Bercermin pada Kehidupan

Suatu hari, saya akan menghadiri sebuah majelis ta’lim yang terdiri dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di daerah Jombang, Bintaro dan sekitarnya. Tak banyak anggotanya, sekitar sebelas orang. Awal bergabung dengan mereka, saya merasa agak jengah dan sedikit tidak nyaman. Maklumlah, pertama kalinya saya merasakan ‘bergaul’ dengan ibu-ibu muda berusia rata-rata sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Sempat saya ingin pindah ke kelompok majelis ta’lim yang lain saja, bila ada. Tapi sampai sekarang, saya masih bertahan.

Hari itu, kegiatan akan diadakan di rumah salah seorang anggota, yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Bahkan inilah rumah terdekat yang pernah saya datangi sejak pindah ke Bintaro. Biasanya bila akan menghadiri majelis ta’lim itu, saya harus naik angkot sampai dua kali. Lumayan jauh. Saya berangkat sekitar setengah jam sebelum acara dimulai. Saat itu saya sama sekali tidak tahu alamat pasti si empunya rumah, melainkan hanya mengandalkan arahan dari seorang teman saya saja. Yah, pastinya tidak jauh dari jalan masuk yang tadi ia sebutkan, pikir saya begitu. Dan sekitar lima menit kemudian, sampailah saya di jalan masuk tersebut. Tadinya saya berniat untuk naik ojek saja ke dalam. Tinggal sebutkan nama pemilik rumah dan ciri-ciri rumah, biasanya mereka tahu, begitu petunjuk berikutnya. Tapi sayangnya, tidak satu pun tukang ojek yang saya temui. Lantas saya putuskan untuk berjalan saja masuk ke dalam, siapa tahu ada pangkalan ojek lainnya atau ojek yang lewat. Saya tidak ingin terlambat, malu dong, masa rumah paling dekat malah terlambat.

Saya berjalan terus sampai kira-kira beberapa ratus kilometer. Kaki mulai pegal, dan saya belum menemukan petunjuk apapun yang mendekati ciri-ciri rumah itu. Saya berinisiatif menelpon seorang teman, dan komentarnya adalah: “Wah! Kalau jalan sih masih jauh! Masuk-masuk ke dalam, susah juga ngasih taunya. Mending kamu tanya sama orang di warung aja deh.” Begitu katanya. Saat saya menelpon itu, saya berada di depan sebuah masjid lumayan besar yang pastinya bisa jadi patokan. Dan saya pun lupa menanyakan nomor telepon si pemilik rumah. Ya sudahlah, pasti bisa sampai, begitu tekad saya. Saya bertanya ke sebuah warung, dan petunjuk yang diberikan adalah: “Dari jalan itu masuk aja ke dalam, belok kanan, nanti kalau ada warung tanya lagi aja. Rumahnya masih jauh banget!”

Begitulah, saya akhirnya berjalan saja dan setiap kali ada warung, saya bertanya, dan mereka memberikan informasi yang sama dengan orang terakhir yang saya tanya. Rupanya daerah tersebut belum memiliki nama-nama jalan. Rumah-rumah penduduknya pun jarang-jarang, dari rumah satu ke rumah yang lain berjarak beberapa meter. Padahal lokasi tersebut berdekatan dengan komplek perumahan yang lumayan besar. Jadi petunjuk yang paling praktis ya sebutkan saja nama si pemilik rumah. Dan itu yang saya lakukan berulang-ulang: “Rumahnya bu Yuli, guru SD Annisa, isterinya pak Muslim yang punya kandang kambing itu di mana ya?”

Ketika jalanan sudah hampir tak berujung, dan di sebelah kanan saya adalah tanah lapang yang besar sekali, di sebelah kiri hanya terdapat satu-dua rumah yang terkunci rapat, saya mulai khawatir tersasar. Tapi dari kejauhan saya melihat dua orang wanita berjalan. Mungkin penduduk setempat. Saya langsung berlari mengejar mereka.

