Bapak (Tidak) Terganti

bapak tua1Ada seseorang yang menjelma menjadi sosok bapak untukku. Dia datang dan perlahan menggeser posisi bapak di kehidupanku.

Sejak kecil aku sangat dekat dengan bapak dibanding dengan ibu. Alasannya sangat sederhana, karena bapak selalu mengajak aku berjalan-jalan. Entah hanya sekedar mengunjungi rumah temannya atau ke kebun binatang. Saat berjalan-jalan dulu, bapak selalu mengendarai sepeda birunya dan aku membonceng di belakang sambil memeluknya, takut-takut kalau jatuh. Selama perjalanan, Bapak senantiasa berceloteh mengenai pemandangan yang kami lalui, hitung-hitung menambah ilmu untukku, begitu katanya.

Bapak orang yang pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Bapak selalu berusaha mencukupi kebutuhan kami. Bapak terlihat jarang marah, justru membuatku bisa tertawa lepas mendengar guyonannya. Aku suka wajah ceria yang bapak tampakkan saat ia sepulang kerja menyambutku yang bergelayut manja. Terkadang bapak juga membelikan makanan dan mainan kesukaanku.  Maklum, dulu aku masih putri semata wayangnya.

Kini bapak sudah punya dua jagoan kecil, mereka adikku. Perhatian bapak yang dulu tercurah hanya untukku dan ibu, kini harus terbagi-bagi lagi. Jika dahulu aku berjalan-jalan dengan naik sepeda birunya —yang kini sudah dijual bapak— kedua adikku berjalan-jalan menggunakan sepeda motor second murah yang bapak beli di tahun 2004. Tak apa, toh bapak senang dan ibu sudah terlihat jarang memijat kaki bapak semenjak bapak mempunyai sepeda motor.

Aku kira bapak akan semakin ceria saat anggota keluarga ini ramai dengan kehadiran kedua adikku. Tapi sebaliknya, wajah letih yang terlihat semakin menua dan senyum tipislah yang sering tertangkap saat aku menyambutnya sepulang kerja. Tapi aku bersikap biasa saja. Ini pasti terjadi pada setiap orang tua, kan?

Hubunganku dengan bapak mulai merenggang. Sejak bapak mengetahui aku mempunyai teman dekat lawan jenis. Ibu yang memberitahunya, karena ibu tahu aku tidak berani untuk menyatakan hal itu. Banyak pula deretan kalimat nasehat yang aku dapat dari bapak. Dan perlahan bapak mulai mem-protect-ku. Aku tidak begitu memperdulikannya, pikiranku mengatakan aku sudah berhak menentukan pilihan. Lagipula aku sudah berkuliah sambil bekerja sekarang ini. “Aku bisa jaga diri, Pak” itu yang selalu aku katakan jika dinasehati.

Teman dekat ini bisa dibilang kekasih hati yang berhasil memikatku. Dia datang dengan kebaikan hati dan keceriaan terpeta penuh diwajahnya. Ah, aku jadi rindu wajah bapak yang seperti ini. Dia juga sosok yang bisa menjagaku dan tempatku berkeluh-kesah. Aku nyaman dengan adanya kehadiran dia. Perlahan, posisi dia di hatiku menempati porsi yang cukup banyak ketimbang bapak. Aku sudah menganggap dia kekasih sekaligus bapak baru untukku. Apa aku melupakan bapak?

Aku senang bukan kepalang saat dia bertamu ke rumah pukul satu dini hari, hanya untuk merayakan ulang tahunku. Bapak tidak pernah sepagi itu mengucapkan ulang tahun untukku. Intensitas pertemuan aku dan dia semakin banyak terjadi. Berbagai hadiah dan makanan dia berikan untukku. Beberapa tempat menarik di Jakarta pun, sudah pernah aku dan dia kunjungi. Dia benar tahu apa yang aku butuhkan. Bapak tidak, ia terlalu sibuk mengurusi banyak hal tentang keluarga dan pekerjaan. Apa aku benar-benar melupakan bapak?

