Belajar dari Sebuah Kehilangan

siluet muslimahOleh : Ammah Amrizar

Ini adalah sebuah kisah tentang seseorang. Seorang istri yang semoga dirahmati Alloh. Tentang suara hati seorang wanita yang tersibak bersama alunan Taqdir. Tentang hikmah di balik suatu peristiwa. Belajar dari sebuah kehilangan, seperti yang dituturkan dalam bentuk kisah berikut ini. Semoga bermanfaat dan mengandung ibroh yang bisa dipetik.

○○○○○○○○○○○○○●○○○○○○○○○○○○

Aku adalah seorang istri. Wanita biasa. Suatu hari suamiku berbicara tentang poligami. Tidak mengenakkan rasanya. Ada sesuatu yang terasa mengiris-iris relung hatiku. Spontan aku langsung koreksi diri. Berbagai tanya muncul menyeruak. Apa yang salah denganku? Apa yang kurang padaku sebagai seorang istri? Ada apa denganku? Terekam jelas dalam ingatan betapa banyak gadis-gadis yang jatuh cinta dan tertarik pada suamiku. Pun di awal-awal pernikahan kami. Ketampanan wajah suamiku telah membuat banyak wanita tergoda. Bahkan pernikahan kami pun telah membuat beberapa wanita terluka ketika cintanya kandas dan tak berbalas. Ternyata pria pujaan hatinya telah menjatuhkan hatinya untukku. Beruntung suamiku adalah pria sholeh yang selalu menjaga pandangannya.Sebab itu pula aku memilihnya sebagai suami.

Mungkin aku yang berlebihan dalam menanggapi diskusi mengenai poligami. Padahal waktu itu suamiku hanya menyinggung sedikit tentang poligami. Tentang hukumnya menurut Islam. Tentang hikmah terindera dengan adanya aturan poligami. Mengingat jumlah wanita yang jauh lebih banyak daripada pria. Dan wanita semua sama, yaitu sama-sama ingin punya suami, pengin memiliki keluarga dan menjadi seorang ibu. Entahlah, waktu itu aku merasa suamiku sedang memberikan sosialisasi mengenai poligami. Suamiku sedang memulai proses membiasakan istri dengan sebuah kata “poligami”. Jujur aku merasa perih. Terbayang bagaimana lukisan tentang berbagi. Oh myGod, berbagi harta saja aku masih sedikit bagaimana mungkin bisa berbagi suami. Bagiku hanya bunga terindah, wanita sholihah hebat yang bisa berbagi suami dengan wanita lain. Sedangkan aku bukanlah bunga yang indah. Terlalu banyak kelemahan dan keterbatasan yang aku miliki. Kelemahan dan keterbatasan inilah yang kadang aku jadikan tameng pembenar untuk tidak menerima poligami.

Bagiku poligami bagaikan hantu, momok menakutkan yang harus dihindari. Harus jauh-jauh dari kehidupanku. Perasaanku masih begitu dominan waktu itu. Aku nilai poligami dengan tolak ukur perasaan. Dan perasaanku jelas tak bisa menerima. Pelaku poligami aku anggap selayaknya seorang pengkhianat cinta. Bukankah bila cinta pasti ingin membahagiakan? Lalu kebahagiaan seperti apa yang ditawarkan seorang suami bila berpoligami? Jika dengan poligami akan sangat melukai istri bahkan mungkin kehilangan istri. Mencintai adalah membahagiakan, bukan hanya sekedar kata tanpa makna, bukan pula sebaliknya ingin dibahagiakan. Bila menyakiti berarti tak mencintai. Bila tak membahagiakan berarti tak mencintai. Mencintai itu tidak egois, mencintai itu tidak hanya memikirkan diri sendiri. Mencintai berarti ikhlas menerima apapun adanya yang dicintai. Mencintai berarti berkorban, berkorban apa saja demi kebahagiaan yang kita cintai. Namun belakangan baru kusadari ternyata cinta pun punya aturan main, cinta pada manusia tak boleh melebihi cinta pada segala cinta, Alloh SWT.

Dalam pemikiranku toh poligami juga hanya suatu syariat yang mubah, pilihan, dilakukan tak berpahala, ditinggalkan pun tak berdosa. Justru yang terjadi, adalah potret buruk fakta poligami di masyarakat. Poligami hanya menyebabkan pelakunya panen dosa tatkala tidak adil dan memaksakan diri ketika tak memiliki kemampuan menjalankan kewajiban sebagai suami. Akhirnya, poligami hanya sekedar pelampiasan nafsu lelaki, baik syahwat maupun rasa bangga menaklukkan banyak wanita. Jauh dari niat utama menikah adalah semata ibadah kepada Alloh.

Selama ini sebenarnya tanpa aku sadari, suamiku telah mengajarkanku tentang arti berbagi dan kedermawanan. Bagaimana ketika memberi adalah dengan sesuatu yang terbaik. Bahkan demi menolong, ibadah kepada Alloh, tetap harus berbagi meski diri sendiri dalam keterbatasan dan ketidakpunyaan. Hal ini aku rasakan ketika pada suatu hari suamiku memilih buah buahan terbaik, yang agak buruk disisihkan. Buah-buahan terbaik lagi menggiurkan lah yang justru diberikan pada tetangga. Pernah juga suatu ketika suamiku pergi pengajian. Sengaja suami hanya membawa uang pas, untuk sekedar membeli nasi campur karena suami tak sempat lagi makan di rumah. Namun rupanya uang tersebut diberikan pada teman ngajinya yang kelaparan tidak makan sejak pagi dan tak punya uang. Alhasil, suamiku pulang dalam keadaan lapar dan perut melilit-lilit. Satu sisi kedermawanan suami yang aku kagumi. Rela dan ikhlas berbagi karena Alloh.

