Begitu Beratkah Hidup?

Seberapa besar harapan keluarga dalam menapak mahligai kehidupan yang sejahtera. Begitu sebersit kata yang semua orang pastinya akan mendambakan.

Seperti biasanya aku harus kembali bekerja. Penghasilanku dapat dikatakan cukup untuk menutupi kebutuhan hidup selama satu bulan. Tapi jika ditambah untuk cicilan hutang rumah yang baru saja kubeli dari hasil keringatku di tempat sebelummya, justru aku harus mengecangkan ikat pinggang. Kepasrahan. Begitu berangkali yang tepat. Kita tak pernah memahami apa yang terjadi hari esok. Semuanya berjalan begitu saja.

Subhanallah, Alhamdulilah, Allahu Akbar, suara zikir ustadz Arifin dalam MP3 di komputerku membuat lamunanku pudar. Aku beranjak dari bangku, dan kubuka jendela, ruang kerjaku. Udara yang masih pagi membuat bergetar hatiku. Selagi aku masih mampu bernafas, segala hal yang berhubungan dengan uang atau materi kucoba hilangkan. Sebagai gantinya ku basuh wajah ku dengan wudhu, untuk bersimpuh pagi itu. Dalam do’a aku memohon petunjuk, apakah semua orang, jika harus bicara lantang untuk menuju kebaikan, hidupnya akan teratur lebih baik. Ya, Rabb..dapatkah kebaikan diartikan untuk meraup keuntungan pribadi semata? Namun, bagaimana cara mengetahui kebaikan digunakan untuk niat baik atau tidak?

Kurapikan sajadah kecil yang yang biasa berada di sudut ruang. Belum beranjak dari tempat, datang seorang tamu. Dengan ‘welas asih’ ia menghampiriku dan menanyakan ustadz. ”Assalamualaikum, ustadznya ada?, ”ucap pria sederhana dengan pakaian lusuh. Wa alaikumsalam masuk pak, jawabku  pada pria yang ternyata aku mengenalnya. ”Antum kerja di sini?”, sapanya. "Iya", jawabku. ”Biasa bantuan ustadz di kliniknya sekaligus ngelola zakat", tambahku.

Tapi, tanpa berpikir panjang pria itu menarik ku keluar. Aku merespon positif dan kubawa ia di sudut ruang tamu belakang. Percakapan dimulai dengan basa-basi. Dari hal keluarga sampai teman-teman masa lalu. ”Akh, aku sedang kena musibah. Aku tak mempunyai pekerjaan. Anakku butuh uang sekolah, ditambah isteri baru saja melahirkan anak ketiga", keluhnya. ”Oya yang kecil baru empat bulan. Ia butuh susu. Makanya aku butuh pinjaman uang pada ustadz. Atau aku punya alat masak nasi (magik Jar). Ane jual Rp 300 ribu deh.’,keluhnya kembali. ”Nanti antum masak bagaimana?", pikirku. ”Gampang ada kompor gas. Itu yang pengganti minyak tanah", ucapnya lugas.

Aku beranjak meninggakan ia. ”Tunggu sebentar pak. Ada telpon dari ustadz", pungkasku. Aku menaiki beberapa anak tangga, menuju ruang kerja ustadz. Dan, saat itu lah ustadz merespon positif dengan memberikan pilihan alternatif. Memberi uang dengan maksud membantu atau lainnya. Kepadaku , ustadz mengatakan bahwa pilihan lainnya adalah membeli alat masak (magic jar). ”Ini sebagai uci coba agar ia lebih berihktiar dalam merelungi kehidupan ini. Tapi jangan atas nama ane…nih uang Rp 300.000 buatnya", jelasnya kembali. Aku kembali pria tersebut.

Transaksi dimulai. Tanpa pikir panjang pria subur tersebut bersegera menyerahkan alat masak (magic jar). Dan uang kuberikan padanya. ”Afwan, ustadz buru-buru. Jadi ini uangnya",ucapku. Ia pun beranjak pergi. ”Jazakallah, ane pulang dulu", senyum kegembiraan. Namun, beberapa hari kemudian, ternyata ia datang kembali. Seperti biasa dengan pakaian lusuh, tak terurus. Ia menghampiriku. Ceritanya lain lagi, ia berjualan produk batubara, dan batu akik. Kali ini butuh modal untuk usaha. Dan uang kemarin dipake uang iuran sekolah dan susu. ”Maaf kali ini ustadz tidak ada. Bagaimana antum cari keteman-teman lainnya", saranku. Dengan rasa iba aku memberikan uang 20.000 ribu rupiah. Dengan nada memelas ia pun pergi.

Esok harinya. Ustadz menceritakan pada ku bahwa kemarin sore, pria yang menjual alat pemasak datang kembali. ”Tapi ane tertidur. Jadi tak sempat bertemu", ucap ustadz, yang bersiap-siap pergi mengisi kajian Islam. ”Tapi, mungkin terlalu lama menunggu, ia pulang", jelasnya. Dengan terheran, aku balik bertanya. ”Bukankah paginya ia sudah kemari, katanya minta modal untuk usaha batu bara dan batu akik", ucapku penasaran. ”Tapi ketika ditemui staf administrasi, ia tidak menyebutkan pinjam modal tapi minta uang untuk kebutuhan uang sekolah, ditambah susu anaknya ", jelas ustadz. ”Sudah ya, nanti kita sambung lagi telpon ane berdering terus. Ane ada acara nih. Semoga ia diberi kemudahan", sapa ustadz dan terus meninggalkanku.

Begitu beratkah hidupnya? Sehingga, tak mampu banyak selain meminta. Hanya kunci dalam hidup ini, yaitu berbuat baik dan beramal dan untuk urusan materi (uang) tidak selamanya kita didewakan. Semoga diusai Ramadhan Allah memberikan jalan keluar padannya.