Belahan Jiwa

Tak seperti biasanya, hari itu aku merasa capek sekali. Seluruh badan terasa pegal dan lelah. Kulihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Rupanya dari pagi aku sudah keluar rumah. Kucoba merunutkan kembali apa saja yang telah aku lakukan sepanjang hari itu.

Jam delapan pagi aku mengantar ke sekolah buah hatiku yang masih TK-B, lalu kulanjutkan dengan mengurus surat permohonan ijin meminjam ruangan untuk belajar bahasa Thai di kedutaan.

Pukul sebelas aku menjemput gadis cilikku  dari sekolah dan langsung menuju mall terdekat untuk mencari makanan halal yang memang sulit didapat di negara tempat tinggal kami yang penduduknya mayoritas non muslim.

Untunglah walaupun hanya ada dua outlet kecil yang menyediakan makanan halal, namun keberadaannya di food court itu sangat meringankan kami terutama aku bila dalam keadaan terdesak tak sempat memasak di rumah. 

Sejenak aku dan gadis cilikku makan siang dan sholat dzuhur. Jalanan yang selalu macet memaksa kami untuk segera bergerak lebih cepat menuju kantor imigrasi untuk mengurus ulang visa tinggalku karena pasporku telah habis masa berlakunya. Tak lama setelah visa beres, aku kembali menuju ke kedutaan untuk bergabung dengan teman-temanku belajar bahasa Thai sampai sore hari.

Gadis cilikku selalu setia menemaniku ke mana saja aku pergi, maklumlah kami berada di negeri orang, tak ada khodimat yang mudah didapat seperti lazimnya di negeri sendiri untuk sekedar mengawasi anak-anakku saat aku keluar rumah.

Kami harus saling pengertian dan belajar mandiri. Pun dua anak lelakiku yang masih duduk di bangku sekolah (1 SMP dan 5 SD). Mereka menjadi lebih mandiri dan merasa saling membutuhkan satu dan lainnya, mungkin itulah hikmahnya, alhamdulillah. Kulirik gadis cilikku yang mulai terlihat bosan, aku merasa bersalah karena jam tidur siangnya terganggu.

Namun ada rasa syukur menyelinap dalam dada, untuk ukuran anak kecil ia begitu sabar dan tak pernah mengamuk, wajar bila sesekali ia merengek minta segera pulang, aku mafhum.

 Tadi siang suami  meneleponku dan berpesan agar aku tak perlu memasak malam itu, ia akan mengajak kami makan di luar. Ah, pengertian sekali suamiku. Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Sambil menunggu suami datang, aku coba merebahkan badan mengharap bisa tidur sejenak.

Namun rasa kantuk tak jua datang. Dalam keadaan lelah entah kenapa pikiranku selalu tertuju pada suamiku, ayah dari anak-anakku, belahan jiwaku yang ternyata menyadarkanku bahwa begitu berat ia dalam menjalankan tugasnya menjadi pemimpin dalam keluarga disamping tuntutan pekerjaan menguras tenaga dan pikirannya.

 Sudah lebih dari sebulan suami mengerjakan proyek di perusahaan lain. Dalam seminggu 2-3 kali ia harus ke pabrik yang berjarak sekitar 170 km dari Bangkok dan menempuh waktu dua jam melalui jalan darat. Walaupun sudah ada mobil antar jemput, namun tetap saja rasa lelah tampak dari wajahnya. 

Pukul tujuh pagi ia sudah harus tiba di kantor untuk berangkat beserta timnya menuju Rayong dan kembali ke Bangkok sekitar pukul delapan malam pada hari yang sama. Sering kulihat setelah makan malam di rumah, suami tertidur kelelahan sambil menemani anak kami belajar.

Setengah jam melewati pukul tujuh malam, suami datang dari Rayong dan kami segera berangkat menuju rumah makan yang dituju. Dapat kubayangkan betapa lelahnya ia namun ia selalu berusaha untuk mengukir senyum di wajahnya dan menyenangkan hati kami, istri dan anak-anaknya.

Duh malunya diri ini, kadang aku masih saja menyambutnya dengan wajah cemberut bila suami datang terlambat.  Lain halnya dengan anak-anak yang selalu berteriak ceria kala bel rumah berbunyi menyambut ayahnya datang.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada ALLOH?” Beliau menjawab : “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata : Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari no.29 dan Muslim no.907)

Na’udzubillahi min dzalik. Aku jadi takut. Kadang aku terlalu banyak menuntut suamiku. Kadang aku begitu keterlaluan karena tak pandai menata hati dan membiarkan emosi ini naik dan turun.

Ternyata masih banyak yang harus aku perbaiki dalam diri ini, ternyata masih panjang daftar kekurangan yang harus aku benahi. Belahan jiwaku, ma’afkanlah aku. Aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku ingin menjadi hamba-MU yang selalu bersyukur kepada-MU termasuk dengan cara bersyukur kepada suamiku, inshaALLOH.

Segala puji bagi-MU ya Rabb yang telah mempertemukan aku dengan belahan jiwaku dalam ikatan pernikahan yang suci dan mulia. Lindungilah selalu di manapun ia berada.  Ya Rabb, berilah kami kekuatan lahir dan batin dan kemampuan membawa bahtera ini menuju surga-MU kelak di yaumul akhir nanti, aamiin.

Wallohua’lam bishshowaab

(mkd/bintaro/21.12.09)