saya. Dan saya pun memaklumi kealfaanya itu. Mungkin nomer yang akan dihubunginya hanya berbeda satu angka saja dengan nomer saya, duga saya.

Tetapi ternyata sms pertama itu terus berlanjut dengan sms-sms berikutnya. Mulai dari sekadar say hello, tanya seputar masalah fiqih Ramadhan, aurat wanita dalam keadaan darurat—ia sudah pakai jilbab dan saat itu dia habis sakit dan dirawat di rumah sakit, dan… curhat seputar masalah pribadi. Hingga pada akhirnya, saya pun tidak hanya sekadar tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya, tetapi juga hal-hal pribadi tentang dirinya. Ia sudah menikah dan suaminya bekerja di pelayaran yang jarang sekali pulang, hanya saat kapalnya berlabuh saja. Ia mengaku, karena suaminya sibuk dengan pekerjaannya, awalnya ia curhat sama kakak laki-lakinya. Namun karena kakak lelakinya juga mulai sibuk, ia mencari orang lain untuk berbagi. Ia juga mengakui bahwa ia mengetahui nomer Hp saya dari teman akrabnya yang kebetulan mempunyai nomer saya. Dan—hal inilah yang di kemudian hari setelah saya renungkan dengan pikiran jernih saya sadari sebagai letak kesalahan saya sesungguhnya, saya pun membalas hampir semua sms darinya meskipun tanpa ada tendensi apa-apa; hanya sekadar untuk menghargainya.

Suatu hari di penghujung November 2005, sebuah sms darinya masuk ke Hp saya. Ia akan berangkat ke Surabaya untuk bertemu dengan suaminya yang kapalnya akan berlabuh di Tanjung Perak sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Setelah itu, ia masih sempat sms saya dua kali, awal Desember dan tepat tiga hari menjelang pergantian tahun. Saat itu ia menulis sedang berada di Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ikut berlayar dengan suaminya. Seperti biasa, saya pun membalas smsnya. Saya masih ingat, saya hanya mengetikkan kalimat, “Met melihat tanda-tanda kebesaran Allah di belahan bumi-Nya, ” setelah menjawab pertanyaan say hello-nya. Dan terakhir kali saya mendapat sms darinya berupa ucapan selamat Hari Raya ‘Idul Adlha yang kemudian hanya saya balas dengan kata, “Aamiin.” Hingga akhirnya sampailah sms yang melonjakkan denyut jantung saya dua kali lipat dalam sekejap itu.

Setelah membaca kembali beberapa kali sms dari suaminya dan berusaha menenangkan pikiran, saya pun membalas sms itu. Saya mengucapkan terima kasih atas smsnya yang—bagaimana pun, telah mengingatkan saya. Saya juga mengklarifikasi ‘tuduhan’-nya dengan menjelaskan apa adanya. Bahwa sejak pertengahan Ramadhan isterinya sms saya dan di antaranya bertanya tentang hukum shalat tarawih, i’tikaf, dan aurat wanita dalam keadaan darurat, yang saya jawab dengan posisi: balligh ‘annii walau aayah (sampaikan dariku walau hanya satu ayat); tidak lebih.

Beberapa jam kemudian, kembali Hp saya berdering, sebuah sms masuk. Sebuah balasan dari nomer yang sama. Tapi kali ini isi pesannya berbeda dari yang sebelumnya. Si suami meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Ia menulis:

Saya yang salah karena sebagai suami mungkin selama ini jarang memperhatikan isteri karena pekerjaan. Maaf beribu-ribu maaf karena telah salah paham. Sudikah kiranya Saudara memaafkan saya….

Alhamdulillah, masalah ini sudah tuntas. Namun ada satu hal yang sangat membekas pada diri saya. Ya, di waktu yang akan datang saya harus lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain; siapa pun dia. Karena saya yakin, tak akan ada api jika tidak ada yang menyulutnya. Tak akan timbul masalah jika tak ada yang memulainya. Dan itu bisa saja berawal dari sekadar mengirim sms kepada orang yang bahkan sangat kita kenal. Hati-hati.

#

Karang Kandri, 03 Pebruari 2006 @ 00:26:27 a.m.
God, it’s so special 4 me! Hope U give me chance 2 introspection myself…