Suamiku telah membuktikan cintanya pada Alloh, dengan ketaatan pada tuntunanNya. Suami buktikan cintanya, dengan mendidikku dan mengajariku banyak hal, dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Termasuk mendidikku untuk bisa berbagi segala hal, berbagi suami dan menerima poligami, sabagai salah satu syariat Alloh tanpa syarat. Hanya ikhlas dan taat jika memang mencintaiNya.

Beberapa bulan setelah mengajariku tentang poligami, mendadak suamiku sakit. Mungkin karena terlalu lelah dalam melakukan survey ke luar kota seperti yang ditugaskan perusahaan tempat suami bekerja. Suamiku terlihat begitu lemas, apalagi ketika tiba tiba jari-jari tangan sebelah kirinya tak lagi bisa digerakkan. Dengan perasaan tak menentu aku mengantar suami ke RS. Putri kami yang saat itu baru berusia satu tahun aku titipkan ke seorang teman. Aku kabarkan sakit suamiku pada orangtua dan keluarga yang semua ada di seberang pulau. Setelah urusan di RS beres dan suamiku masuk sal kamar, aku tinggalkan suami seorang diri, setelah sebelumnya aku minta tolong teman suamiku untuk secepatnya ke RS. Aku pulang untuk mengurus anakku. Temanku sudah mengabarkan jika anakku menangis terus, ingin jatah Asinya diberikan setelah berjam-jam aku tinggalkan.

Rupanya suamiku sakit cukup parah. Alloh menguji kami. Bagaimana Alloh mengajariku menjadi wanita kuat, dengan memberiku kesempatan mengurus suami. Setengah bulan suamiku sakit. Pagi hari sampai malam aku menunggui suamiku. Malam harinya, giliran teman-teman suami yang menjaga di RS dan aku pulang untuk mengurus putri kami. Selama suami sakit, betapa getirnya hati menyaksikan suami sering kejang, hampir setiap hari. Bagaimana lukanya hati, ketika semakin hari semakin suamiku tak berdaya. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat tatapan mata. Dan bagaimana perihnya ketika tatapan suamiku pun semakin hari semakin kosong melihatku, hingga akhirnya hilang dalam koma. Dua hari setelah koma, Alloh berkehendak memanggil suamiku. Aku serasa tak lagi menginjak bumi. Tubuhku bergetar hebat. Ada sesuatu yang tercerabut paksa dalam jiwaku. Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Sesungguhnya semua yang hidup pasti akan mati, kembali pada Alloh. Aku bahkan tak bisa menangis, hanya bisa menatap lekat-lekat wajah tampan suamiku. Aku cium kedua pipi dan kaki suamiku dengan takzim. Semua bagaikan mimpi. Tak percaya rasanya, seseorang yang selama ini begitu memuliakanku telah pergi selamanya. Dalam kebersamaan selama empat tahun suamiku hanya sekali sakit. Hari-harinya penuh keceriaan, dan senyum yang meneduhkan. Aku hanya sejenak menangis saat melihat anakku yang terlelap di rumah tetangga. Betapa putri kami telah menjadi seorang yatim. Selanjutnya aku sibuk menemui tamu-tamu yang bertakziah dan mengurus agar hari itu juga kami bisa terbang membawa suami ke kampung halaman.

Setelah pemakaman, aku baru merasa benar-benar kehilangan. Baru bisa aku menangis. Betapa berat rasanya ujian ini. Ada kehampaan menelisik hati. Ada semangat hidup yang memudar. Ya Alloh, baru aku merasa betapa berartinya suami dalam hidupku setelah kepergiannya. Betapa aku menyayangi dan mencintainya. Dulu ketika putri pertama kami diambil kembali oleh Yang Maha Kuasa, ada suami yang menghibur dan menenangkanku. Tapi saat suami berpulang, tak ada orang yang bisa menasihatiku, mengingatkanku akan arti kesabaran seperti suami meneduhkanku. Ya Rokhim, bila saat itu, Engkau memberiku pilihan, suami berpoligami atau wafat, aku pasti memilih dimadu. Aku ingin suamiku tetap hidup walau menikah lagi. Meski suami berpoligami dan memiliki empat orang istri sekalipun, setidaknya setiap hari masih bisa berkomunikasi. Setiap bulan masih bisa bertemu saat giliranku tiba. Setiap saat masih bisa berbagi beban hidup, karena  sungguh tak ada tempat berbagi seperti berbaginya dengan suami.

Ya Rohman, inikah hikmah pelajaran “poligami” yang suami ajarkan? Sungguh bila aku ingat betapa perihnya kehilangan suami, aku lebih memilih dipoligami. Ditinggal suami yang tak mungkin kembali lukanya tak terperikan, tak ada kata-kata yang bisa mewakili. Ya Alloh, jika ingat semua itu, sungguh lebih baik aku berbagi suami, aku memilih untuk dipoligami.