Yang Terjatuh, Genggamlah Jemari Mereka

raih tangannyaIni adalah kesekian kalinya, ia menelepon dan mendiskusikan masalahnya. Satu jam lebih bukan waktu yang lama membicarakan akan kondisinya yang sekarang. Keadaannya saat ini yang ‘terjatuh’ dan lumayan parah. Dalam kacamata syariat, kita lebih sering menyebutnya FUTUR. Satu yang selalu ia tekankan dalam pembicaraannya, bahwa apa yang dilakukannya saat ini adalah langkah yang keliru memang. Sadar betul ia. Memang pantas, katanya, kalau banyak yang protes, kenapa saya sampai separah ini. Tapi cukupkah sebatas pertanyaan semacam itu saja, nadanya serius. Mencela, bukan solusi atas apa yang saya hadapi. Saya butuh motivasi untuk kembali bangun, tidak sekadar judgment, katanya meyakinkan. Saya mencela diri saya sendiri, itu sudah cukup membuat diri saya tersiksa, lanjutnya lirih.

Satu hal yang sebenarnya wajar tapi kadang berlebihan, ketika menyaksikan di antara ikhwan atau ukhti kita yang FUTUR, adalah ketidakmampuan untuk tetap mempertahankan kebaiksangkaan kita atas keadaannya yang memprihatinkan itu. Meninggalkan mereka dengan keadaannya yang semakin (men)jauh dari Allah. Bahkan kadang, untuk menyalami mereka pun, lidah kita terasa begitu berat. Kita seakan lupa, bahwa ia bukan malaikat yang tak pernah bermaksiat kepada Allah. Tapi mereka yang futur terlalu berlebihan dalam perubahannya! Betul. Tapi satu hal juga yang tak boleh kita lupa, bahwa dakwah kita bukan hanya untuk mereka yang awam. Dakwah kita untuk semua. Termasuk ikhwan atau ukhti kita yang futur itu.

“Serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang hasanah (baik), dan bantahlah mereka dengan cara yang ahsan (paling baik)…” (QS. An-Nahl [16] : 125)

­­

Dakwah Salaf Yang Penuh Berkah

Ketahuilah, ketika hati telah tersentuh dakwah salaf yang agung ini, maka sungguh ia tidak akan mudah tercerabut dari dalam dada. Walillaahil hamdu wal minnah. Hatta saudara kita yang futur pun, akan selalu rindu untuk kembali menapaki jalan ini. Demi Allah. Jangan pernah mengira, mereka yang futur bergembira dalam gelimang dosanya. Teriris hati mereka, menjerit jiwanya, pilu di kedalaman kalbunya. Kalau begitu, kenapa tak kembali ke jalan Allah? Untuk kita tahu, bahwa kita dikaruniai kemampuan berbeda untuk bisa bangkit dari ‘keterjatuhan’ itu. Ada yang mampu kembali berdiri dengan sendirinya, tapi juga tak sedikit yang butuh tuntunan. Bahkan yang terakhir inilah yang paling banyak. Ia butuh perhatian yang lebih. Jika saudara awam, demikian besar perhatian kita pada mereka agar Allah memberinya hidayah, maka pahamilah, bahwa saudara kita yang futur, butuh perhatian yang lebih besar lagi. Mempertahankan apa yang ada, bukankah memang lebih berat dari mendapatkan apa yang belum dimiliki? Dan tentunya balasannya di sisi Allah–jika keikhlasan terus menghiasi hati–juga lebih besar.

“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan sebab dirimu, itu jauh lebih baik bagimu daripada unta merah (perumpamaan bagi harta yang paling baik).“ (HR. Muttafaq ‘Alaihi)

Mereka Butuh Dukungan, Bukan Celaan

Tak sedikit di antara kita yang meragukan keikhlasan niat saudara kita yang futur, ketika awal menuntut ilmu. Bahkan kadang kecurigaan kita yang berlebihan kepada mereka, hingga berada di titik yang sulit dinalar; mereka belajar agama bukan karena Allah. Padahal Rasulullah sendiri mengajarkan etika yang begitu agung berkenaan dengan keadaan saudara kita. Husnudzdzan. Iya, berbaik sangka.

Karenanya, tak pantas jika lisan kita begitu mudah mengatakan “sepertinya ia tak ikhlas menuntut ilmu,” atau kata-kata semacam itu. Ungkapan seperti itu, takkan pernah mengembalikan mereka ke pangkuan Islam, bahkan semakin menambah kejauhan itu. Ungkapan seperti itu, justru semakin menghalangi mereka untuk kembali merasakan nikmatnya Islam, sebagaimana yang kita rasa selama ini. Ungkapan seperti itu, sama sekali tak menggugah hati mereka untuk kembali menapaki jalan dakwah ini.

Maa ‘alimnaa ‘alaihi illaa khairan. Tidak ada yang aku ketahui darinya melainkan kebaikan. Kata-kata inilah yang diucapkan sahabat yang mulia, Mu’adz bin Jabal Radhiyallaahu ‘anhu, ketika sebagian sahabat yang lain justru berburuk sangka kepada Ka’ab bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, sahabat yang tertinggal di perang Tabuk.

Seperti itulah yang dibutuhkan oleh mereka yang futur itu. Mereka butuh dorongan. Motivasi yang mampu menumbuhkan kembali semangat berIslam itu. Dan siapa lagi yang bisa membantunya menemukan semangat yang sempat hilang itu kalau bukan kita?

