Belajar dari Sakura

Kutatap pohon sakura di samping kamarku, di asrama kampus, tempat tinggalku di negeri sakura ini. Ada dua pohon sakura yang tumbuh di dekat kamarku. Sebuah pohon yang begitu cantik terlihat dari kaca yang menjadi pembatas living room, yang merangkap tempat makan, dengan tempat menjemur pakaian. Dan sebatang lagi, menyembul indah jika aku menatapnya saat membuka jendela di ruang dapur.

Hampir 5 bulan menempati ruangan ini, aku tidak pernah mengetahui kalau kedua pohon itu adalah pohon sakura. Sensei bahasa jepangku yang suatu hari bertamu ke asramaku yang menceritakan kepadaku perihal kedua pohon ini. Sebuah kesempatan yang langka menurutku. Jika senseiku tidak ingin belajar membuat soto bogor dan bubur kacang hijau, mungkin aku tidak akan mengerti sedari awal kalau kedua pohon itu adalah pohon sakura. Sensei bahasa Jepangku memang pernah berkunjung ke Indonesia, saat dia menjadi mahasiswa pertukaran. Dan hampir selama satu tahun dia menetap di kota Bogor, dan terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di institut yang terkenal di kota itu.

Wajar jika aku tidak mengetahui kedua pohon itu adalah pohon sakura. Aku menempati ruangan couple room ini saat daun-daun sudah mulai menguning dengan hendak berguguran ke permukaan tanah. Selain itu, ternyata pohon sakura juga mempunyai kenampakan istimewa tersendiri. Sensei bahasa Jepangku menjelaskan dengan detail kepadaku, hal apa yang menjadi istimewa dengan pohon sakura, sehingga dari kejauhan seseorang yang mengerti hal yang istimewa ini akan langsung mengerti kalau sebuah pohon adalah pohon sakura atau bukan. Maka, ketika sudah mengetahui sedari awal kalau kedua pohon itu adalah pohon sakura, kutunggu keduanya menampakkan keindahan bunga sakura yang menawan, sesuatu yang menjadi mimpiku sejak masih di Yogya: menatap bunga sakura bukan hanya lewat foto.

Ada empat musim yang berganti secara pasti di negeri ini. Musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Sudah dua musim kulewati di sini. Saat ini, musim semi sedang berlangsung. Hampir setiap minggu udara berganti-ganti. Kadang hangat dan kadang dingin lagi. Inilah karakteristik musim semi, cerita seorang teman labku. Tapi, ada sebuah hal indah yang tidak bisa diabaikan. Menatap hijaunya daun yang benar-benar hijau di manapun. Seperti hutan, ujar seorang teman.

Kutatap lagi pohon sakura dari meja belajarku di living room. Sekarang daunnya sudah sangat menghijau. Meliuk-liuk ditiup angin sore di hari ini. Pada hal baru pertengahan bulan April kemarin bunganya merekah indah. Menampilkan keindahan dua warna dalam indera penglihatanku: pink dan putih. Memang hanya dalam waktu yang singkat, sekitar satu minggu. Tapi, cukup mampu memupus rindu untuk menatapnya, sejak mimpi itu terendap hampir lima tahun yang lalu.

Maka menatap sakura, membuatku berfikir tentang hal yang lain. Tentang sebuah siklus kehidupan yang pasti. Berawal dari cerita seorang teman lab tentang sakura, bahwa sakura mempunyai pemandangan sendiri di setiap musim. Akan menguning daunnya dan kemudian gugur saat musim gugur. Akan menjadi gundul, sama sekali tinggal rangkaian cabang-cabang dan ranting-ranting yang berwarna kecoklatan saat musim dingin. Menampilkan keindahan dalam kombinasi warna putih dan pink saat musim semi. Dan memunculkan keindahan hijau dedaunan saat menjelang musim panas, setelah seluruh bunga-bunganya mulai berguguran. Dan siklus itu akan berganti di setiap tahun.

Apakah yang dirasakan oleh pohon sakura setiap musim akan berganti? Saat dia dikagumi dengan keindahan bunganya di musim semi. Bahkan hampir seluruh orang-orang yang tinggal di Jepang melakukan hanami. Lalu mulai ditinggalkan sesaat setelah seluruhnya bunga-bunganya berguguran dan akhirnya menjadi gundul sama sekali ketika musim dingin yang menggigit menjelang datang. Apakah dia bahagia ketika semua orang mengaguminya saat musim semi datang, ketika semua pusat perhatian seakan ditujukan kepada dirinya? Dan menjadi jumawa sambil berkata kepada pohon-pohon yang lain: sekarang aku adalah ratu keindahan, lihatlah semua orang mengagumiku. Lalu, berganti menjadi sedih ketika di tubuhnya hanya tinggal ranting-ranting yang menemani turunnya salju?

Sepertinya itu adalah pertanyaan bodohku. Akhirnya, hanya sebuah kekaguman yang menyelinap. Pada setiap empat musim yang mesti dilewati pohon sakura. Tanpa sebuah keluhan, mungkin. Apalagi kejumawaan sesaat.

Lalu, jika musim semi adalah ibarat sebuah kesenangan yang menghampiri, dan musim dingin adalah sebuah kesedihan dengan tumpukan masalah yang menggelayut, apakah kita, terutama aku, juga akan menjadi seperti pohon sakura? Yang meletakkan sebuah harapan, bahwa mesti musim semi akan datang setelah musim dingin itu pergi. Dan saat itulah semua kesedihan dan kegundahan akan berlalu karena saatnya keindahan menjadi miliknya dengan menawarkan kecantikan rangkaian bunga berwarna pink dan putih. Meski mungkin, hal itu berlangsung hanya dalam hitungan hari-hari yang pendek.

Maka, aku hanya diam. Gelindingan-gelindingan pertanyaan itu tidak menemukan jawabannya. Karena pohon sakura tidak pernah akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan bodohku. Dan aku menjadi mengerti, kemana mesti pertanyaan itu aku berikan. Hanya pada sebuah hati bersih yang terdalam, saat melongok ke dalam diri sendiri. Di sumur kebeningan itulah, aku akan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bodoh itu.

@spring, April 2009

Ket
sensei : guru
hanami : cara orang Jepang menikmati keindahan bunga sakura dengan berkunjung ke taman-taman bersama keluarga atau teman-teman dan menyelenggarakan pesta kecil dengan makanan-makanan ringan, dan kadang juga disertai dengan minum sake