Bapakku, Sang Oemar Bakrie


tas hitam dari kulit buaya
selamat pagi berkata bapak oemar bakri
ini hari aku rasa kopi nikmat sekali
tas hitam dari kulit buaya
mari kita pergi memberi pelajaran ilmu pasti
itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu

Siapa tak kenal penggalan lagu Oemar Bakri ini? Buah karya Iwan fals ini adalah salah satu karya yang tidak lekang oleh zaman.. Setiap kali mendengar lagu ini, saya selalu teringat dengan bapak yang ada di rumah sekarang. Sama? Tidak sepenuhnya. Akan tetapi, banyak hal pada diri Oemar Bakri ini, melekat erat dengan sosok bapak saya. Sosok seorang guru dengan segala bentuk pengabdiannya untuk pendidikan dan keluarga.

Ya, bapak saya adalah seorang guru. Bapak menjalani profesinya secara formal sejak pertengahan tahun delapan puluhan. Sebelumnya bapak adalah seorang buruh pabrik pemintalan benang di kota paling selatan di Jawa Tengah. Rasionalisasi karyawan menyebabkan bapak harus pensiun dini di usianya yang baru tiga puluh tahunan. Berat rasanya. Ada ibu dan empat orang kakak perempuan saya yang menjadi tanggungan bapak. Saya belum lahir saat itu. Berbekal ilmu yang didapat selama ngaji di pesantren, bapak menjadi guru mengaji sore hari di sebuah sekolah Islam. Dua tahun menganggur tanpa pekerjaan tetap. Sampai suatu ketika, bapak menjadi seorang guru tetap di sebuah madrasah tsanawiyah milik sebuah pesantren. Profesi ini masih terus dijalani hingga saat ini. Bapak mengajar Bahasa Arab.

Madrasah tempat bapak mengajar terletak di sebuah kampung nelayan. Tabiat warga kampung ini sudah sangat terkenal. Selain (sok) jagoan, solidaritas warganya sangat tinggi. Sekali terjadi salah paham dengan salah seorang warganya, dijamin, belasan truk berisi warga kampung akan datang dan menuntut ganti rugi. Yah, minimal mengobrak abrik rumah. Belum lagi ditambah dengan sikap kebanyakan anak nelayan yang enggan untuk bersekolah. Rutinitas tahunan warga kampung nelayan adalah perayaan sedekah laut. Pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sura pada penanggalan Jawa, hampir bisa dipastikan, tidak ada siswa. Cukup mirip dengan murid Oemar Bakri, pikir saya.

Seperti halnya Oemar Bakrie, bapak menuju tempat pengabdiannya yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah, menggunakan sepeda onthel. ”Sepeda ini, dibelikan kakek pada tahun kelahiran bapak. Dulu harganya satu kuintal beras. Kembaran sepeda ini masih ada di kampung sana. Tapi udah gak karuan bentuknya. Ini bakal kamu pakai. Kamu rawat baik-baik. Jangan lupa, kamu adalah garis laki-laki. Bapak ini anak laki-laki satu-satunya yang tersisa. Kakek juga. Kakek buyut pun begitu…, ” begitu kata bapak. Gaji? Oemar Bakri punya. Dua tahun lalu, saat saya meminta surat keterangan penghasilan orang tua untuk syarat pengajuan beasiswa. Di surat tersebut hanya tertulis dua ratus ribu rupiah. ”Gaji itu urusan bapak. Yang penting kamu bisa sekolah, ”.

Sampai dua tahun lalu, bapak masih pergi mengajar dengan sepeda onthelnya. Alhamdulillah, sekarang bapak menggunakan sepeda motor hasil tabungan bersama ibu. Sekarang, sepeda onthel itu saya pakai untuk hilir mudik kuliah dan ke tempat kerja. Setiap kali saya mengayuh, saya mencoba merasakan perjuangan yang telah bapak lakukan puluhan tahun itu. Sedikit banyak saya merasakan bagaimana bapak berjuang demi keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Di tengah keterbatasan penghasilan seorang Oemar Bakri, bapak masih bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Kami berlima, bisa mengenyam bangku kuliah. Empat kakak saya sudah selesai kuliah. Sedangkan saya, sedang dalam proses menyusun tugas akhir.

Saya merasa masih banyak yang belum dapat saya berikan untuk bapak. Hanya doa dan prestasi yang mampu saya berikan. Satu hal impian bapak yang masih mengendap. Salah satu anaknya bisa bersekolah di Al-Azhar, Kairo.

Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji takkan khianati pintanya

Aamiien