Berbagi Kata

Ketika dukungan manusia tidak kita dapatkan, pun untuk secuil kata motivasi. ketika diri membutuhkan kata penyemangat dan teman berbagi untuk menegakan pijakan kaki, yang terkadang terasa kurang kokoh dalam mengarungi dakwah dengan segala macam tanggung jawab dalam menjalankan berbagai peran sekaligus. Dia, sebagai seorang ibu dari empat orang anak yang tengah menjalani kehamilan yang kelima dan juga beliau sebagai seorang anggota legislative daerah yang mewakili partai dakwah Islam, plus sebagai seorang bidan dan juga mahasisiwi di sebuah perguruan tinggi.

Semua itu tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Awalnya dia hanya seorang ibu tiga anak dan berprofesi sebagai bidan di desanya. Keaktifan dia disebuah partai diniatkannya untuk bisa eksis membangun umat. Interaksinya sebagai bidan dan sikap lembutnya dalam setiap menangani pasien telah mengantarkannya sebagai sosok bidan yang dikenal sangat baik oleh lingkungannya. Bukan hanya ditempat dia tinggal, namun juga sampai ke desa-desa lain yang cukup jauh. Dia tidak segan untuk datang jam berapapun pasien memanggil. Dia juga akan membantu pasien sampai tuntas. Tak jarang pasien yang harus ditangani di rumah sakit, diantarkannya bersama suaminya menggunakan mobil pribadi mereka. Mereka jugalah yang memberikan uang muka sebagai jaminan di RS tersebut jika pasien yang mereka antar tidak mampu untuk membayar. Sering juga kain, popok dan celana anaknya diberikan kepada pasien yang memang tidak membawa apa–apa ketika datang untuk melahirkan. Jangan tanya untuk harga jasa yang dipasangnya dalam proses membantu kelahiran. Semuanya terserah pasien.

Maka, ketika kesempatan menjadi caleg menghampirinya, dia jalankan kesempatan itu dengan suatu kesungguhan yang tidak main–main. Jika Allah mengizinkan, dia ingin menorehkan suatu catatan amal kebaikan yang ingin dia sumbangkan untuk umat, karena kemungkinan ide dan suaranya didengar pemerintah akan lebih terbuka.

Ketika itu kehamilannya berusia 4 bulan. Tugas sebagai bidan yang tak kenal waktu, kesibukan sebagai ibu dan ibu yang sedang menjalani kehamilan, juga amanat yang dipikulnya sebagai seorang caleg dapat dijalaninya dengan baik. Tak lama setelah kelahiran anak yang ke empat, Allah memberikan amanah baru, dia pun terpilih menjadi anggota legislative.

Kini, setelah setahun lebih menjadi anggota dewan, diputuskannya untuk meneruskan pendidikannya untuk menambah pengetahuannya sebagai seorang bidan. Jika dia pergi keluar daerah, anak–anak selalu dibawanya pula. Kadang saya begitu iri melihat gerakannya yang amat produktif itu. Shalat tahajud, puasa Senin Kamis, belum acaranya dalam mengisi ceramah di lingkungannya seolah jelas dia mempunyai ketahanan fisik dan mental yang lebih dari yang lain.
Tanpa diduga dan direnencanakannya, sekarang ketika anak keempatnya baru berusia 1 tahun, dia hamil lagi. Semua di luar dugaan. Kuliah sudah dimulai, rasanya tidak mungkin untuk dibatalkan. Di saat demikian, teman – teman seperjuangan dalam dakwah agak kecewa walaupun tidak tersirat jelas. Tidak ada dukungan moril yang menguatkannya untuk menapaki jejak langkah di tengah beban tugas yang berhimpit.

Ketegarannyanya dalam setiap kegiatan, keteguhannya dalam bersikap adalah cerminan manusia yang kokoh dalam mengemban tugas dakwah. Akan tetapi dia juga sebagai manusia, sebagai wanita yang lebih sensitif dalam menyikapi kejadian.

Ketika lama saya tidak bertemu, saya mencoba untuk menghubunginya lewat telepon. Dia berterus terang bahwa dia tengah membutuhkan motivasi dari sesama rekan, beratnya medan dakwah yang diembannya bukanlah suatu masalah, tetapi hatinya pun butuh bicara, dia butuh semangat yang ekstra untuk menjalani ini semua. Bukan, bukan ingin berkeluh kesah, dia hanya ingin bicara, ingin mengungkapkan kekhawatirannya dalam mengemban amanah ini. Khawatir tentang pendidikan anak nya, khawatir tentang kehamilannya. Saya mendengarkan dengan sepenuh perhatian, mencoba menyelami dari sisi keibuan. Saya turut merasakan kegelisahannya.

Kemudian saya sebagai seorang yang awam, yang malah terbiasa berkonsultasi untuk meminta nasehatnya, mencoba memberikan kata–kata. Saya mengatakan bahwa “Allah sudah mempunyai skenario, takdir sedang berjalan, Allah telah mengatur semuanya dengan amat sempurna. Kehamilan ini adalah anugerah.
Mungkin melalui perhitungan kita sebagai manusia, kita menduga akan berat menjalani semua itu, tapi Allah maha kuasa dalam setiap perhitunganNya, Dia maha tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Insya Allah semuanya akan bisa dilewati dengan baik. Bukankah selama ini mbak bisa melewati berbagai terjalnya masalah dengan baik?”

Agak lama kami bicara, ada kelegaan dari nada bicaranya. Dia berterima kasih pagi ini atas motivasi untuknya.
Motivasi? Saya tercenung, padahal barusan saya tidak melakukan apapun. Saya hanya mendengarkan dia berbicara dan sedikit memberikan semangat untuknya. Ini sudah biasa saya lakukan untuk rekan di kantor. Namun memang saya tidak pernah melakukanhal yang sama untuknya. Malah lebih sering saya hanya meminta saran dan jawaban atas setiap permasalahan saya. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk memberikan beliau semacam kata–kata penyemangat.

Egois sekali saya, di latar belakangi dari pola pikir yang salah tersebut, saya justeru telah mengabaikan makna silaturahmi dari sisi yang tidak pernah terfikirkan. Saya tadi hanya berniat silaturahmi “alakadarnya” ingin menanyakan kabar, sedikit bercerita dan alurnya adalah seperti rutinitas biasa. Ternyata tidak demikian, betapa pembicaraan yang sederhana itu mempunyai arti dan makna yang teramat dalam bagi yang tengah membutuhkan untuk didengar. Ternyata hanya dengan mendengar dan berbagi kata, bisa membuat beliau merasa “hidup” kembali.

Ternyata juga satu hikmah yang saya dapatkan, saya jangan hanya bisa meminta, sesekali saya harus berbagi, harus belajar memberi walaupun hanya sekadar kata. Jika kata itu bisa membawa kebaikan bagi kita, kenapa tidak?

Nenda_2001 @ yahoo.com