Namun, jika kita pun justru tak mau membantu menemukan apa yang sempat hilang dari diri mereka, lalu kepada siapa lagi ia mesti berkisah? Kisah tentang cinta yang terpaut kepada Allah, tapi tak tahu kepada siapa lidah ini bertanya. Kisah dari sepotong hati yang memendam rindu untuk kembali ke jalan Rabbnya, namun tak tahu mesti ke mana kaki melangkah. Semoga hati kita tak letih untuk terus belajar dari kehidupan pendahulu kita yang saleh. Maka bercerminlah di telaga cinta para salaf.

“Sebaik-baik manusia, adalah pada masaku. Kemudian (generasi) setelahnya, lalu (generasi) setelahnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaihi).

Buat Saudara Kita Yang Futur

Sisa-sisa nafas yang tak tahu kapan dan di mana ia berhenti hembusannya, pahamilah bahwa itu karunia sekaligus bukti bahwa Allah sungguh Rahmaan lagi Rahiim kepada kita. Kesempatan, selalu saja Allah berikan kepada kita. Karenanya, tak ada alasan untuk tidak memanfaatkannya.

“Kecuali yang bertaubat, beriman, dan yang melakukan amalan kebajikan. Merekalah semua, orang yang keburukan-keburukannya (terdahulu) digantikan Allah dengan kebaikan-kebaikan. Dan adalah Allah, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqaan [25] : 70)

Adalah ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallaahu ‘anhu. Beliaulah yang mengisahkan kembali akan nasehat Rasulullah suatu ketika. Nasehat yang demikian menyentuh. Nasehat yang wajilat minhal quluub wa dzarafat minhal ‘uyuun, kata beliau. Nasehat yang menggetarkan hati dan menitikkan air mata. Uushiikum bitaqwallaah, beliau menirukan penggalan nasehat Rasulullah Al-Amiin tersebut. Ringkas, namun memiliki kandungan yang demikian dalam dan agung. Wasiatku kepada kalian, agar kalian bertakwa kepada Allah, kata Rasulullah.

Demikianlah. Wasiat yang lahir dari jiwa yang teramat cinta dan sayangnya kepada umatnya. Cinta itu begitu terasa ketika suatu kali beliau bercerita.

“Perumpamaan diriku dan kalian, ibarat seorang laki-laki yang menyalakan api, lalu mulailah laron dan serangga-serangga mengerumuni api tersebut. Sementara itu, laki-laki tersebut mencegat laron dan serangga-serangga itu, jangan sampai tercebur ke dalam api. Saya akan selalu menarik kalian dari belakang, jangan sampai kalian tercebur ke dalam api neraka. Akan tetapi di antara kalian (ada) yang memberontak ingin lepas dari tanganku.” (HR. Imam Muslim)

Semoga saja kita termasuk hamba yang mau membalas cinta beliau alaihi ash-shalaatu wa as-salaam.

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, dan terhadap orang-orang beriman, amat belas kasihan lagi penyayang.” (QS. At-Taubah [9] : 128)

Renungan Buat Kita Semua

Satu yang saya ingatkan buat diri saya dan kita semua. Bahwa kita yang istiqamah hari ini, tidak ada jaminan besok kita terbangun masih dalam keadaan yang sama; tetap dalam keimanan.

“Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu ucapan dalam Islam, yang aku sudah tak bertanya lagi kepada orang selainmu.” Rasulullah pun bersabda, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian istiqamahlah.” (HR. Imam Muslim)

Sehingga, saling mendoakan di atas keistiqamahan adalah harapan setiap kita. Semoga selalu ada. Dan jangan lupakan ikhwan-akhwat kita yang futur, dalam penggalan doa kita. Doakan keistiqamahan kepada mereka. Bagaimana pun mereka manusia biasa. Sekali lagi, terlalu naif jika kesalahan sepenuhnya dibebankan kepada mereka. Demi Allah, terlalu naif. Mereka manusia biasa. Mereka butuh banyak doa dari kita. Semoga doa-doa kita menjadi sebab, Allah kembali memasukkan hidayah-Nya ke dalam hati mereka, yang selama ini ‘pergi’ entah ke mana. Man yahdihillaahu falaa mudhilla lahu.

Siapa yang diberikan hidayah oleh Allah, maka tak ada yang mampu menyesatkannya.

Dan pula, kita yang tetap istiqamah, setidaknya hingga kini, terlalu banyak penghalang, rintangan, dan tantangan yang berada di depan; di sepanjang jalan kehidupan kita. Selain terus menjaga kesuburan iman, pun kita tetap butuh kawan seiring. Tanpa mereka, mungkin banyak jalan bercabang yang kelihatan lurus. Sehingga kehadiran mereka, teman yang saleh itu, semoga saja selalu menjadi pengingat di sela-sela kelalaian, menjadi penegur di celah-celah kekhilafan. Menjadi penuntun: mana jalan yang lurus, dan mana jalan yang sebenarnya berkelok. Tentu, penuntun yang bertutur santun, yang selamanya berbicara dalam ketulusan dan keikhlasan.

Terakhir, semoga saja Allah selalu mengaruniai kearifan dalam setiap langkah kita mengarungi jalan kehidupan yang terjal ini.

Waffaqanallaahu wa iyyaakum limaa fii ridhaahu.

Ciputat,

Markaz Pribadi Mutiara Aisyah