Berguru Pada Pedagang Abu

Siang di bulan januari adalah sangat lain dengan siang di bulan yang lalu. Siang dibulan januari penuh dengan tetasam air hujan yang tercurah dari langit. Meskipun tidak terlalu deras air yang tercurah akan membuat jalan lengang dan khususnya warung- warung di tepi jalan sepi dari pembeli..

Demikian halnya warung yang aku tunggui, sebuah warung kaki lima yang semua bangkunya terlihat kosong. Padahal di warung itu terdapat lima meja panjang yang biasanya penuh dnegan suara bercanda dan obrolan pelangan setia yang mau makan siang. Memang hari itu sangat sepi. Warung di sebelahnya adalah warung nasi padang yang juga hanya beberapa orang saja makan di dalam kios. Deretan kaki lima yang hampir semuanya berjualan makanan tak berbeda jauh dengan warung yang aku tunggui.

Dari kaleng kuah terus membumbungkan aroma yang ingin mengajak orang yang mencium baunya untuk segera mengecap lezatnya. Di luar gerimis masih jatuh dari langit, air mengenang di jalan. Beberapa mobil melintas mencipratkan air genangan. Pemilik warung yang aku tunggui terus gelisah. Sampai jam satu belum ada orang membeli dagangannya.padahal kompor itu harus terus menyala, memanaskan kuah yang masih utuh berada di dalam keleng besar.

“Kalau keadaan begini terus kita bisa bangkrut”pemilik warung yang juaga majikankku mengeluh dengan halus. Posisi duduknya seakan tidak tenang menghadapai keadaan seperti ini. Aku yang berada di sampiangnya hanya tersenyum, memandang di jalanan yang sangat lenggang.
“Sekarang harga minyak tujah ribu, itupun langka, kalau ngak mau mencari, kompor ngak bisa menyala, kalau jualam keadaan seperti ini ya bangkrut”keluhnya.

Aku sendiri menyadari yang menjadii keluhan majikanku ini. Usaha yang dirintisnya dari semenjak lima tahun lalu ini adalah tumpuan keluarganya. Meskipun warung warisan ayahnya pada wkatu di pegang majikanku semakin maju dan keuntungannya sangat di harapakan oleh orang -orang di rumah untuk menutupi keperlauan. Dua adiknya kuliah cukup membuat ruang pikir sendiri mejikanku ini. Di tambah belakangan hari membumbungnya harga minyak tanah dan behan lain untuk berjualan akan ikut naik akan mengisi ruang pikir yang lain.

Dari kejauhan terlihat dua orang bersandingan dengan satu gerobak. Mereka terlihat riang, masih tersenyum dan kadang tertawa di tengah rentetan gerimis hujan. Keduanya semakin jelas melangkah ke warungku. Ya, aku tahu orang ini adalah pedagang abu yang menjadi langganan majikanku. Semakin mendekat dan menawariku abu, kebetulan memang semalam abu yang di pakai untuk mencuci perabotan habis.

“Dua ribu pak”teriakku.

Bapak itu kembali kegerobaknya. Anak muda yang bersamanya ikut mengisi kantong plastik dengan abu. Bapak itu berjalan mendekat ke arahku, menyerahkan kantong yang telah berisi penuh abu. Kuserahkan uang dan di ciumnya uang itu.

“Mau minum teh hangat dulu pak”tawarku.
“Nuwun. Lagi puasa”jawabnya dengan senyum di bibir..
“Kalau boleh tahu itu siapa Pak”
“Itu anak saya, pingin belajar jualan. Jualan gimana Bos?“
“Biasa pak. Ramai pak? Sahut majikanku.
“Allhamdulilah, baru di sini lakunya. Abu masih utuh bos”jawabnya.
Bapak itu masih menebar senyum. Pernah kutanyakan berapa uang yang di dapat kalau abu segerobak itu habis ia malah tersenyum.
“Berapapun habisnya itu rezeki saya tiap hari. ”jawabnya saat itu.

Bapak itu kembali kegerobaknya dan jalan lagi. Menawarkan abu untuk pedagang yang lain. Aku baru tersadar, kupandangi majikanku yang sedari tadi bengong. Gerobak yang masih penuh berisi abu itu melintas, dengan ucapan dan senyum yang masih di tawan pedagang abu berujar, “Kalau rezeki tak kan lari ke mana”lirih bapak itu dan sempat kudengar, mungkinkah juga majikanku mendengar?

Kayu putih, januari 2008