Alhamdulillah…ternyata memang selalu ada petunjuk bila kita tak segan bertanya. Mereka mengantar saya sampai sekitar dua puluh meter dari rumah yang dicari. Saat itu saya tak memikirkan bagaimana cara pulang, yang tentu saja harus ditempuh dengan berjalan kaki juga. Saya sudah lupa rutenya. Sudahlah, nanti saja. Saya langsung menuju rumah besar bercat oranye.

“Assalamu’alaikum! Bu Yuli ada, bu?”
“Bu Yuli? Wah, dia jam segini belum pulang kerja!”

Saya nyaris pingsan mendengarnya. Seorang wanita setengah tua itu menatap saya dengan agak heran. Duh, sudah hampir nyasar begini, orangnya tidak ada? Lantas acara dipindahkan ke mana?

Tapi rupanya itu hanya kejutan kecil saja. Seorang laki-laki yang duduk bersama wanita itu beranjak dari kursi, dan tersenyum pada saya.

“Masuk aja lewat samping sini. Rumahnya menempel di belakang situ, Neng.” Katanya. Saya ragu sejenak. Tapi kemudian wanita tadi berseru, “Oh iya! Ini kan hari Sabtu ya? Berarti ada tuh orangnya!” katanya. Saya nyengir, lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada keduanya.

Perjalanan panjang itu berakhir juga. Waktu menunjukkan pukul dua kurang sepuluh. Hampir satu setengah jam di perjalanan? Hebat juga kedua kaki saya ini. Saya duduk kelelahan. Dan satu per satu anggota majelis ta’lim itu mulai berdatangan, dua orang membawa anak-anak mereka. Mereka sampai dengan wajah yang hampir sama dengan saya, tetapi tidak ada satu pun yang berjalan kaki dari depan hingga sampai di situ. Kami semua tertawa-tawa kelelahan, mereka menertawakan saya yang dengan sangat mengenaskan musti menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki. Lalu kami menyantap makanan kecil yang dihidangkan, dan mengobrol sebentar melepas lelah.

Hari itu semua hadir di majelis dengan penat. Saya bersiap untuk kecewa bila acara tidak berjalan atau datang hanya untuk bersantai. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Acara dibuka dengan tertib, kami bergantian tilawah Quran, salah satu dari kami membacakan tafsir surat al-Lahab, lalu dilanjutkan dengan diskusi mengenai permasalahan majelis ta’lim lain yang ada di daerah tempat tinggal kami, seterusnya sampai waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Subhanallah. Saya nyaris tidak percaya bahwa kondisi-kondisi tak terduga, seperti kesulitan mencapai lokasi dan keterlambatan dimulainya acara, tidak menjadikan pertemuan yang hanya seminggu sekali itu menjadi tidak efektif. Jiwa saya kembali segar, penat saya hilang, dan saya siap bila harus pulang dengan berjalan kaki lagi.

Sudah sekitar lima bulan saya menjadi bagian dari mereka. Dan rupanya saya mulai merasakan ikatan hati yang cukup kuat pada mereka semua. Bahkan saya mengagumi mereka. Saya nyaris yang paling muda di antara mereka semua. Hampir semua sudah menikah, memiliki anak dua-tiga-atau empat orang, tapi mereka tetap konsisten hadir di pertemuan, mengerjakan tugas dengan lumayan tertib, bersemangat membahas permasalahan yang ada, dan saya tak segan untuk bercermin pada ketegaran mereka semua. Sedikitnya saya mengetahui permasalahan keluarga yang mereka hadapi, terhadap suami dan anak-anak, pekerjaan, dan lingkungan. Mereka mungkin tak semua berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi semangat mereka untuk menghadiri majelis ta’lim rutin, juga semangat dan tindakan konkret berkontribusi dalam dakwah, itu semua menjadi bahan renungan yang tak habis-habis buat saya. Dan saya seringkali bertanya dalam hati, akankah saya tetap istiqomah seperti mereka sepuluh tahun dari sekarang? Semoga saja. Insyaallah. Amiin.

dh_devita at yahoo dot com
http://ayyasykecil.blogspot.com