Harga Mahal Sebuah Pilihan

Jam satu siang.

Jum’atan baru saja usai. Segelas jus guava dan buku "Nights in Rodanthe" karya Nicholas Spark –masih dalam bungkus plastik– di tangan. Teman duduk perjalanan pulang ini.

Jakarta seperti terbakar di tiap sudutnya siang itu. Saya harus mengejar pesawat jam tiga sore lewat seperempat take-off dari Soekarno-Hatta. Dua jam dari kawasan Kuningan ke bandara internasional itu sekarang terasa telah membuat terburu. Tak lagi cukup satu jam seperti dulu. Ibarat penyakit, kemacetan Jakarta sudah naik ke stadium yang lebih akut dan celakanya nyaris tanpa terapi.

Setelah agak susah mendapatkan taksi kosong, akhirnya saya mendapatkan sebuah Blue Bird. Taksi langganan. Saya membuka pintu, menaruh tas di jok belakang, duduk, lalu menyebut tujuan. Anak muda, sopir taksi itu, mengangguk sopan. Rasuna Said, Casablanca, dan Sudirman tampak mulai macet. Maklum, hari Jumat. Hari orang-orang pulang kampung, meninggalkan pikuk Jakarta untuk sementara, seperti saya.

Sepanjang perjalanan ke bandara kami terdiam. Saya menekuri tulisan Spark yang mengasyikkan itu, tentang Adrienne, seorang yang tak lagi muda (45 tahun), namun ia terpaksa harus jatuh cinta lagi setelah seluruh luka yang telah dideritanya. Saya melirik dashboard. Membaca sepotong nama di sana. S. Novianto. Singkatan nama depan biasanya mengisyaratkan bahwa nama itu sudah populer. Misalnya: M. Yasin. Kita langsung tahu, M itu singkatan nama Nabi yang mulia itu. Muhammad. A. Muhlison. A itu kemungkinan besar singkatan dari Ahmad. Tetapi S? Superman?

Saya ketawa sendiri. Tetapi, apalah arti sebuah nama? Apalagi nama seorang sopir taksi yang mungkin hanya akan sekali saja saya jumpai dari ribuan taksi di Jakarta ini. Setelah itu, saya tak akan berjumpa dengannya lagi. Saya lalu membenamkan wajah ke buku Spark lagi.

Ketika melewati gerbang tol terakhir Wiyoto Wiyono, tiba-tiba anak muda itu memperlambat taksinya. Kiranya sebuah SMS masuk ke telepon selulernya. Ia meraih ponsel itu dan melirik layarnya sesaat. Lalu menoleh pada saya di jok belakang.

"Boleh saya baca SMS, Pak?" tanyanya sungguh.

"Oh, silakan, Mas!" kata saya padanya. Mungkin SMS penting dari keluarganya di rumah.

Ia lalu mengambil jalur paling kiri dan memperlambat laju kendaraannya. Saya masih terpaku pada Spark (Badai buruk tengah menyelimuti pantai Rodanthe, dimana Adrienne bertemu Paul, yang padanya cinta Adreinne bersemi kembali).

Tiba-tiba anak muda itu menoleh pada saya. Air mukanya tampak keruh. Senyumnya berat.

"Ibu saya meninggal," katanya lirih. Saya lihat bingung di matanya. Juga pelupuk yang basah.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

"Di mana rumah Ibu Anda, Mas?" tanya saya, berusaha menunjukkan empati.

"Di Bandung, Pak," katanya singkat.

"Oh. Jauh juga, ya?" sergah saya. "Kalau gitu, saya turun di sini saja, Mas. Biarlah saya jalan kaki saja. Sudah dekat, kan? Biar Anda bisa langsung ke Bandung."

"Tidak, Pak!" sahutnya seketika. "Saya antar Bapak sampai ke tempat. Sudah tugas saya."

"Tapi, Anda kan harus segera pulang?" tanya saya. "Ndak papa. Saya bisa jalan kaki. Masih cukup kok waktunya."

"Tidak, Pak. Saya antar Bapak."

Saya tak bisa memaksa. Tetapi, kebimbangan memang terdengar dalam nada suaranya.

Seperti tahu perasaan saya, anak muda itu lalu berkata, "Saya sebenarnya bimbang mau pulang, Pak."

"Memang kenapa?"

