Tiga Persamaan Puasa dan Sabar

Saya merayakan HUT ke-65 RI kali ini di Masjid Istiqlal, Jakarta. Bukan upacara bendera, melainkan mengikuti shalat tarawih di masjid bersejarah itu, 17 Agustus kemarin. Bagaimanapun saya sudah bolak-balik ke Jakarta, tetapi belum sekalipun menapakkan kaki di masjid yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara itu. Bukan termasuk dosa besar sih, tetapi kurang afdhol kiranya jika tidak menyempatkan diri bershalat di masjid ini. Setidaknya sekali seumur hidup.

Inilah salah satu masjid yang petugasnya tampak formal (pakai nametag segala), berjas berdasi, berjubah, dan para imam shalatnya hafizh Al-Qur’an. Selesai shalat Isya’, sebelum tarawih, didahului dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh qori’ah pemenang musabaqah tilawatil Quran (MTQ) tingkat internasional serta taushiyah (siraman ruhani).

Uniknya pula, tarawih di masjid ini dilakukan dalam dua kloter. Kloter pertama 8 rakaat plus witir 3 rakaat. Setelah itu, tarawih dilanjutkan untuk kloter kedua dengan imam shalat berbeda, untuk menggenapi 23 rakaat. Jamaah bebas memilih mau mengikuti kloter kedua atau pulang setelah witir.

Dan inilah oleh-oleh dari perayaan HUT ke-65 RI versi saya itu. Semoga termasuk ballighu ‘anni walau ayah. Sampaikan apa-apa dariku meski hanya seayat, kata Nabi saw.

Semoga bermanfaat.

***

Puasa, kata ustadz dari MUI DKI yang menjadi pembicara malam itu, sangat dekat dengan sabar. Setidaknya ada 3 persamaan antara puasa dan sabar.

Persamaan pertama, dari sisi makna. Puasa secara bahasa berarti al-imsa’ (menahan diri). Dalam keterangan lain, Pak Quraish Shihab menyatakan bahwa puasa di dalam Al-Qur’an disebut dalam 2 bahasa: “shaum” dan “shiyam”. Keduanya pun bermakna “menahan diri”. Ketika Maryam melahirkan Isa tanpa kehadiran ayah, orang-orang lalu menggunjingnya. Bahkan menuduhnya yang bukan-bukan. Maryam pun berkata, "… inni nadzartu lirrahmaani shauman falan ukallimal yauma insiyya”. Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini (QS Maryam [19]: 26). “Shaum” di sini diartikan berpuasa dalam konteks menahan diri dari berbicara dengan orang lain.

Sedang pada ayat perintah berpuasa, “Kutiba ‘alaikumush shiyaamu …” yakni diwajibkan atas kamu berpuasa, kata “shiyam” berarti berpuasa dalam konteks menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami istri (di siang hari puasa), dan segala yang membatalkannya dari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Sementara sabar (ash-shabr) pun secara bahasa berarti “al-habsu”, yakni menahan diri. Ucapan dalam bahasa Arab “qutila shabran” berarti ia terbunuh dalam keadaan ditahan atau ditawan. Dalam ayat “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya …” (QS Al-Kahfi [18]: 28), maka “bersabar” pada ayat itu bermakna “bertahanlah” dirimu bersama-sama dengan mereka. Sabar secara syariat berarti menahan diri atas tiga perkara: (sabar) dalam menaati Allah, (sabar) dalam meninggalkan kedurhakaan atau kemaksiatan kepada-Nya, dan (sabar) dalam menerima ketentuan-Nya (takdir) berupa musibah.

Persamaan kedua, dari sisi pahalanya. Pahala puasa itu tak terhingga, terserah kepada Allah. Dalam sebuah hadits dikatakan,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), ‘Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.’” (HR Muslim)

Sungguh ganjaran atau pahala puasa yang tanpa batas ini serupa dengan pahala sabar. Dalam sebuah ayat, Allah swt. berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar [39]: 10)

Dan persamaan ketiga, dari sisi terampuninya dosa. Hadits yang sangat terkenal mengenai puasa adalah:

Barang siapa yang berpuasa Ramadhan semata-mata karena iman dan mengharap ridha Allah swt. (ihtisaban), maka akan diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun ‘alaih)

Sabar pun demikian, terutama ketika menghadapi musibah. Rasulullah saw. bersabda,

Setiap musibah yang menimpa mukmin, baik berupa wabah, rasa lelah, penyakit, rasa sedih, sampai kekalutan hati, pasti Allah menjadikannya pengampun dosa-dosanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Tidaklah seorang Muslim ditimpa gangguan berupa penyakit dan lain-lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah ketiga persamaan antara puasa dan sabar itu. Tidaklah mengherankan jika salah satu hikmah berpuasa adalah melatih kesabaran. Sungguh merugilah mereka yang telah berpayah-payah meninggalkan makan dan minum serta segala yang membatalkan puasanya jika kesabarannya tidak terlatih karenanya.

***

Ustadz itu lalu mengakhiri taushiyah-nya dengan sebuah cerita rahasia. “Jangan bilang-bilang ya Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” pintanya pada para jamaah.

“Ada dua orang suami istri,” katanya mengawali ceritanya. “Keduanya sungguh sama-sama mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt.”

Jamaah senyap, tepekur mendengarkan cerita ustadz itu. Begitulah kekuatan cerita.

“Istrinya perempuan, Bu,” kata ustadz itu melanjutkan ceritanya. Ibu-ibu pun langsung riuh tertawa. “Perempuan! Perempuan yang sangat cantik. Sementara suaminya, kebalikannya! Apa kebalikannya cantik, Pak?”

“Cakep!” celetuk Bapak-bapak.

“Kok cakep? Bukan!” timpal ustadz sambil tersenyum. “Suaminya itu juelek, Pak! Tidak imbang dengan istrinya yang sangat cantik.”

Jamaah tertawa. Lumayan jadi tidak mengantuk.

“Nah dimana letak kemuliaan mereka? Sang suami bersyukur karena mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dari Allah swt. yang tiada tara. Dan kenikmatan terbesar bagi seorang suami seperti dirinya tidak lain karena dia dianugerahi seorang istri yang sangat cantik. Karena rasa syukurnya itu, ia mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt.”

Jamaah mulai tersenyum-senyum. Saya pun mulai menangkap maksudnya. He he he.

“Nah, dimana letak kemuliaan istrinya?” tanya ustadz itu menggelegar memenuhi setiap sudut masjid Istiqlal. “Gimana tidak mendapatkan kemuliaan di sisi Allah, Bu, lha sang istri ini harus selalu SABAAARRR tiap hari!”

Ketika mengucapkan “sabar” suara ustadz itu meninggi sambil menggeretakkan giginya. Jamaah mulai ger-geran.

“Ia harus SABAAARRR menghadapi musibah yang menimpa dirinya. Dan tidak ada musibah terbesar yang menimpa seorang istri yang cantik kecuali mendapatkan suami yang jueleknya minta ampun!”

Sang ustadz pun buru-buru mengucap salam lalu turun dari podium dengan senyum simpul.

InsyaAllah saya termasuk suami yang bersyukur itu, kawan. (Semoga istri saya termasuk istri yang bersyukur pula, karena dianugerahi suami yang cakep. he he he). Bagaimana dengan Anda?

***

Bahtiar HS

http://bahtiarhs.net