Baca, bagi yang mau jadi Abbi dan Ummi

Anak itu emas! Eits, ini bukan nama merk makanan ringan “Anak Mas” (yang rasa keju enak! Oops!), penulis hanya sekedar ingin menggambarkan bahwa anak bagaikan emas. Sebagaimana emas yang kita punya, pastinya akan selalu dijaga: dilirik keberadaannya (apa masih ada ditempat atau sudah hilang berikut salah satu anggota tubuh kita! Lho?), digosok-gosokan ke baju kita agar tetap mengkilat (tentu, tidak ada Jin Tomang di dalamnya) atau sekedar memberikan senyum padanya (yang ini khusus bagi emas hasil pemberian sang kekasih). Semua perlakuan itu wajar (yang tidak wajar adalah ketika kita agresif minta kenalan sama si emas, apalagi kalo si emas-nya ganteng! Hehe). Maka, tak heran jika banyak orang yang menyukai anak, layaknya emas. Bedanya, anak bukan barang dagangan!

Yang menjadi main point pada analogi ini adalah bahwa anak perlu dijaga! Sebentar! dijaga di sini bukan berarti setiap hari kita musti pakai baju satpam, bawa pentungan, dan berdiri tegap dibelakang si anak (yang ada si anak malah jadi takut!). Maksud dijaga bukan pula hanya sekedar selalu diberikan penjagaan agar anak tidak pergi atau melakukan sesuatu sembarangan, tidak terjatuh, tidak terluka, tidak dijahati, dan lain-lain. Tidak cukup sampai disana karena yang kita jaga disini bukan hewan peliharaan yang cukup dengan memberikan dia makan, minum, dan sedikit bermain. Menjaga anak lebih dari sekedar itu! Mengapa? Karena anak adalah makhluk hidup yang memiliki akal dan perasaan, maka dalam memperlakukan anak, lebih dari sekedar menjaganya dalam arti sempit, tapi ada hal yang lebih penting untuk kita artikan secara luas makna penjagaan ini: pembentukan!

Pembentukan, dalam hal mendidik anak, melingkupi tiga hal: pembentukan jasadiyah, pembentukan fikriyah, dan pembentukan ruhiyah. Pebentukan jasadiyah, misalnya, dilakukan dengan memberikan makanan yang seimbang, bergizi, berolah raga, dan lain sebagainya yang output-nya adalah, secara biologis, anak menjadi sehat. Pembentukan fikriyah, misalnya, dengan melakukan diskusi dengan anak, mengajarkan anak membaca dan menulis, membacakan cerita kepada anak, dan lain sebagainya yang outputnya adalah perkembangan otak anak menjadi maksimal. Yang terakhir adalah pembentukan ruhiyah. Pembentukan ruhiyah di sini tidak hanya pembentukan moral anak, lebih dari itu, pembentukan ruhiyah adalah pembentukan kepribadian si anak (dalam Islam adalah pembentukan kepribadian yang muslim).

Pembentukan kepribadian anak tentulah bukan hal yang mudah, apalagi orang tua seakan harus bertarung dengan perkembangan life style jaman sekarang yang memasuki pemikiran anak melalui teman-temannya, film, bacaan, dan lain sebagainya. Maka diperlukan apa yang namanya strategi! Bagaimanakah itu? Saya mungkin tidak bisa memberikan tips n’ trik yang detail yah tentang bagaimana membentuk kepribadian anak (coz belom boleh punya anak, belum nikah bo! Hehe), tapi insya Allah hadist di bawah ini bisa membantu kita (para calon ummi dan abbi) untuk merangkai strategi gimana caranya agar anak kita (nanti) bisa melanjutkan harapan-harapan kita, khususnya tentang harapan berlanjutnya episode ‘BACK to ISLAM’.

Hadits yang dijadikan dasar adalah hadits yang berasal dari Al-‘Allamah al-Majlisi dalam Tambihul Bihar. Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut.