"Saya dan ibu berbeda keyakinan."

"Oh, ya?"

"Ya. Saya baru saja muallaf. Masuk Islam."

"Keluarga Mas gimana?"

"Ibu nashrani. Juga kakak-kakak saya."

Saya mengangguk-angguk. Saya bisa membayangkan situasinya. Pasti berat buat anak muda ini. "Pasti berat ya ketika memutuskan untuk muallaf itu?"

"Berat sekali, Pak," katanya mengiyakan. "Begitu saya muallaf, seluruh fasilitas saya ditarik. Semuanya. Tinggal pakaian yang melekat di badan."

Saya lihat ia dalam isak yang ia coba tahan. "Setelah pilihan itu saya ambil, saya tidur di mana saja," ia lalu mengenang. "Di emper masjid, numpang di rumah teman, di rumah orang. Saya juga kerja apa saja. Pembantu rumah tangga. Kuli. Office boy. Jaga masjid. Sekedar untuk bertahan. Hingga suatu saat ada orang yang berbaik hati pada saya. Diusahakannya saya SIM. Lalu didaftarkan menjadi pengemudi taksi Blue Bird ini. Belum ada enam bulan."

"Lalu, apakah Anda tidak akan pulang untuk menghormati ibu?" tanya saya ingin tahu. "Bagaimanapun beliau masih ibu Anda."

"Itulah, Pak," katanya lirih. Saya lihat ia begitu sedih, meski berusaha disembunyikannya. "Saudara-saudara saya menganggap sakitnya ibu saya, hingga meninggalnya beliau, adalah karena saya. Karena pilihan saya menjadi muallaf. Begitulah SMS yang baru saja saya terima."

Saya bisa membayangkan bagaimana menjadi seseorang pada posisi dirinya. Saya salut pada keteguhannya untuk bertahan untuk menanggung konsekuensi pilihannya.

"Mas, ajal seseorang itu tidak bisa dihubung-hubungkan dengan kesalahan orang lain," kata saya kemudian berusaha menentramkan dirinya. "Ajal itu datang dari Allah. Hanya Dia yang tahu bagaimana caranya."

"Saya mengerti, Pak."

"Lalu, apa rencana Anda?"

"Saya belum tahu, Pak."

"Menurut saya, sebaiknya Anda pulang. Bagaimanapun, beliau adalah ibu Anda, apapun keyakinannya."

Ia tak menyahut. Tapi saya yakin ia setuju.

"Anda sudah menikah?" tanya saya, agak basa-basi.

"Belum, Pak. Begitu saya masuk Islam, dia memutuskan hubungan dengan saya."

"Oh. Nggak apa-apa. Insya Allah, Anda akan mendapatkan ganti yang lebih baik."

"Insya Allah, Pak."

Taksi pun membelok ke terminal 1. Menyusuri koridor jalan khusus taksi dan kendaraan umum lainnya, sampailah kami di depan terminal 1C. Pesawat Citilink Garuda saya menempati terminal yang sedang direnovasi besar-besaran ini.

Sebelum membayar, saya menanyainya. "Apa yang bisa saya bantu, Mas?" Setidaknya jika ia memerlukan biaya untuk pulang ke Bandung, di saku saya masih ada beberapa lembar lima puluh ribuan.

"Membantu gimana maksudnya, Pak?"

"Sesama muslim kan bersaudara. Anda saudara seagama saya. Apa yang bisa saya bantu untuk Anda?"

"Oh, Bapak muslim?"

"Ya. Katakanlah!"

Ia memperbaiki tempat duduknya. Lalu berkata, "Doakan saya saja, Pak. Nama saya Samuel Novianto."

"Insya Allah, saya akan doakan, Mas."

Saya lalu membayar taksi itu sejumlah angka di argometer. Ia rupanya tak mau dibantu materi.

Setelah menyalaminya, ia berkata, "Apa nasihat Bapak untuk saya?"

Saya berpikir sebentar. "Mas. Jangan pernah menoleh ke belakang. Jalan Anda sudah benar."

***

Itulah yang saya katakan terakhir padanya sebelum kemudian keluar dari taksi itu dan mengucap salam. Sejenak kemudian, taksi itu berlalu, membawa anak muda itu pergi entah ke mana.

