Berpeluk Hidayah-Nya

Usai berjumpa dengan sahabatku Yasmin, selalu ada hikmah yang kuperoleh, memang Allah ta’ala telah memberikan bonus-bonus kebahagiaan hati dalam setiap jalinan silaturrahim.

Memang beberapa bulan lalu, Yasmin sempat memberitakan kabar gembira bahwa dirinya ‘tertular hamil’ sepertiku, betapa senang Yasmin dan suaminya, mereka sejak dulu menanti kehamilan kedua tersebut.

Namun karena dia mengalami mual dan muntah yang lumayan parah pada awal kehamilan, maka kami jadi tak bisa sering berjumpa, ditambah cuaca ekstrim saat salju deras turun di musim dingin.

Lalu di penghujung musim dingin, ketika kondisi Yasmin mulai membaik, ia mulai menikmati masa kehamilan tanpa muntah-muntah, maka kami menikmati kembali masa minum teh bersama. Seraya mencicipi kue-kue kecil buatan Yasmin, kudengarkan ia bercerita. Beberapa minggu lalu ia sekeluarga berwisata ke Roma, mengunjungi salah satu masjid terbesar di sana pula.

Alangkah beruntungnya ia sempat berjumpa dengan sesosok muslimah, bernama Sofa. Dan Yasmin kaget saat mengetahui bahwa Sofa berasal dari Krakow, tempat kami tinggal saat ini. Maklumlah, masyarakat Krakow sini sangat religious sebagai pengikut Paus Paulus, setiap 100 meter pasti ada gereja.

Anak-anak sekolah memang tidak ada ujian khusus tentang agama, namun setiap pagi, ada acara berdo’a bersama, ada laporan penilaiannya, dan ada pula kegiatan-kegiatan keagamaannya, kalau soal itu, si sulungku sudah diberikan dispensasi tentunya, sebagai satu-satunya murid muslim di sekolahnya.

Maka mendengar cerita Sofa, sungguh mengharukan, ia menghabiskan masa kecil hingga lulus sekolah di Krakow, ia begitu hafal segala jenis kegiatan keagamaannya, namun ketika duduk di bangku kuliah saat berada di Roma, segalanya bisa berubah.

Subhanalloh! Sejak lebih dari enam tahun lalu, Sofa bagai terlahir kembali, sebelumnya nama aslinya adalah khas nama baptis anak-anak Krakow, lalu saat berhijrah, Sofa mengganti namanya agar jelas bahwa dirinya beridentitas muslimah.

Cerita Sofa, tadinya dia mengagumi seorang mahasiswa, sebutlah Ahmad yang berasal dari sebuah negara di Jazirah Arab. Sofa yang sedang jatuh hati pada Ahmad, mulai lirik-lirik menggoda, namun Ahmad tak memperdulikannya. Padahal Sofa sangat cantik dan popular di kampusnya.

Sofa mulai agresif dan berusaha agar Ahmad mengajaknya kencan, dibantu teman-temannya. Namun Ahmad cuek-cuek saja, hati Sofa kesal. Lalu dengan sangat berani dia menemui Ahmad, dan bertanya, “Apakah saya tidak cantik?” Ahmad menjawab, “Kamu cantik. Maksudmu ada apa bertanya demikian?”

“Kenapa kamu tak peduli pada lirikan saya, kenapa kamu tak mengajak saya kencan?”, Tanya Sofa. Ahmad melongo, “Sebab memang tak ada kencan dalam kamus hidup saya, bukan cuma dengan kamu, dengan wanita lain pun sama saja, saat ini saya jauh-jauh dari tanah air, fokus untuk belajar dan berusaha tetap menjaga pergaulan saya, kalau di negara saya, laki-laki dan perempuan non-mahram ‘jalan bareng’ bisa ditangkap, apalagi berkencan,” panjang penjelasan Ahmad dengan nada datar.

Sofa jadi bingung, bengong, belum pernah dia mendengar hal seperti yang dikatakan Ahmad. “Lantas, kalau kamu memilih pasangan hidup, bagaimana sih, koq gak pake’ kencan?”, tanyanya lagi. Ahmad yang tawadhu itu menjawab simple, “Yah, menikah…”

Pembicaraan yang jadi panjang itu akhirnya berlanjut ke rasa penasaran bagi Sofa. Dengan arahan Ahmad, Sofa diperkenalkan pada seorang sister muslimah yang biasa menjaga perpustakaan masjid.

Dan dengan motivasi yang tinggi, Sofa segera banyak memperoleh ilmu baru, di antaranya adalah jawaban-jawaban mengapa sosok sinterklas itu sebenarnya pembohongan pada anak-anak, sebenarnya tidak ada peri gigi, sebenarnya Tuhan ‘yang asli’ tidak punya anak, dan lain sebagainya. Sofa tanpa ba-bi-bu menyatakan dirinya ingin menjadi muslimah, dan disaksikanlah ucapan dua kalimat syahadat darinya oleh para jamaah di masjid tersebut.

Beberapa waktu setelah Sofa hijrah, ia malah malu kalau bertemu Ahmad. Dan tak disangka, tanpa prediksi apa pun, ternyata Ahmad melamarnya via ustadz, berbahagia sekali mereka, menikah dalam pelukan hidayahNYA, Subhanalloh!