”Rasulullah SAW bersabda : Anak adalah majikan selama tujuh tahun, hamba selama tujuh tahun berikutnya, dan menjadi menteri selama tujuh tahun berikutnya. Bila pada usia 21 tahun menunjukkan sifat yang baik, maka ia adalah anak yang baik. Kalau tidak, tinggalkanlah ia, karena berarti kamu telah melemparkan tanggung jawabmu kepada Allah.”

Dengan kata lain, ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan dalam hal pendidikan terhadap anak-anak. Ketiga tahapan tersebut adalah: (1) Tahap usia 0 – 7 tahun yang disebut dengan tahap “Majikan”; (2) Tahap usia 7 – 14 tahun yang disebut dengan tahap “Hamba”. (3) Tahap usia 14 – 21 tahun yang disebut dengan tahap “Menteri/wazir”.

Eits, hadist ini memakai bahasa kiasa, jadi jangan mengartikan dengan makna sesungguhnya. Jadi gini, pada usia 0-7 tahun anggaplah anak kita (nanti) sebagai ’majikan’. Pernah jadi pembantu nggak? Hehe! Atau pernah punya pembantu/khadimat? Tentu sebagai ’majikan’ kita maunya mendapat ’pelayanan’ yang membuat kita bahagia dan puas kan? Nah, begitu pula anak pada usia ini. Sebagai orang tua, anggaplah mereka ’majikan’ kita yang musti kita bahagiakan, senangkan, manjakan, layani, dan lain-lain yang membuatnya tersenyum. Namun bukan berari kita memberikan segala yang diinginkan anak ya! Nah, ini nih yang musti diperhatikan, pada tahap ini, anak berada masa masa golden age dimana apa yang dia lihat, dengar, rasa dan persepsikan akan dia serap mentah-mentah, maka pada masa inilah peran orang tua dan saudara-saudaranya sebagai tauladan yang baik sangaaaaat penting. Pada masa ini pula, orang tua mulai dapat menanamkan nilai-nilai yang perlu ditanamkan, termasuk nilai-nilai Islam. Ingat, di usia 0-7 tahun ini anak adalah ’majikan’, maka dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak perlu memakai strategi bermain agar anak tetap merasa happy!

Lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu usia 7-14 tahun dimana anak akan kita anggap sebagai hamba. Eits, jangan berpikir bahwa ’hamba’ disini berarti budak. Bukan, bukan itu maksudnya! Gini nih, dalam tahap ini, proses penanaman nilai sudah mulai diperketat penerapannya. Artinya, sudah ada unsur kedisiplinan. Misalnya, anak dibatasi waktu bermainnya atau waktu menonton TV-nya. Dengan kata lain, tahap ini menitikberatkan pada ’amal’ dari nilai-nilai yang sudah anak dapat sebelumnya.

Trus kalau tahap usia 14-21 tahun bagaimana? Nah, ini nih yang sulit! Kenapa? Karena anak sudah mulai memasuki masa remaja akhir, sudah gede-lah! Maka sebagai orang tua (nanti), kita sudah boleh mengajak anak-anak kita untuk ikut berdiskusi tentang suatu hal, misalnya tentang pembagian tugas di rumah atau masalah pembagian keuangan (sedikit-sedikit). Artinya, hubungan antara orang tua dan anak adalah hubungan kemitraan dan dialogis. Insya Allah, dengan melakukan ini, anak akan merasa dihargai diri dan pikirannya. Romantislah hubungan antara keduanya (orang tua – anak).

Nah, teman-teman, para calon ayah dan calon ibu, dari hadits dan keterangannya yang sudah dijabarkan di atas, semoga bisa membantu bagi kita untuk mengatur strategi bagaimana agar anak-anak kita kelak menjadi generasi yang Rabbani. Eits, tunggu! Ini juga berarti bahwa persiapan bagi kita pun musti lebih dahsyat lagi. ”Jika ingin membentuk seseorang, bentuklah diri kita dulu”. Semangat yah! Ayo kita sama-sama jadi orang tua-orang tua itu! Uhuy!!

Jakarta, 3 Agustus 2009

Ang, http://keanggian.wordpress.com