Saya tertegun. Kisah anak muda itu seperti kisah pemuda cemerlang bernama Mush’ab bin Umair r.a. Mush’ab seorang pemuda tampan lagi berasal dari keluarga yang kaya. Ketika ia berikrar mengikuti jalan lurus Rasulullah saw. dan kemudian diketahui keluarganya, maka seketika itu juga, Khunas binti Malik, ibunya, mengurungnya di rumah dengan penjagaan sangat ketat.

Ketika beberapa sahabat hijrah ke Habsyi, Mush’ab dengan berbagai cara bisa mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, sehingga lepas dari kurungan dengan membawa sekedar apa yang melekat di badan. Ia lalu mengikuti para sahabat hijrah ke Habsyi. Bahkan hingga dua kali.

Khunas mencoba mengurung anaknya lagi sepulang dari Habsyi. Tetapi, Mush’ab bersikukuh menentang. Dan perpisahan itu pun tak terelakkan lagi.

"Pergilah sesuka hatimu!" kata ibunya saat perpisahan itu. Air matanya bercucuran. "Aku bukan ibumu lagi!"

Mush’ab pun meninggalkan ibunya, keluarganya, rumahnya, dan segala kesenangan yang selama ini ia terima. Sejak itu ibunya menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepada pemuda itu. Bahkan ia tak sudi nasinya dimakan meski oleh anaknya sendiri.

Suatu hari, sekembalinya ke Mekah, Mush’ab tampil di hadapan para sahabat yang sedang duduk di sekeliling Nabi saw. Demi memandang pemuda itu, para sahabat sama-sama menundukkan kepala. Memejamkan mata. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang, bertambal di sana-sini. Padahal belumlah hilang dari ingatan mereka, pemuda itu dengan pakaiannya, dulu, ibarat kembang di taman. Berwarna-warni, menyerbakkan wangi. Apalagi Mush’ab seorang yang tampan lagi kaya.

Rasulullah saw. pun bersabda, "Dahulu aku lihat, Mush’ab ini tidak ada yang menandingi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu, demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."

Dan demikianlah kisah pemuda Mush’ab ini. Ia pada perang Uhud bertugas sebagai pembawa bendera. Ketika barisan kaum muslimin pecah, Mush’ab tetap pada tempatnya. Datang musuh bernama Ibnu Qumaih di atas kudanya, lalu menebas tangan Mush’ab hingga putus. Bendera pun beralih ke tangan kirinya. Ketika tangan kiri itu pun putus terkena sabetan pedang, dengan kedua pangkal lengannya yang tersisa, ia pungut bendera itu. Lalu Ibnu Qumaiah menyerangnya lagi dengan tombak, menusukkannya ke tubuh tanpa tangan itu, hingga tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur dan benderanya terkulai.

Kata-katanya yang selalu terucap ketika gugur itu kemudian diabadikan Al-Qur’an. "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."

Ketika Rasulullah saw. dan para sahabat datang meninjau medan setelah pertempuran, sampailah mereka di tempat Mush’ab terbaring syahid. Air mata Rasulullah saw. bercucuran. Tak sehelai kain pun menutupinya selain sehelai burdah. Andaikan ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya jika ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasul yang agung itu pun meminta menutupi jenazah Mush’ab dengan burdah itu di bagian kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idzkhir.

Beliau pun bersabda, "Ketika di Mekah dulu, tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut-masai, hanya dibalut sehelai burdah."

Demikianlah harga yang harus ditebus untuk sebuah pilihan keyakinan. Untuk jalan kebenaran yang sejati. Mush’ab empat belas abad yang lalu, serta Samuel Novianto dan "Samuel-Samuel" yang lain di abad mutakhir ini. Hanya Allahlah yang mampu menakar dan membalas pilihan hamba-Nya itu dengan harga yang pantas.

Saya bersyukur sempat mengenal pribadi teguh dan tangguh seperti S. Novianto ini. Nama depan S yang akan selalu saya kenang. S untuk Samuel.

Wallahu a’lam.

***

Bahtiar HS

http://bahtiarhs.net

Keterangan.
Nama tokoh sebagaimana adanya. Semoga yang bersangkutan berkenan. Tidak ada maksud saya menulis apa adanya kecuali agar menjadi ibrah bagi yang lain. Juga agar lantunan doa mereka dapat ditujukan pada pribadi yang tepat, meski tak pernah mereka kenal sebelumnya.