Berjamaah Membuang Waktu

Delapan belas tahun yang lalu ketika saya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, saya adalah pecandu bola. Hampir tiap malam jika ada kompetisi antar klub saya akan dengan setia menonton. Pada saat itu tabloid yang menyajikan khusus tentang berita olah raga hanya ada satu. Setelah menonton, saya tidak akan melewati untuk membaca artikel yang berkaitan dengan pertandingan bola tersebut. Tak urung, dahulu saya bisa dengan hafal menyebutkan pemain mana yang ditransfer paling mahal dan siapa saja yang berpotensi untuk ditransfer lebih mahal lagi. Van Basten, David Platt, Gullit, Paul Gascoigne adalah sebagian nama pemain besar yang dulu saya simpan gambarnya pada buku pelajaran sekolah. Saya suka menonton pertandingan olahraga lainnya, semisal tennis atau bulutangkis. Namun, jika pertandingan piala dunia digelar, maka otomatis saluran televisi akan terfokus pada acara tersebut. Dan ini membuat kegilaan akan menonton bola semakin menjadi.

Setelah saya menikah, berangsur–angsur kegemaran saya akan tayangan ini perlahan berkurang. Dan entah sejak kapan pastinya, kemudian kegemaran saya tersebut betul-betul hilang. Sekarang, pada saat pergelaran pertandingan akbar sedang semaraknya dan menjadi candu di mana-mana, saya hanya menonton beberapa saat untuk kemudian tidak menggubrisnya sama sekali. Candu itu tengah menyerang suami saya sendiri. Walau dia menonton dengan gaya yang kalem dan tidak teriak–teriak, saya melihat dia begitu serius menonton setiap pertandingan. Candu itu telah meracuninya. Ketika dia masih menonton, saya memilih untuk membaca dan kemudian tertidur. Pada pukul empat pagi saya bangun, saya kaget menyaksikan dia masih berada didepan televisi. Apalagi yang dilihat kalau bukan tayangan orang – orang yang berlarian kesana kemari untuk memperebutkan sebuah bola…
Saya agak jengkel, sepagi ini masih menekuni layar kaca?

Kemudian, suami saya terbangun pada pukul 5:15, saya juga tidak mengerti bagaimana dia bisa tertidur kembali tanpa menunggu waktu sholat subuh? Dengan menahan kesal saya membangunkannya.
Saya tidak tahan untuk segera membuka percakapan mengenai jam nonton yang berlebihan dan sholat yang kesiangan tersebut.
“Gimana yah, sholat kok hampir setengah enam, sedangkan untuk nonton ayah bela–belain sampai jam 4 pagi”. Saya memang terbiasa untuk bicara dengan spontan, saya enggan menunda pembicaraan sampai menunggu pulang kerja nanti.
“Gini de, aku tuh jam 12 sebenarnya sudah tidur. Kemudian aku terbangun lagi, dan ternyata tayangan bola masih ada. Trus aku nonton lagi. Udah gitu, aku ngantuk banget terus ketiduran”.
Dia menjelaskan dengan nada hati – hati. Dia bisa membaca gelagat ketidaksukaan dari saya.
“Duh, Ayah, bagaimana ya kita kok jadi orang yang menyia – nyiakan waktu, lebih mementingkan nonton bola daripada sholat. Mata kita lebih tahan menahan kantuk ketika menoton bola, tapi tidak tahan ketika harus sholat malam. "Gimana ya Yah, aku kok merasa sedih..” Saya berbicara dengan perlahan, mencoba mengatur nada dan belajar untuk mengekspresikan kekecewaan saya dengan baik. Ya, saat itu saya kecewa terhadap suami saya dan dengan diri saya sendiri. Alhamdulillah, suami saya cukup tanggap dan mengerti. Tanpa banyak hambatan, kami sepakat untuk menata kembali.

Kemudian, pagi ini kami meneruskan perbincangan pada rencana–rencana kami ke depan. Ya, lebih baik memikirkan rencana–rencana besar dalam rumah tangga ketimbang menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Kami mencapai kesepakatan untuk tidak terhanyut dalam tayangan yang telah mencuri waktu dan fisik kami. Masih banyak pekerjaan dan tugas besar menanti. Katanya kita ingin bermanfaat untuk sebanyak–banyaknya umat, katanya kita tengah ingin memperbaiki diri, katanya kita tengah ingin menjadi pegawai yang produktif, katanya kita ingin terus menerus belajar memperbaiki diri. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk memperbaiki diri dalam hal memenej waktu. Ketika godaan untuk menghabiskan waktu dengan cara berjamaah tersebut menjadi hal biasa yang tak terhindarkan, inilah saatnya kita dengan berani menata diri agar tetap memegang komitmen untuk tidak mengabaikan waktu. Ketika saat ini menonton bola menjadi trend yang tak terhindarkan, dan malah seolah menjadi gaya hidup dan ciri intelektualitas seseorang, maka inilah saatnya kita dengan berani menegaskan diri bahwa kita bukan bagian dari generasi yang cinta terhadap kesenangan yang semu.

Di tengah keasyikan kita menonton, bisakah kita membayangkan awan panas dari gunung merapi yang terus menerus menutupi langit? Bisakah kita membayangkan Lumpur panas yang membanjiri Sidoarjo? Bisakah kita membayangkan gempa yang tiba–tiba datang tanpa permisi? Kita tidak tengah berandai–andai, sebagian daerah masih dalam kedukaan dan nestapa yang memilukan. Sebagian besar masih butuh pertolongan yang tidak sedikit. Beranikah kita untuk meninggalkan segala kesia–siaan itu? Mari kita ganti dengan membaca yang bermanfaat, mari kita isi dengan mendengarkan tausiyah, mari kita isi dengan mengerjakan tugas–tugas yang masih terbengkalai. Semoga proses pembelajaran kita sekarang tentang penghargaan akan sebuah waktu, bisa menghasilkan kita dan generasi kita menjadi muslim yang bemutu.

[email protected]

Untuk Ipung: Terimakasih atas komitmennya!