Yasmin bertanya, “Sudahkah Ahmad berjumpa keluargamu di Krakow…?”, Sofa menjawab dengan tegar, “Itulah sister, hanya satu kali kami ke Krakow setelah pernikahan. Selanjutnya hingga kini kami tak lagi berani kesana…”, Sofa menceritakan bahwa keluarganya mempermasalahkan agama barunya, dan dengan lancangnya orang tua dan saudaranya telah memaksa Sofa dan Ahmad untuk meminum minuman keras dan makanan yang tidak halal.

Tak hanya sakit hati dan tersinggung dengan amarah yang ditahan, namun keluarga akhirnya mengusir mereka. “Very sad, sister…”, Yasmin pun turut sedih dan berempati. Alangkah perihnya hati jika tak bertemu ayah-bunda dan saudara lain dalam waktu yang lama.

Namun apakah kata Sofa kemudian? Dengan sangat tegas dia berkata, “Sister…Bukankah yang utama adalah cinta pada Allah SWT dan RasulNYA? Apakah ada pilihan bagi kita atas perintah ketaatan pada Sang Pencipta? Allah ta’ala berfirman:

"Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah (Muhammad), ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (QS Ali Imran [3] : 31-32)

Saya sudah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, maka tak ada alasan untuk ragu-ragu lagi di jalan hidup ini. Jika Allah ta’ala berkehendak membukakan mata hati keluargaku, pastilah mereka akan memperoleh hidayah pula, namun jika mereka malah memerangiku dan memaksakan keyakinan hatiku seperti saat kami pulang dahulu.

Maka itulah saya sudah lama tak lagi ke Krakow, saya hanya berdo’a pada-Nya supaya hidayah Islam juga tercurah buat mereka…”, ucapan-ucapan itu mengalir dengan sangat lancar dalam bahasa Inggris yang baik (Orang Poland masih jarang yang lancar berbahasa Inggris).

Bahkan dalam salah satu kalimat lainnya, Sofa berucap pada Yasmin, “Lihatlah reward lain dari Allah ta’ala, seorang Ahmad ternyata mau menerimaku apa adanya, bahkan mengajariku membaca qur’an dan menghafalnya, membimbingku dengan sabar dalam mempelajari agamaNYA. Sungguh saya sangat bersyukur dan merasa beruntung sekali…”

Dalam petikan ayat-Nya:

“…Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah…”, (QS. Al-Baqarah [2] : 165)

Begitulah mungkin getaran dalam kalbu seorang Sofa, saudari kita tersebut.

Di beberapa negara lain yang pernah saya kunjungi pula, ada Sofa-Sofa lain dengan ragam cerita dan terkadang ada kesamaan kisah. Bahkan ada banyak perang bathin maupun tak jarang serangan fisik dari keluarga kandung mereka.

Satu hal yang saya jadi iri pada keilmuan mereka, tingginya motivasi dalam memperdalam ilmu-Nya menjadikan mereka amat berkomitmen dan konsisten beramal shalih. Mereka adalah pilihan-Nya, mereka kuat menjalani ujian hidup.

Sudah sering Sofa-Sofa lain tersebut ‘menang’ hafalan dibandingkan saya yang muslimah sejak lahir, mereka bisa khatam hafal qur’an 30 juz dalam masa 2, 3 atau 4 tahun, sedangkan diri ini masih mengulang melulu juz-juz yang itu-itu saja. Salah satu temanku pernah berkata, “Saudara-saudari kita muallaf tersebut sungguh membuat diri kita malu… Mereka bisa dengan asyiknya menghabiskan waktu dalam kemanfaatan yang besar, mengkaji kitab-kitab tafsir tebal, shirah nabawiyah, ragam bacaan ilmu qur’an hadits, fiqh, namun kita yang terlahir sebagi muslimah malah lebih doyan baca novel, kisah fiktif pula, astaghfirrulloh…”. Semoga cerita ketegaran nurani mereka dapat menambah semangat kita untuk terus menggali ilmu-Nya.

Kalau pelukan hidayahNYA sudah melekat, cinta padaNYA makin erat, maka kekuatan cinta itu amatlah besar, ketika kekuatan tersebut menjadikan Bilal bin Rabbah lebih memilih dijemur di padang pasir yang panas daripada harus kembali kafir. Meski sebongkah batu besar menindih hingga nyaris meremukkan tulang dadanya.

Masya Allah… Dengan tenang ia menyebut nama Kekasihnya, ”Ahad, Ahad, Ahad…” Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya raya sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Tanpa ragu ia rela menghabiskan hartanya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Semua karena kecintaan pada-NYA.

“Hanya ucapan orang-orang yang beriman, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, ‘Kami mendengar, dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur [24] : 51)

Ya Allah, semoga kami tetap berpeluk hidayah-Mu, sungguh bersyukur kami memiliki orang tua, keluarga yang telah berada dalam cahaya Islam dan menghimpun kekuatan cinta di jalan-Mu, mohon kumpulkanlah kami dalam perlindungan dan rahmat-Mu selalu. Amiin.

(bidadari_Azzam, salam ukhuwah dari Krakow, 30/3/2011)