Malam itu jalanan sekitar Kemang digenangi air akibat hujan sore harinya. Hawa dingin pun menusuk hingga ke tulang. Sialnya, aku malah kedapatan shift bekerja hingga malam hari. Tidak seperti biasanya, hari ini aku tidak membawa motor kesayanganku, karena dia akan menjemputku sepulang kerja nanti. Aku sudah mengirimkan pesan singkat ke bapak agar tidak usah menjemputku. Perlu diketahui, bapak selalu menjemputku pulang kerja walaupun aku membawa motor sendiri. Ah, aku seperti anak kecil, seperti itu pikiranku.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Saat aku sudah bersiap-siap pulang dengan dia, aku melihat bapak datang. Aku sedikit kesal saat itu, apa bapak tidak membaca pesanku? Aku menghampirinya, dan meluapkan kekesalanku kala itu. Ternyata, pesan singkatku tidak diterima bapak.

Aku bimbang. Dia mengatakan aku pulang saja dengan bapak. Aku menolak, karena dia sudah sedari sore menungguku pulang bekerja. Aku tidak mau dia hanya mendapat sebuah kesia-siaan. Di sisi lain, aku juga memikirkan bapak yang sudah berkorban untuk menjemputku di malam yang dingin ini. Sungguh, aku merasakan pusing dan amarah secara bersamaan.

Akhirnya, bapak yang mengalah. Bapak sudah menyalakan mesin sepeda motornya. Aku masih dilanda kebimbangan yang besar dan pandangan mataku mulai mengabur karena dipenuhi cairan bening di pelupuk mata. Apa kali ini aku sudah sangat melupakan bapak? Apa sebegitu gampang dan cepatnya aku melupakan kasih sayangku dulu terhadap bapak?

Tidak! Kemudian, aku memanggil bapak dan akhirnya memilih pulang bersama bapak. Aku berjanji akan selalu menyajikan tempat tersendiri untuk bapak di hatiku. Aku sayang bapak. Selamat hari ayah, Pak.

 

 

Aku iri. Aku merasa diacuhkan bapak.

Sejak itu, aku lebih suka meluangkan waktu bersama teman-teman sekolahku. Tapi setiap pagi bapak tidak pernah absen mengantarkanku dan adik-adik ke sekolah. Aku sadar aku sudah besar dan harus bersikap mandiri. Terkadang aku kesal saat bapak harus mengantarkanku sampai gerbang sekolah atau bahkan menungguku habis pelajaran

Ide                             : tentang ayah dan teman laki

Tema                       : konflik batin aku

Sudut pandang : orang pertama tunggal

Kerangka              : a. Arti ayah buat aku

b. arti pacar buat aku

c. di saat aku harus memilih

d. rasa kecewa dan bersalah

e. penutup mengejutkan

 

Bapak selalu berkata jangan terlalu berteman dekat dengan lawan jenis.

Kala itu jam menunjukkan pukul satu dini hari. Deretan kalimat yang terucap dari seseorang di seberang telepon tadi, membuat aku bergegas membuka pintu rumah. Lalu, aku terenyuh bahagia saat seseorang muncul di depan teras dengan sebuah kue kecil manis dan lantunan nyanyian kecil. Wah! Aku berumur 19 tahun!

Obrolan kami di depan teras berakhir tepat pukul dua dini hari. Aku senang bukan kepalang ketika memasuki rumah membawa sebuah kado dan kue darinya tadi. Tapi tidak dengan bapak. Sepertinya bapak agak terganggu aku menerima tamu sepagi ini. Rajin sekali, begitu mungkin pikirnya.

Dia hanyalah seorang gadis yang baru menginjak usia 19 tahun. Usia dalam masa menentukan jati diri dan labil, begitu katanya. Semangat jiwa muda dan

Bapaknya hanyalah seorang kuli bangunan dengan gaji tidak tetap tiap bulannya.